Tantangan Geopolitik 70 Tahun RI
Rizal Sukma ;
Direktur Eksekutif
Centre for Strategic and
International Studies (CSIS), Indonesia
|
KOMPAS,
26 Agustus 2015
Perkembangan kawasan
Asia Pasifik belakangan ini semakin menegaskan perubahan dan transformasi
strategis di lingkungan internasional Indonesia. Pergeseran pusat gravitasi
geopolitik dan geo-ekonomi dunia ke kawasan ini merupakan aspek yang paling
nyata dari transformasi tersebut.
Indonesia sebagai
negara yang secara geografis berada di pusat Asia Pasifik akan dihadapkan
pada sejumlah tantangan geopolitik yang rumit, yang bersumber dari tiga
kecenderungan penting di kawasan ini.
Pertama, kebangkitan
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai kekuatan pesaing dan pengimbang
Amerika Serikat semakin nyata. Peran dan pengaruh RRT sebagai kekuatan besar
di kawasan juga makin terasa. Sementara itu, sebagai adidaya global, AS tetap
akan mempertahankan supremasinya di kawasan.
Masa depan Asia
Pasifik akan banyak dipengaruhi bagaimana kedua kekuatan besar ini mengelola
hubungan strategis mereka. Memosisikan diri secara tepat di antara dua
raksasa ini menjadi tantangan bagi Indonesia.
Kedua, di samping
kompleksitas dalam hubungan AS-RRT, kawasan Asia Pasifik sendiri dihadapkan
pada rumitnya dinamika hubungan antara RRT, India, dan Jepang. Rivalitas dan
ketegangan dalam hubungan RRT-Jepang semakin mengkhawatirkan.
Hubungan India-RRT
juga masih diwarnai ketidakpastian dan sikap saling curiga. Pada saat yang
sama, RRT tentu akan merasa terganggu dengan menguatkan kerja sama strategis
India-Jepang. Akibatnya, kawasan Asia Pasifik juga menyimpan potensi konflik
dalam hubungan segitiga Jepang-RRT-India.
Ketiga, rivalitas
dalam hubungan AS-RRT dan segitiga Jepang-RRT-India akan termanifestasi
secara nyata di dua front: darat dan laut.
Ajang tarung
Di darat, keempat
negara besar itu cenderung menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai ajang
pertarungan pengaruh di antara mereka. Perbedaan orientasi strategis di
antara negara-negara ASEAN, yang sejak berdirinya organisasi ini belum pernah
terselesaikan sampai sekarang, akan kembali menajam akibat perebutan pengaruh
itu. Akibatnya, persatuan ASEAN akan terancam dan sentralitas ASEAN akan
menjadi retorika semata.
Di laut, rivalitas itu
akan terfokus di dua samudra, Pasifik dan Hindia. Kehadiran militer
negara-negara besar di dua samudra itu cenderung meningkat untuk memastikan
penguasaan dan akses maritim untuk kepentingan militer dan perdagangan
mereka.
Laut Tiongkok Selatan
akan semakin penting secara strategis. Negara-negara besar akan melihat bahwa
konflik tersebut pada akhirnya akan mengganggu kepentingan nasional mereka.
Akibatnya, sengketa Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan negara-negara besar
akan menjadi flash point yang dapat merusak stabilitas di kawasan.
Ketiga kecenderungan
yang digambarkan di atas melahirkan tiga tantangan geopolitik bagi Indonesia.
Pertama, Indonesia
harus memastikan bahwa dirinya tidak akan terseret dalam rivalitas di antara
negara-negara besar itu. Memihak salah satu pihak dalam rivalitas antara AS
dan RRT, misalnya, akan menjadikan Indonesia sebagai bidak salah satu negara
besar itu. Posisi memihak secara prinsipal jelas bertentangan dengan prinsip
bebas-aktif dan akan merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Kedua, sebagai negara
terbesar dan primus inter pares di ASEAN, Indonesia berkewajiban mencegah
kawasan Asia Tenggara menjadi ajang perebutan pengaruh negara-negara besar.
Otonomi strategis ASEAN, yang hanya dapat diwujudkan melalui penguatan
persatuan ASEAN, adalah kepentingan strategis Indonesia yang tidak bisa
ditawar-tawar. Indonesia berkewajiban memastikan bahwa sentralitas ASEAN
tetap jadi kunci bagi perdamaian Asia Pasifik.
Ketiga, sebagai negara
kepulauan yang secara geografis terletak tepat di antara dua samudra
strategis (Samudra Pasifik dan Samudra Hindia), Indonesia berkewajiban
memastikan terjaminnya stabilitas, perdamaian, keamanan, dan kebebasan
navigasi di kedua samudra tersebut, khususnya di kawasan Laut Tiongkok
Selatan.
Oleh karena itu,
Indonesia tak punya pilihan lain kecuali aktif dalam mengelola konflik di
Laut Tiongkok Selatan.
Yang menjadi persoalan
sekarang adalah apakah Indonesia sudah memiliki peta jalan yang memuat
strategi dan kebijakan untuk menjawab ketiga tantangan geopolitik itu?
Pada tataran strategi
raya, Presiden Joko Widodo melalui artikulasi doktrin Poros Maritim Dunia
telah memberikan acuan dan basis bagi perumusan peta jalan dimaksud.
Yang masih ditunggu
adalah bagaimana doktrin itu dituangkan dalam sebuah strategi dan kebijakan
nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar