Muhammadiyah Pasca-Din Syamsuddin
Syamsul Arifin ;
Guru Besar dan Wakil Direktur Program
Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang
|
JAWA
POS, 07 Agustus 2015
MUKTAMAR Ke-47 Muhammadiyah berlangsung tanpa
gejolak sedikit pun. Salah satu tahap penting muktamar yang berpotensi besar
menimbulkan kegaduhan, konflik, dan bahkan tindakan anarkistis, yaitu
pemilihan pucuk pimpinan, berjalan dengan lancar.
Kalau bisa disebut sebagai suatu prestasi,
suasana sejuk, terutama pada tahap pemilihan pucuk pimpinan, tidak bisa
dilepaskan dari ”kearifan lokal” di Muhammadiyah dalam melembagakan dan
merawat tradisi demokrasi. Posisi pucuk pimpinan di Muhammadiyah tidak bisa
diraih secara tiba-tiba hanya dalam waktu sekejap. Tahapan yang dilaluinya begitu
panjang. Salah satu pilar penting Muhammadiyah sebagai fenomena organisasi
adalah ranting, suatu level paling bawah organisasi Muhammadiyah.
Level tersebut perlu dilewati kader dan
aktivis Muhammadiyah agar bisa merasakan denyut dinamika Muhammadiyah yang
terkadang sunyi. Pada level ini Muhammadiyah sebagai fenomena ”minoritas”
bisa terlihat secara nyata. Jangan kaget bila, misalnya, menyelenggarakan
pengajian di level ranting, yang hadir orang itu-itu saja.
Kalau toh menjadi pimpinan Muhammadiyah di level-level
berikutnya (cabang, daerah, dan wilayah), jangan pernah berpikir mendapatkan
insentif, terutama secara materiil. Bisa jadi karena sepinya insentif
tersebut, kegaduhan pada setiap pemilihan pucuk pimpinan mulai di level
ranting, cabang, daerah, wilayah, hingga pusat bisa dihindari.
Selain rekam jejak keterlibatan dalam
organisasi Muhammadiyah pada semua level, orang yang akan menduduki pucuk
pimpinan Muhammadiyah (ketua umum Pimpinan Pusat/PP Muhammadiyah) harus
mendapatkan pengakuan warga persyarikatan Muhammadiyah setidaknya dalam empat
sisi. Yaitu intelektualitas, profesionalitas, keadaban personal, dan jaringan
yang luas.
Terpilihnya Haedar Nashir sebagai ketua umum
PP Muhammadiyah masa bakti 2015–2010 bisa dibaca melalui kerangka pandang
tersebut. Pada pria yang juga dosen tetap Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
itu melekat empat kemampuan sebagaimana disebutkan, di samping
keterlibatannya yang demikian lama di Muhammadiyah. Dari sisi
intelektualitas, Haedar telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam menghadirkan
suatu wacana secara tertulis dan sistematis dalam beberapa isu. Seperti
terlihat pada publikasi dalam bentuk buku dan artikel yang tersebar di
beberapa media massa. Dilihat dari aspek itu, Muhammadiyah patut bersyukur
memiliki seorang kader dan aktivis yang tidak hanya paham terhadap sejarah
dan jeroan Muhammadiyah, tetapi juga mampu merekonstruksi bangunan ideologi
Muhammadiyah dalam konteks sejarah dan kekinian sebagaimana bisa dibaca di
majalah Suara Muhammadiyah.
Haedar memang tidak sebanding dengan Yunahar
Ilyas dalam hal penguasaan terhadap ilmu-ilmu keagamaan Islam. Juga tidak
bisa dibandingkan dengan Syafiq Mughni yang memiliki pengalaman pendidikan
dari kampus ternama di luar negeri. Riwayat pendidikan Haedar, terutama pada
level pascasarjana, seluruhnya diselesaikan di program studi umum perguruan
tinggi di tanah air. Namun, ini tidak berarti Haedar tidak piawai dalam
menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.
Haedar bahkan bisa disejajarkan dengan A.R.
Fachruddin yang cenderung sejuk dan teduh dalam mengurai materi keagamaan di
beberapa forum pengajian. Tentu Haedar masih di bawah Fachruddin dalam
mengemas materi pengajiannya dengan idiom-idiom dan guyonan khas Jawa.
Maklum, dia berasal dari Jawa Barat kendati lama tinggal di Jogjakarta.
Dengan karakternya yang tenang, dan penting
juga dicatat, Haedar sama sekali tidak memiliki rekam jejak di partai
politik, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya akan tetap lurus-lurus saja
dalam ranah dakwah amar makruf nahi mungkar, tidak mudah terombang-ambing
oleh kepentingan politik praktis.
Alih-alih didorong bermetamorfosis menjadi
partai politik, Haedar akan menjaga marwah (kehormatan) Muhammadiyah sebagai
salah satu eksemplar civil society atau masyarakat madani yang ternyata lebih
teruji.
Tentu pada Haedar juga ada beberapa titik
lemah. Pada masa kepemimpinan Din Syamsuddin, Muhammadiyah mampu didorong
terlibat dalam berbagai forum antarbangsa atau internasional yang bahkan
melintasi batas-batas agama. Dengan cara begitu, citra Muhammadiyah sebagai
organisasi yang inklusif kian kukuh. Tidak sedikit pertanyaan yang ditujukan
kepada Haedar terkait dengan kemampuannya dalam meneruskan daya jelajah
Muhammadiyah di berbagai forum internasional sebagai salah satu legasi Din.
Haedar tentu memaklumi adanya pertanyaan ini.
Karena itu, dia perlu meneruskan tradisi yang telah dikembangkan
pendahulunya. Di samping dengan mengeksplorasi potensi kekuatan pada dirinya,
Haedar dalam periode kepemimpinannya didukung orang-orang yang memiliki rekam
jejak dalam mengembangkan jejaring internasional.
Mengenai mengapa peraih suara terbanyak pada
forum muktamar Muhammadiyah tidak otomatis menjadi ketua umum PP
Muhammadiyah, tetapi masih perlu bermusyawarah dengan 12 kandidat lainnya,
itu merupakan salah satu penanda bahwa kepemimpinan di Muhammadiyah
mengutamakan prinsip kolegialitas dan kolektivitas. Dalam konteks praksis
kepemimpinan Muhammadiyah lima tahun ke depan (2015–2020), Haedar Nashir
didukung orang-orang berpengalaman di berbagai bidang. Sehingga Muhammadiyah
sebagai eksemplar civil society tetap terjaga marwahnya dan terus berkembang
di masa-masa yang akan datang. Selamat bertugas, Pak Haedar! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar