Setiap Kesulitan Punya Jalan Keluar
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 19 Agustus 2015
SUDAH satu bulan
lamanya ahli ekonomi dunia menunggu dengan harap-harap cemas. Permainan
kungfu apa yang akan diperlihatkan Tiongkok untuk mengalahkan musuh
ekonominya yang sangat sulit diatasi saat ini: jebakan utang.
Sebagian ahli sudah
meramal, kinilah saatnya Tiongkok benar-benar akan hancur. Tidak mampu keluar
dari kesulitan yang begitu sulit dan menjebak.
Rupanya, devaluasi
mata uang yuan hampir 2 persen yang diumumkan dua hari lalu itulah jurus
kungfu yang dimainkan. Untuk keluar dari puncak kesulitannya saat ini. Cerdas
sekali.
Tiongkok selama ini
memang dikenal selalu punya jurus baru. Selalu bisa mementahkan keraguan para
analis ekonomi dunia. Dari negara yang begitu miskin dengan beban penduduk
yang begitu besar, mestinya tidak mungkin Tiongkok bisa keluar dari
kemiskinan. Apalagi dalam waktu yang begitu cepat. Bahkan berhasil menjadi
negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dalam waktu singkat.
Tapi, belakangan ini
persoalan ekonomi yang dihadapi Tiongkok begitu berat. Bahkan sudah terlihat
melingkar-lingkar, membelit dan membelenggu. Sampai mencapai tahap yang
disebut "jebakan utang".
Utang Tiongkok yang
semula dipakai untuk membiayai kemajuannya itu kini sudah sampai pada tingkat
menjebaknya. Pelaku ekonomi, pelaku keuangan, juga pelaku pasar modal
menanti-nanti dengan saksama jurus apa yang disiapkan Tiongkok untuk keluar
dari jebakan itu.
Begitu beratnya
persoalan itu, sampai ada yang bertanya begini: Mungkinkah kali ini Tiongkok
juga berhasil melakukan chi kung untuk melompati jebakan itu? Atau kali ini
akan gagal?
Rupanya, inilah yang
dilakukan Tiongkok: devaluasi. Memang kurang dari 2 persen, tapi cukup mengguncangkan
dunia. Bisa-bisa memicu perang mata uang dunia. Bisa-bisa kita yang berada di
Indonesia tiba-tiba saja jadi korban perang. Kita tidak boleh diam.
Kita di Indonesia saat
ini juga sedang menghadapi satu jenis jebakan yang kelasnya lebih rendah daripada
itu: jebakan kelas menengah. Tiongkok sudah berhasil mengatasi jebakan itu 15
tahun yang lalu. Sehingga pembangunan ekonominya tidak terhenti di tengah
jalan. Berhasil terus tumbuh tinggi. Hingga mencapai prestasinya sekarang
ini.
Kita masih harus mencari
jurus untuk mengatasi jebakan kelas menengah kita itu. Kalau berhasil, kita
akan bisa terus meraih kemajuan. Kalau gagal, langkah kita akan terhenti. Dan
kita akan terbelit dengan persoalan yang muter-muter. Bisa berpuluh tahun
lamanya.
Kalau dengan devaluasi
itu berhasil mengatasi jebakan utangnya, Tiongkok akan terus berkembang
menjadi kekuatan ekonomi nomor satu dunia. Mengalahkan Amerika Serikat. Dalam
waktu hanya 15 tahun.
Kalau kali ini gagal
mengulang sukses melewati jebakan-jebakannya, Tiongkok terpaksa akan
mengalami apa yang pernah dialami Jepang. Pertumbuhan ekonominya berhenti.
Selama 20 tahun.
Sejak tahun 1990-an
sampai menjelang 2010 lalu, ekonomi Jepang hanya tumbuh nol persen (kadang
sedikit di atas nol, kadang minus sedikit di bawah nol). Waktu itu, kalau
orang Jepang menempatkan uang di bank, bukannya mendapat bunga, bahkan harus
membayar uang administrasi.
Tapi, jangan
dibayangkan hal itu menjadi sebuah bencana. Berhentinya ekonomi Jepang adalah
berhentinya ekonomi sebuah negara yang telanjur menjadi kaya raya. Ia tidak
menjadi miskin. Hanya berhenti untuk menjadi lebih kaya lagi.
Demikian juga Tiongkok
nanti. Kalaupun Tiongkok kali ini gagal keluar dari jebakan utang, itu akan
mirip dengan apa yang dialami Jepang. Jangan-jangan memang begitulah hukum
alam untuk menjadi negara kaya. Harus melewati satu masa konsolidasi yang
sulit, menyakitkan dan panjang.
Bedanya, saat Jepang
mengalami itu, demokrasinya sudah sangat matang. Tiongkok belum menjadi
negara demokrasi. Entah itu kekuatan atau kelemahan. Mungkin saja itu justru
menjadi kekuatan daripada, misalnya, masih dalam status negara demokrasi
setengah matang.
Jebakan utang Tiongkok
itu terlihat dari angka ini:
1. Utang negara dan utang perusahaan di
Tiongkok sudah mencapai USD 26 triliun. Tertinggi di dunia.
2. Utang itu sudah
mencapai rasio 250 persen dari GDB Tiongkok yang sekitar USD 10 triliun.
3. Rasio sebesar
itu dalam doktrin negara-negara Eropa
sudah memasuki tahap yang perlu di-bailout. Artinya, kalau tidak di-bailout,
memasuki tahap kebangkrutan.
4. Untuk menurunkan
rasio itu, utangnya tidak boleh tambah, tapi ekonominya harus tumbuh tinggi.
Atau, utangnya boleh tambah sedikit, tapi pertumbuhan ekonominya harus tumbuh
besar.
5. Secara teori, tanpa
tambah utang, ekonomi tidak mungkin tumbuh. Di sinilah jebakannya itu.
6. Suku bunga harus
rendah. Tapi, tanpa utang baru, likuiditas akan ketat. Itu berarti suku bunga
pinjaman atau obligasi akan terpaksa tinggi. Di sini terlihat juga
jebakannya.
Kenyataan di atas
sudah mirip persoalan ayam dan telur. Bahkan sudah masuk ke persoalan buah
simalakama. Hanya, berbeda dengan negara lain, masih banyak faktor positif
yang dimiliki Tiongkok:
1. Cadangan devisanya
USD 4 triliun. Tertinggi di dunia. Negara lain akan berada dalam bahaya kalau
cadangan devisanya hanya cukup untuk membiayai impor selama dua minggu.
Cadangan devisa Tiongkok itu bisa digunakan untuk membiayai impornya selama, wooww, beberapa tahun.
2. Hitungan GDB
Tiongkok tadi belum termasuk kekayaan CIC, perusahaan investasi negara yang
melakukan investasi di luar negeri.
3. Pengendalian jumlah
penduduknya berhasil. Karena itu, pemberian izin untuk memiliki lebih dari
satu anak dilakukan dengan sangat selektif.
4. Utang-utang luar
negeri tersebut umumnya berbentuk mata uang renminbi/yuan. Bukan dolar. Itu
tidak akan menggerus cadangan devisa.
Saya sudah menduga
Tiongkok akan memainkan yuan untuk mengatasi jebakan utangnya itu. Tapi, saya
tidak menduga kalau devaluasi yang akhirnya dilakukan.
Semua kesulitan
ternyata ada jalan keluarnya. Setinggi apa pun kesulitan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar