Bebas dari Pasar Malam
Wicaksono Adi ; Penulis Budaya
|
JAWA
POS, 17 Agustus 2015
HARI ini segala hal berseliweran di depan
mata: benda-benda, informasi, pemikiran, ide-ide, ideologi, narkoba, teror,
iklan bedak kecantikan, infotainment, sirkus politik, sepak bola, mutilasi,
heboh daging sapi, ISIS, dan sebagainya, dan sebagainya.
Segalanya datang dan pergi begitu cepat.
Sesuatu yang hari ini ngetren sudah usang tertimbun hal-hal lain esok. Tapi,
segala yang sudah usang itu esok akan diformat ulang dan diperbarui, bukan
untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar baru, tapi hanya berganti bungkus
guna membangkitkan selera sehingga orang tertarik untuk mengunyahnya terus.
Hari ini orang juga kian sibuk dengan gawai,
internet, media sosial, dan dunia maya yang nyaris tanpa batas itu. Di situ
segalanya dapat diekspos, disebarluaskan, dikunyah tanpa henti. Orang
menulis, mengunggah foto, berbincang, dan berkomunikasi bukan untuk
mendapatkan pamahaman yang lebih mendalam atas sesuatu, tapi justru sebaliknya,
untuk menghapus dan melupakannya. Akibatnya, ingatan atau memori pun menjadi
kian pendek.
Aksi kunyah untuk melupakan itu ternyata
menimbulkan kenikmatan tertentu. Keasyikan pada segala yang artifisial dan
sementara itu menjalar ke mana-mana sehingga melahirkan keengganan pada
kedalaman. Yang penting enjoy dan ”asyik-asyik aja”.
Hari ini sebagian besar masyarakat kita sedang
mengubah diri menjadi masyarakat konsumer yang ”asyikasyik aja” itu.
Masyarakat yang siap menelan apa saja. Ambil contoh di bidang seni hiburan,
20 tahun silam para promotor seni pertunjukan, khususnya musik pop Indonesia,
harus ekstrakeras meyakinkan bintang-bintang besar dunia agar mau naik
panggung di Jakarta.
Para ikon besar seni musik pop dan pertunjukan
dunia biasanya menetapkan agenda pentas ke Singapura, dan jika untung, akan
singgah ke Indonesia. Tapi, kini keadaannya terbalik, para bintang besar atau
grup top dunia terpaksa antre untuk manggung di negeri ini.
Indonesia telah menjadi barometer utama pasar
panggung seni pertunjukan di Asia Tenggara, bahkan Asia. Kita saksikan
histeria K-pop plus Gangnam Style yang menjalar tanpa ampun, terutama di
kota-kota besar Indonesia.
Pada saat yang sama, setiap hari muncul mal
dan pusat perbelanjaan. Jakarta, misalnya, adalah sebuah kota konsumer top
dunia, dengan 300-an pusat perbelanjaan, mengalahkan New York atau London.
Segalanya tumplek bleg di situ. Kehidupan di
situ mirip bazar yang riuh oleh kenikmatan. Dan sebagaimana lazimnya
kehidupan bazar, ia akan gampang menguap tanpa jejak, tak menghasilkan
apa-apa selain timbunan konsumsi belaka.
Lalu, dalam politik, bazar itu begitu bising
sehingga membuat orang lupa pada segala hakikat demokrasi. Ratusan, bahkan
ribuan pilkada, yang telah dilakukan selama ini cenderung menjadi pesta bazar
atau keriuhan pasar malam yang segera usai menjelang pagi. Dan esoknya, yang
terisa adalah serakan sampah di mana-mana. Segalanya datang serbacepat dan
akan berlalu dengan cepat pula. Segala masalah yang muncul terpaksa dicarikan
penyelesaian yang instan dan tambal sulam pula.
Segalanya kini tampak seperti fragmen-fragmen,
serpihan dan timbunan peristiwa. Segalanya jadi terpecah-pecah oleh keriuhan
bazar itu. Dan, rupanya keriuhan itu klop dengan keruwetan di jalan raya dan
karut-marut birokrasi serta tata kelola pemerintahan. Lalu, di tingkat sosial
telah berlangsung segregasi, fragmentasi, keterpecahan, dan pertentangan yang
kian meluas. Di antara berbagai kelompok sosial, politik, budaya, agama,
suku, semakin rawan terjadi konflik yang kadang berujung pada kekerasan.
Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi
fragmentasi sosial yang sedemikian mengkhawatirkan. Dan, sejauh ini politik
gagal mencairkan kemacetan komunikasi sosial itu. Bahkan justru cenderung
memperburuk situasi hingga meledak menjadi konflik horizontal. Akibatnya,
afinitas atau rekatan sosial pun kian rapuh.
Jika situasinya demikian, lalu bagaimana
memaknai kemerdekaan? Tak perlu muluk-muluk. Kemerdekaan hari ini berarti
sebuah upaya untuk membebaskan diri dari gerusan kenikmatan segala yang
instan dan serba permukaan itu. Suatu upaya untuk menemukan kembali kedalaman
dengan membebaskan diri dari pusaran gejala fragmentasi sehingga dapat
membangun kembali rekatan sosial yang nyaris hancur sekaligus menentukan
orientasi bersama dalam jangka panjang sebagaimana telah ditetapkan para
pendiri bangsa ini. Jika tidak, perayaan kemerdekaan akan tenggelam sebagai
bagian dari perayaan pasar malam yang instan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar