10 Tahun Wafat Cak Nur
Endang Suryadinata ;
Penggemar Sejarah
|
KORAN
TEMPO, 26 Agustus 2015
Semoga kita tidak
lupa. Sepuluh tahun silam, tepatnya pada 29 Agustus 2005, salah satu pemikir
besar, Nurcholish Madjid (Cak Nur), meninggal dunia di Jakarta akibat kanker
hati. Meski sudah satu dekade berlalu, semoga semangat dan pemikirannya terus
hidup.
Bagaimanapun, sudah
selayaknya pemikiran Cak Nur direvitalisasi dan perjuangannya diberi tempat
dalam sejarah bangsa ini. Bukankah seperti kata Milan Kundera, "der Kampf der Erinnerung gegen das
Vergessen", perjuangan ingatan melawan lupa itu tidak gampang di
tengah amnesia yang gampang diidap bangsa ini?
Pemikiran Cak Nur,
baik yang terkait dengan Islam dan relasinya dengan agama-agama lain maupun
relasi Islam dengan negara, juga masa depan negeri ini, sebaiknya jangan
pernah dilupakan. Harus diakui,
pemikiran Cak Nur semasa hidup sungguh menyimpan "daya mesianis"
(meminjam istilah filsuf Walter Benjamin). Artinya, apa yang telah Cak Nur
pikirkan sepanjang hidupnya menyangkut "nasib" bangsa ini sungguh
bermanfaat dan relevan bagi kita pada masa sekarang dan mendatang.
Salah satu dari sekian
banyak pemikirannya yang tampak relevan dengan kekinian kita adalah soal
nasionalisme produktif di tengah tantangan
globalisasi. Menurut Cak Nur, nasionalisme masih kita butuhkan, tapi
kita tidak membutuhkan nasionalisme yang mengisolasi diri sendiri, seperti
kasus Myanmar. Dan, nasionalisme yang didambakan Cak Nur adalah nasionalisme
yang produktif seperti model Korea Selatan atau Cina. Tanpa gembar-gembor
menyebut nasionalisme, warga kedua negara tersebut sangat produktif dengan
barang-barang buatan mereka.
Ini beda dengan negeri
kita. Cak Nur mengkritik bangsa kita ini sebagai bangsa yang manja dan cengeng.
Suka mencari gampangnya, sehingga makin dikenal sebagai bangsa paling
konsumtif di dunia. Daripada usaha sendiri susah, sudahlah, beli dengan
mengimpor saja.
Padahal, menurut Cak
Nur, mentalitas seperti itulah yang merusak sumber daya manusia (human resources) kita, sehingga daya
saing kita begitu rendah. Dan nasionalisme kita menjadi tidak produktif. Cak
Nur menunjuk apa yang terjadi di Probolinggo atau Pasuruan. Dulu, di era
kolonialisme Belanda, di kedua kawasan itu malah terdapat beraneka pabrik besar, seperti pabrik
gerbong kereta api. Bahkan gula produksi pabrik di dua kawasan itu pun sudah
diekspor. Sekarang hal itu tidak terjadi, dan orang-orang di sana menjadi
kurang kompetitif dalam menyongsong globalisasi.
Untuk itu,
nasionalisme yang kita hidupi harus disokong oleh praktek hidup bernegara dan
berbangsa yang bersih, jauh dari segala praktek culas korupsi dan mencari
untung sendiri. Cak Nur memang terobsesi good governance. Obsesi itulah yang
kemudian mendorong Cak Nur maju sebagai salah satu calon presiden dalam
Pemilu 2004 dari Partai Golkar, meski akhirnya mundur.
Akhirnya, kalau
membuka semua dokumen pemikiran Cak Nur dan mengkajinya satu per satu, kita
akan menyadari bahwa pemikirannya belum basi. Misalnya pemikiran inklusivitas
dalam beragama, yang masih sangat cocok di tengah maraknya radikalisme yang
mengancam kemanusiaan dan NKRI yang majemuk. Itu menjadi bukti pemikiran Cak
Nur menyimpan "daya mesianis". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar