Ekonomi RRT dan Senin Hitam
J Soedradjad Djiwandono ;
Guru Besar Emeritus Ekonomi UI;
Professor of IPE, Rajaratnam
School of International Studies, NTU, Singapura
|
KOMPAS,
26 Agustus 2015
Selama beberapa tahun,
setiap kali membuat presentasi mengenai perekonomian Indonesia atau Asia,
saya selalu menyebutkan peran ekonomi RRT sebagai penyelamat saat
perekonomian negara-negara maju mengalami resesi besar.
Laju pertumbuhan
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang selama bertahun-tahun sekitar 10 persen
menolong lebih banyak lagi perekonomian negara-negara yang mengandalkan
ekspor komoditas dan sumber alam sebagai motor pertumbuhan ekonominya.
Indonesia jelas ikut menikmatinya.
Bahkan, dalam acara
bincang-bincang dengan sejumlah bankir dan financiers di Hotel Ritz-Carlton
Jakarta, akhir bulan lalu, sejumlah bankir menanyakan pendapat saya tentang
renminbi dan ekonomi RRT yang disebutkan akan mengambil alih peran dollar AS
dan ekonominya di dunia. Mereka mengacu perkiraan seorang ahli pasar modal
dan keuangan kenamaan meski tanpa disertai penjelasan bagaimana terjadinya
dan mengapa. Hanya menyebutkan bahwa akan ada keputusan IMF bulan Oktober
nanti yang mengejutkan dan mengubah peran renminbi.
Bahwa peran renminbi
dan ekonomi RRT memengaruhi perkembangan pasar modal dan gonjang-ganjing
nilai tukar banyak mata uang, tentu kita semua mafhum karena tidak ada media
yang melewatkan. Namun, kalaupun ini suatu kejutan, jelas tidak seperti
ramalan yang sempat bikin bingung itu. Yang terjadi adalah sebaliknya,
renminbi dan perkembangan pasar modal RRT justru menjadi sumber kegoncangan
karena terjadi penurunan kepercayaan pasar terhadap ekonomi dan manajemen
RRT.
Perekonomian RRT yang
selama beberapa tahun pasca krisis keuangan global menjadi ”penyelamat”
perekonomian Asia dan dunia mengalami degradasi. Dia menjadi faktor pendorong
kegoncangan mata uang negara berkembang di Asia dan BRICS, kemudian pasar
modal seluruh dunia.
Kita semua mendengar
berita tentang ”The Black Monday”
atau Senin Hitam, terjadinya penurunan harga saham di semua pasar modal
dunia, Senin pekan ini. Gejolak ini sudah berkembang beberapa waktu, tetapi
semula hanya dirasakan di Asia dan negara BRICS—Brasil, India, Rusia,
Tiongkok, dan Afrika Selatan—juga Cile dan Turki. Namun, sejak minggu lalu,
gejolak ini telah menjalar ke pasar modal di negara-negara maju, termasuk AS.
”The Black Monday”
Sejak Senin lalu
sampai kini, kegoncangan terus berkembang. Indeks harga saham dari Nikkei
(Jepang), Hang Seng (Hongkong), Shanghai dan Shenzhen (RRT) sampai ke
Singapura, Indonesia, dan Australia semua menunjukkan penurunan sampai
sekitar 3 persen. Perkembangan ini diikuti dengan penurunan harga saham di
pasar-pasar modal Eropa, baik dalam lingkungan zona euro (Euro Stoxx 50)
termasuk Jerman (DAX), Inggris (FTSE 100) maupun negara lain. Akhirnya juga
di AS, baik indeks Dow Jones di NYSE untuk blue chips (S&P 500), Nasdaq
untuk electronics dan derivatives, maupun Russel 2000 untuk mutual funds dan
perusahaan menengah-kecil.
Buat pasar modal RRT dan
AS yang selama lima-enam tahun terakhir terus meningkat, penurunan terjadi
sampai 30 persen dibandingkan puncak yang pernah dicapai sebelumnya. Bisa
dibayangkan berapa besar nilai aset finansial yang hilang karena penurunan
harga saham-saham tersebut. Semua pasar modal terguncang. Itulah ”The Black
Monday”.
Perlu ditekankan bahwa
permasalahannya justru terbalik dari ramalan yang membuat bingung para bankir
dan pelaku keuangan di atas. Renminbi bukan acuan investor global, melainkan
justru sebaliknya, devaluasi renminbi dan penurunan harga saham di RRT
menimbulkan keraguan pasar terhadap kepemimpinan RRT dan renminbi. Bahkan,
dimasukkannya renminbi ke dalam mata uang elite dunia, dollar AS, pounds
Inggris, DM Jerman, dan yen Jepang, pun baru diputuskan IMF tahun depan,
bukan Oktober ini.
Jadi bahwa
perekonomian RRT meningkat perannya memang terjadi, tetapi dalam pengaruh
negatifnya. Devaluasi dan penurunan harga saham yang drastis telah
memengaruhi penurunan harga-harga saham di pasar modal Asia, Eropa, dan AS.
Ini suatu pelajaran baik bagi kita semua agar jangan cepat terkesima dengan
segala macam ramalan, termasuk pengamat yang dianggap pakar.
Tentu ini juga berlaku
bagi saya apabila ada yang memandang saya sebagai salah satu dari mereka itu.
Silakan dikaji dulu, jangan serta-merta diterima sehaus apa pun kita ingin
mengetahui. Untuk sekadar ingin tahu pun perlu sikap kritis, apalagi kalau
digunakan untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan perusahaan
dan tentu lebih lagi kalau untuk kepentingan masyarakat luas, perekonomian
nasional.
Waktu bekerja di Bank
Indonesia, saya selalu mengingatkan rekan dan staf agar jangan mudah percaya
kepada siapa pun. Semua orang ada tingkat discount-nya, ada yang besar buat
tukang ngibul ada yang kecil bagi yang punya integritas. Namun, semua harus
kita kritisi sebelum menerima atau menolaknya.
Beberapa catatan
Memang benar ekonomi
RRT—saat negara-negara maju, AS, Eropa, dan Jepang, mengalami resesi besar
setelah krisis keuangan global sejak 2008-2009—menjadi penyelamat Asia bahkan
dunia dengan pertumbuhan ekonomi 10 persen. Pertumbuhan ekonomi RRT yang
tinggi itu jadi sumber terjadinya commodity boom yang mendorong pertumbuhan
ekonomi negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam. Sumber
pertumbuhan juga berasal dari pengeluaran investasi untuk pembangunan
prasarana yang memerlukan bahan baku besar-besaran.
Namun, dengan
penurunan laju pertumbuhan menjadi 7 persen (mungkin lebih rendah lagi) dan
kebijakan rebalancing yang mengubah sumber pertumbuhan dari investasi kepada
konsumsi dalam negeri, RRT tidak lagi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi
negara-negara pengekspor komoditas dan sumber alam.
Pasar modal RRT
bergejolak sejak Juni lalu dan berlanjut sampai kini kendati telah
dilaksanakan kebijakan intervensi terhadap pasar modal, seperti pembelian
saham oleh otoritas dalam jumlah besar, pelarangan IPO, pelarangan penjualan
sejumlah besar saham, ataupun pelonggaran ketentuan investasi dana pensiun
untuk pembelian saham sampai 30 persen. Pengelolaan nilai tukar renminbi
diubah di satu pihak dengan lebih menyerahkan kepada kekuatan pasar, di pihak
lain dengan intervensi, termasuk devaluasi yang dilakukan baru-baru ini.
Penurunan laju
pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan rebalancing dikombinasikan dengan kebijakan
pasar modal dan perubahan pengelolaan nilai tukar—yang tampaknya kurang
optimal—telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental. Ekonomi RRT tidak
lagi menjadi penyelamat ekonomi Asia dan dunia, tetapi gejolak di pasar uang
dan devaluasi renminbi yang baru dilakukan justru telah menempatkan RRT
menjadi penyebab atau minimal pendorong terjadinya kegoncangan nilai tukar
negara-negara Asia dan BRICS ataupun kegoncangan pasar modal di Asia, Eropa,
Inggris, dan AS.
Pengamatan ini bukan
untuk menunjuk kambing hitam dari kemelut yang terjadi. Akan tetapi, memang
terlihat terjadinya suatu perubahan. Persepsi pasar terhadap apa yang terjadi
di dalam perekonomian RRT telah menumbuhkan langkah-langkah penyesuaian yang
kesemuanya berkembang menjadi kegoncangan pasar modal dunia dan dinamakan
”The Black Monday”. Kegoncangan ini dapat menjadi krisis keuangan global yang
baru sekiranya tidak diperoleh solusi yang tepat.
Akan tetapi, mengenai
hal ini perlu pengamatan dan analisis tersendiri, mungkin termasuk melihat
bagaimana menghadapinya agar gejolak ini tidak berkembang menjadi krisis
baru.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar