Pilah Pilih Komisioner KPK
Eddy OS Hiariej ;
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KOMPAS,
26 Agustus 2015
Zainal Arifin Mochtar menulis di harian ini
edisi 6 Agustus 2015, ”Komisi Perwakilan Kejaksaan/Kepolisian”. Saya
sependapat dengan Zainal yang menyatakan bahwa Panitia Seleksi (Pansel) KPK
harus menentukan corak dan model komisioner KPK berdasarkan kebutuhan
percepatan pemberantasan korupsi empat tahun ke depan dengan memperhatikan
sektor-sektor pemberantasan korupsi.
Akan tetapi, saya tak sependapat dengannya
yang cenderung menafikan keberadaan mereka yang berlatar polisi dan atau
jaksa sebagai komisioner KPK dengan penafsiran Undang-Undang KPK. Benar yang
dikatakan Zainal bahwa tidak ada satu pasal pun dalam UU KPK yang menyatakan
bahwa komisioner KPK harus berlatar polisi dan atau jaksa, tetapi tak berarti
keberadaan mereka tak perlu dipertimbangkan.
Polisi dan jaksa perlu
ada
Sebelum menafsirkan UU KPK, perlu dipahami
terlebih dahulu bahwa UU ini berada dalam kerangka sistem peradilan pidana.
Substansi UU dimaksud tidak hanya mengatur institusi KPK, tetapi sebagian
besar isi UU tersebut merupakan hukum acara pidana, khususnya tindakan pro
justicia terhadap pelaku kejahatan korupsi.
Dapatlah dikatakan, UU KPK merupakan hukum acara
yang bersifat lex specialis. Akan tetapi, ia tidak terlepas dari
karakter hukum acara pidana yang mengandung sifat keresmian dengan berpegang
pada prinsip hukum yang tertulis, hukum yang jelas, dan hukum yang tegas.
Jika terdapat ketentuan yang tidak jelas dalam
hukum acara pidana, pintu penafsiran tidaklah terbuka lebar sebagaimana yang
dikatakan Zainal. Namun, pintu penafsiran itu terbuka secara sempit atau
bersifat restriktif. Hal ini berdasarkan adagium bahwa jika ada penyimpangan
aturan dalamhukum pidana, penyimpangan itu harus diartikan secara sempit.
Dalam konteks teori, paling tidak ada 14
metode penafsiran. Ke-14 metode penafsiran tersebut ada yang bersifat
restriktif, yang berarti menjelaskan suatu ketentuan UU yang membatasi ruang
lingkupnya dengan mempersempit suatu hal yang terkandung dalam norma, dan
penafsiran bersifat ekstensif yang berarti melakukan penafsiran
denganmelampaui batas pengertian suatu hal yang dirumuskan dalam aturan.
Termasuk di dalamnya penafsiran yang bersifat restriktif adalah penafsiran
gramatikal, penafsiran sistematis, dan penafsiran harmoniserende.
Dalam penafsiran gramatikal, pembacaan suatu
norma hukum secara letterlijk menjadi penting. Sementara
penafsiran sistematis adalah menghubungkan satu pasal dengan pasal lain dalam
UU yang sama. Penafsiran harmoni-serende adalah untuk
menjaga harmonisasi antara UU yang satu dan UU lain yang secara eksplisit
disebutkan dalam UU tersebut.
Kembali kepada keberadaan bakal calon berlatar
polisi dan atau jaksa sebagai komisioner, kendatipun UU KPK tidak secara
tegas mewajibkan, keberadaan mereka sebagai komisioner KPK sangat perlu
dipertimbangkan.
Pertama, ketentuan Pasal 21 Ayat (4) UU KPK
menyatakan bahwa pemimpin KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Artinya,
pemimpin KPK tidak hanya melaksanakan tugas dan fungsi manajerial
administrasi ataupun pengambil kebijakan. Ia juga dituntut melaksanakan
fungsi yang bersifat teknis yuridis dan pro justicia. Hal ini
didasarkan pada penafsiran gramatikal-sistematis.
Kedua, dengan menggunakan penafsiran harmoni-serende,
ketentuan Pasal 38 Ayat (1) juncto Pasal 39 Ayat (1) UU KPK,
keberadaan komisioner yang berlatar polisi dan atau jaksa menjadi relevan.
Kedua ketentuan itu eksplisit pada intinya menyatakan bahwa penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tetap mengacu pada KUHAP sepanjang tidak
ditentukan lain dalam UU KPK. Berdasarkan KUHAP, penyidik adalah polisi dan
penyidik pegawai negeri sipil, sementara penuntut umum adalah jaksa.
Ketiga, untuk memperkuat penafsiran
gramatikal-sistematis-harmoniserende dapat digunakan penafsiran
doktriner, yaitu penafsiran yang didasarkan pada teori tertentu. Dalam hal
ini adalah teori integrated criminal justice system atau
satu kesatuan sistem peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim,
dan advokat untuk memproses suatu perkara pidana. Khusus terkait fungsi
penyidikan dan penuntutan, keberadaan polisi dan jaksa amat perlu
dipertimbangkan.
Kriteria komisioner
KPK
Apa saja yang dijadikan kriteria calon
komisioner KPK yang akan dipilah dan dipilih Pansel KPK? Paling tidak tiga
kriteria harus dimiliki komisioner KPK. Pertama adalah integritas moral.
Kriteria ini merupakan harga mati yang tak dapat ditawar dan dapat ditelusuri
berdasarkan rekam jejak bakal calon komisioner KPK. Perihal integritas moral
ini juga sejalan dengan Pasal 1 huruf c United
Nations Convention Against Corruption.
Kedua, pemosisian dan komitmen yang kuat dari
bakal calon komisioner KPK untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu.
Ketiga, profesionalisme dalam menjalankan tugas. Termasuk dalam
profesionalisme adalah kapasitas intelektualitas yang memadai. Kriteria ini
dibutuhkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi komisioner KPK yang teknis
yuridis.
Jika dihubungkan antara ketiga kriteria itu
dan latar bakal calon komisioner KPK yang berasal dari polisi dan atau jaksa,
dua hal jadi catatan. Pertama, jika bakal calon yang berlatar polisi dan atau
jaksa yang telah lolos seleksi tahap sebelumnya tak ada yang memenuhi
kriteria integritas moral dan komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi,
dalam tataran ini saya sependapat dengan Zainal untuk tak mempertimbangkan
mereka sebagai komisioner KPK.
Kedua, jika yang terjadi sebaliknya, dalam
pengertian bahwa bakal calon komisioner KPK yang berlatar polisi dan atau
jaksa ada yang memenuhi kriteria integritas moral dan komitmen yang kuat
dalam pemberantasan korupsi, keberadaan mereka sebagai komisioner KPK wajib
diutamakan. Ini semata-mata untuk melengkapi profesionalisme dalam
melaksanakan tugas dan fungsi bersama-sama komisioner lain yang kolektif
kolegial.
Setelah membaca artikel saya, ”Komposisi
Pimpinan KPK” di Kompas (28/7), Indriyanto Seno Adji,
pelaksana tugas pemimpin KPK, mengirim SMS: ”Saya yang notabene guru besar
hukum pidana dan juga seorang lawyer tidak menguasai hal-hal
teknis yuridis terkait tindakan penyidikan dan penuntutan. Beruntung ada
unsur pimpinan yang berlatar belakang polisi dan jaksa sehingga bisa
mengoreksi tindakan penyidikan dan penuntutan pada level di bawahnya.”
Pesan singkat Indriyanto perlu saya utarakan
untuk memberikan masukan kepada Pansel KPK yang tengah memilah dan memilih
komisioner KPK bahwa selain ketiga kriteria di atas yang jadi acuan utama,
keberadaan komisioner KPK berlatar polisi dan atau jaksa amat perlu
dipertimbangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar