Komunikasi Kabinet Kerja
Gun Gun Heryanto ;
Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KOMPAS,
25 Agustus 2015
Hilang satu, tumbuh
seribu isu. Begitulah kiranya gambaran dinamika politik nasional kita
terutama terkait dengan eksistensi Kabinet Kerja Jokowi. Hampir tak ada ruang
tersisa dari sorotan publik, pro-kontra, bingkai pemberitaan media, dan
pergunjingan propaganda di beragam kanal komunikasi elite dan warga.
Seusai merombak kabinet
secara terbatas, menyeruak harapan di masyarakat, para menteri bisa fokus
bekerja merealisasikan sejumlah agenda dan memastikan optimisme tumbuh
kembang dalam basis fundamental birokrasi yang dipimpin Jokowi. Salah satu
fungsi penting yang harus serius ditangani Jokowi dengan sejumlah menterinya
adalah optimalisasi tata kelola komunikasi pemerintahan.
Koordinasi menjadi
kata kunci yang relevan diperhatikan. Dengan begitu, semua elemen yang
menggerakkan roda pemerintahan tak berjalan serampangan.
Konteks komunikasi
Kasus Menteri
Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli menjadi studi kasus yang menarik dalam
telaah aktor atau komunikator politik di Kabinet Kerja. Kritik tajam dalam
pernyataan terbukanya kepada media tentang rencana pembelian pesawat Airbus
A350 oleh Garuda serta proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW)
mencengangkan banyak kalangan, mungkin termasuk di lingkar utama Istana. Jika
memakai pendekatan Dominic Ifanta dalam tulisannya Argumentativeness and Verbal Aggressiveness (1996), tindakan
Rizal Ramli bisa dikategorikan sebagai agresi khas orang atau kelompok
pengkritik di luar kekuasaan.
Biasanya, ada dua
sifat agresi yang dominan pada diri pengkritik, yakni kesukaan berdebat dan
keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak
bercakap-cakap tentang topik- topik kontroversial. Sementara keagresifan
verbal adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego, atau konsep diri di
mana argumen bernalar.
Di alam demokrasi yang
menjadikan kebebasan berpendapat sebagai nilai fundamental, sesungguhnya
tindakan seperti yang dilakukan Rizal Ramli bukan masalah besar. Namun,
dengan catatan jika ia berposisi sebagai ekonom independen atau kritikus di
luar birokrasi pemerintahan.
Sangat mungkin, secara
substansial isi pesan dalam bungkus agresivitas verbal Rizal Ramli itu ada
benarnya. Misalnya, memperingatkan keras Garuda jika menggelontorkan dana
untuk membeli sejumlah pesawat Airbus A350. Pun demikian dengan kritik Rizal
soal megaproyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang dianggapnya tak
realistis. Seperti apa relasi kuasa di balik konstruksi makna yang
didistribusikan Rizal kepada khalayak, hanya dia dan pihak-pihak tertentu
yang tahu. Siapa yang sesungguhnya dibidik dalam kritik Rizal dan adakah back
up dukungan dari orang atau kekuatan tertentu yang menjadi struktur tak
terlihat di balik pernyataan Rizal? Sangat spekulatif dan multitafsir, meski
jika ditelisik bisa saja dipetakan.
Yang menjadi masalah
utama adalah meletakkan agresivitas verbal Rizal Ramli dalam konteks komunikasi
politik Kabinet Kerja. Ini berdampak pada munculnya masalah baru, yakni etika
dan prosedur komunikasi serta manajemen birokrasi di bawah kepemimpinan
Jokowi.
Dalam telaah Dan Nimmo
di bukunya Political Communication and
Public Opinion in America (1996), mustahil seorang pemimpin dapat
mengoordinasikan tata nilai politik dan idealisasi sosial secara seimbang
tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik. Hal yang dituntut pasti
dari Jokowi adalah kinerja optimal Kabinet Kerja, sehingga pemerintah harus
hadir dalam denyut keseharian masyarakat dan menjadi bagian utuh penyelesaian
masalah.
Jika para menteri
sibuk silang sengketa dengan sesama kolega atau menteri koordinator terkesan
memprovokasi untuk berdebat secara terbuka dengan wapres, tentu bukan hanya
tidak elegan, tetapi juga menimbulkan masalah baru. Hal seperti ini bisa
mengganggu koordinasi, menciptakan kesenjangan komunikasi, dan sangat mungkin
merusak harmoni di antara para menteri di Kabinet Kerja. Jika tidak hati-hati
dalam manajemen konfliknya, perilaku sejenis ini juga berpotensi merusak
persepsi positif dan reputasi pemerintahan Jokowi. Kritik Rizal secara
prosedural dan etis akan lebih tepat disampaikan di rapat kabinet, bukan
secara sporadis dilempar kepada publik karena berpotensi digoreng ”setengah
matang” oleh banyak pihak hingga akhirnya dikonsumsi secara tak sehat oleh
masyarakat awam.
Meminjam konstruksi
berpikir teori manajemen privasi komunikasi dari Petronio dalam Boundaries of Privacy: Dialectics of
Disclosure (2002), harusnya Rizal memiliki pilihan dan peraturan sendiri
mengenai apa yang harus dikatakan dan apa yang harus disimpan dari publik
berdasarkan ”kalkulus mentalnya”. Rizal wajib mempertimbangkan kriteria
penting tidaknya sesuatu yang mau dia sampaikan kepada publik mengingat
konsekuensi pernyataannya bagi tugas pokok kabinet dan reputasi pemerintahan
tempat dia bekerja. Jika secara argumentatif kritik Rizal masuk akal dan
visioner, tentu harus Rizal perjuangkan di rapat-rapat kabinet, bukan
berdialektika secara prematur di media massa. Terlebih dalam sistem
presidensial, tugas menteri membantu presiden untuk menyukseskan sejumlah
agenda yang telah dicanangkan, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Kerja vs wacana
Sesungguhnya kasus
Rizal Ramli hanya satu di antara sekian persoalan komunikasi yang muncul di
era Jokowi. Sekadar mengingatkan, di fase awal pemerintahan, Menko Polhukam
(saat itu) Tedjo Edhy Purdijatno dan Sekretaris Kabinet (saat itu) Andi
Widjajanto sering kali disorot karena kontroversinya mengelola komunikasi
politik di tengah banyak tekanan.
Koordinasi komunikasi
dan administrasi pemerintahan menjadi salah satu titik lemah selain
penanganan bidang ekonomi, politik, hukum, dan keamanan. Sementara Kabinet
Kerja harus berkejaran dengan waktu dan harapan rakyat yang membubung tinggi.
Upaya mencari titik keseimbangan politik di antara beragam kekuatan yang
terfragmentasi sedemikian rupa membuat Jokowi belum optimal mengubah wacana
kampanyenya saat pilpres dengan kerja nyata yang terkoordinasikan dengan
baik.
Saatnya narasi
revolusi mental dengan landasan nilai kedaulatan politik, kemandirian
ekonomi, dan berkepribadian secara sosial-budaya itu mengejawantah dalam
kerja untuk rakyat. Walter Fisher, teoretikus paradigma naratif, menekankan
pentingnya membangun rasionalitas naratif. Tak semua narasi memiliki power
yang sama untuk bisa dipercayai. Ada dua hal prinsip yang harus ketemu, yakni
koherensi dan kebenaran. Bukan hanya koheren sebagai sebuah wacana, tetapi
juga ada kebenaran yang dapat dirasakan banyak orang.
Untuk mengurai kusut
masainya persoalan tata kelola komunikasi ini, Jokowi harus memastikan semua
menterinya loyal, memiliki visi-misi yang sama dengan Presiden, serta tahu
persis Kabinet Kerja akan melangkah ke mana. Kabinet Kerja bukan semata
menampung para penunggang gelap kekuasaan dan bukan pula kritikus yang hobi
meniupkan gelembung isu, tetapi tunakuasa saat diajak bekerja. Kabinet Kerja
benar-benar butuh menteri yang bekerja bukan mengumbar wacana! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar