Infrastruktur dan Ketahanan Kita
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 27 Agustus 2015
Ketika pemerintahan
Jokowi-JK mengurangi subsidi BBM dan mengalihkan dananya untuk membangun
infrastruktur, saya dan semoga kita semua senang.
Subsidi BBM yang
diberikan pemerintah selama ini memang kurang mendidik. Konsumsi BBM kita
cenderung boros dan subsidinya sama sekali tidak tepat sasaran. Lebih banyak
orang kaya yang menikmatinya ketimbang orang miskin.
Memang ini tak mudah.
Pembangunan infrastruktur kita selalu dirundung masalah. Di antaranya soal
pengadaan lahan dan permainan para pemegang lisensi yang tak punya
kesungguhan untuk membangun. Lalu, masih banyaknya masalah yang terkait
dengan prosedur pencairan dana.
Baiklah, mungkin memang
tak mudah melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Saya berharap ke depan
prosesnya bisa semakin cepat dan saya menaruh harapan yang tinggi untuk itu.
Seiring dengan itu,
saya ingin mengajak Anda untuk memiliki perspektif yang lebih luas tentang
infrastruktur. Sebab saya yakin sebagian Anda, ketika berbicara tentang
infrastruktur, pasti yang terbayang adalah jalan raya atau jalan tol, rel
kereta api, atau pelabuhan udara maupun laut. Mungkin bisa ditambahkan dengan
infrastruktur telekomunikasi dan listrik.
Infrastruktur Lainnya
Infrastruktur yang
perlu kita bangun bukan hanya itu. Jauh lebih luas lagi. Saya ambil ilustrasi
untuk industri minyak dan gas. Infrastruktur yang mesti kita bangun mulai
dari hulu sampai hilir. Di sektor hulu, misalnya, infrastrukturnya berupa
jaringan pipa yang digunakan untuk mengalirkan minyak mentah atau gas dari
sumur-sumur minyak ke kilang-kilang minyak. Di pengilangan minyak, kita juga
mesti membangun tangki-tangki timbun untuk minyak mentah dan gas.
Bagaimana kalau
jaringan pipanya tidak ada? Apa boleh buat, minyak-minyak itu mesti diangkut
dengan mobil-mobil tangki. Ongkosnya mahal sekali.
Di sektor hilir,
infrastruktur yang harus kita bangun juga jaringan pipa untuk mengalirkan
minyak mentah dan gas dari kilang ke lokasi-lokasi penimbunan BBM atau BBG.
Bahkan termasuk jaringan pipa sampai ke SPBU-SPBU atau SPBG, atau ke
pembangkit-pembangkit listrik.
Bicara soal tangki
timbun BBM, selama ini di masyarakat kita banyak yang salah kaprah.
Pemerintah selalu mengatakan stok BBM kita cukup sampai 18-20 hari. Padahal,
stok yang dimaksud adalah stok BBM itu adalah stok yang berada di
tangki-tangki timbun di kilang-kilang milik Pertamina. Jadi bukan tangki yang
dibangun secara khusus untuk menimbun BBM.
Apa keterkaitan stok
BBM tersebut dengan ketahanan energi kita? Erat sekali. Sebagai perbandingan,
kalau kita menyebut stok BBM di negara-negara lain, seperti di Malaysia yang
20 hari atau Singapura yang 25 hari, itu artinya betul-betul stok yang ada di
tangki timbun. Bukan stok yang ada di kilang-kilang.
Bahkan lebih dari itu.
Beberapa negara juga memiliki stok minyak mentah di tangki-tangki penimbunan.
Jadi kalau sudah
begini, baru ketahuan bahwa kita sebetulnya tak punya stok BBM. Apalagi stok
gas. Kita juga tak punya stok minyak mentah dan gas yang belum diolah. Dan
tradisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Kalau sudah begini, masihkah
kita berani bicara soal ketahanan energi? Saya, tidak.
Kalau sudah begini
kita jadi tahu betapa tertinggalnya pembangunan infrastruktur kita. Maka tak
aneh kalau pemerintahan Jokowi-JK mengalihkan dana subsidi BBM untuk
pembangunan infrastruktur walau belum sampai ke infrastruktur minyak dan gas.
Kalau saya ajak Anda
untuk melihat infrastruktur dalam arti luas, ketertinggalan kita bahkan
semakin menjadi-jadi. Misalnya infrastruktur dalam bentuk air bersih.
Instalasi pengolahan air bersih kita masih sangat terbatas. Apalagi
infrastruktur untuk distribusinya. Maksud saya jaringan pipa untuk
mengalirkan air bersih tersebut ke rumah-rumah penduduk hingga pabrik-pabrik.
Listrik juga begitu.
Produksinya masih kurang, begitu pula dengan jaringan distribusinya. Bahkan
termasuk infrastruktur pendukungnya. Misalnya, trafo-trafo yang ada di
pembangkit-pembangkit listrik atau gardu-gardu induk. Mudah-mudahan Anda
masih ingat dengan padamnya listrik seputar Jakarta, Tangerang, dan Bekasi
pada awal Desember 2013. Jangan anggap sepele masalah ini. Di RS Pirngadi,
Medan, tiga pasiennya meninggal dunia akibat trafo yang terbakar. Mengapa
trafo itu sampai terbakar? Setelah diselidiki ternyata akibat listrik di
Medan yang bolak-balik byar pet. Mati-hidup, mati hidup.
Itu akibat lain dari
keterbatasan infrastruktur listrik. Akibat lainnya, rasio elektrifikasi kita
masih 84,35%. Artinya masih ada 15,65% rumah tangga di Indonesia yang belum
menikmati aliran listrik. Kita mungkin sulit memaknai angka 15,65%. Untuk
sederhananya, kalau jumlah penduduk Indonesia saat ini berkisar 240 juta, itu
artinya masih ada lebih dari 37 juta rakyat kita yang belum menikmati aliran
listrik. Ini jumlah yang tidak sedikit.
Tak Ada Habisnya
Sekarang saya ajak
Anda untuk melihat yang lebih seram lagi, yakni keterbatasan infrastruktur
pangan kita. Belum lama ini kita merasakan akibatnya. Beberapa pekan lalu
harga daging sapi melonjak hingga mencapai Rp150.000/kg. Konon kabarnya
sebagian pedagang menuruti kehendak pengimpor: mogok jualan.
Akal sehat kita
langsung mengerti maksudnya: mereka menekan pemerintah agar diberi izin impor
yang lebih besar lagi, tetapi harga mereka yang mendikte. Hebat bukan? Kalau
harga daging mahal, barang substitusi akan ikutan. Benar saja, harga daging
ayam melonjak ke Rp45.000/kg.
Dua kasus tadi, bagi
saya, cermin dari belum tertatanya infrastruktur pangan kita. Baik di tingkat
produksi maupun sampai distribusinya. Di tingkat produksi, misalnya, ternyata
pemerintah kita tidak memiliki infrastruktur informasi yang lengkap tentang
jumlah sapi yang dikuasai masyarakat.
Maaf, kalau bicara
infrastruktur pangan lebih luas lagi, kita mesti menyinggung pula soal air
dan energi. Berapa banyak waduk dan jaringan irigasi yang masih harus kita
bangun? Setiap kali para petani kita juga masih mengalami kekurangan benih
dan pupuk. Demikian juga energi, bila
tak mumpuni, pangan tak bisa dimakan.
Lalu, saya paling
tidak tega kalau sudah bicara tentang pendidikan. Akibat keterbatasan
infrastruktur, banyak anak kita yang bersekolah di bangunan seadanya. Sama
sekali tidak layak disebut sekolah.
Dari situ,
mudah-mudahan segera terbayang di benak kita tentang betapa beratnya tugas
pemerintahan Jokowi-JK. Maka, saya sungguh tak habis mengerti dengan mereka
yang masih saja dengan telengasnya memainkan isu, mengolok-olok dengan
akun-akun bodong mengatasnamakan rakyat, bahkan cengeng sekali gayanya.
Negeri ini selalu
mendua. Ibarat saat membaca berita tentang pemerkosa yang membunuh korbannya:
kita pun mengutuk dan menuntut agar penjahatnya ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati. Namun begitu penjahat itu ditangkap dan beberapa tahun kemudian
orang itu dihukum mati, banyak orang yang menyayangkannya. Kita justru
mengutuk hakim yang tega memutus perkara dengan hukuman maksimal.
Hal sama juga terjadi
di Kampung Pulo. Waktu gubernurnya mendiamkan mereka membangun rumah dan
membuang sampah di sana sampai kebanjiran, kita bilang ini gara-gara
gubernurnya lembek. Pas gubernurnya tegas tanpa kompromi memindahkan mereka
ke pemukiman yang lebih baik, kita bilang ia tidak manusiawi.
Pantaslah kita jadi
sulit maju. Bukan karena kekurangan leader,
melainkan karena mental yang terlalu lembek, kurang gigih, dan mudah menyerah
begitu diejek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar