Merdeka Dengan Sabar
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 17 Agustus 2015
MERDEKA!
Merdeka dari apa?
Yang agak mendesak
kelihatannya merdeka dari ketidakpastian. Terutama ketidakpastian akan ke
mana ekonomi ini. Dan akan berapa lama?
Ini agak berbeda
dengan krisis 1998. Saat itu rupiah juga anjlok tapi beberapa komoditi
menikmatinya dengan gegap gempita. Bahkan orang luar Jawa sampai ada yang
bilang krisis ini (saat itu) lebih lama lebih baik. Ekonomi bergerak di
sektor tertentu. Lalu banyak orang berbondong pindah ke sektor tersebut.
Tapi saat ini semua
komoditi apes. Semua. Orang yang masih punya modal pun tidak bisa pindah
haluan. Apalagi dengan kurs yang belum menentu, pemilik modal pun akan
bersikap tunggu dulu. Sementara menunggu itulah mereka beralih ke dolar.
Reshuffle kabinet
minggu lalu memang satu langkah yang lebih baik. Nilai kabinet bisa naik dari
6 menjadi 7,5. Satu kenaikan nilai yang cukup tinggi. Tapi untuk persoalan
sebesar ini masih perlu kabinet yang bernilai 9.
Mungkin saja nilai 7,5
itu akan bisa naik menjadi 8 atau 8,5 manakala kinerja mereka ternyata lebih
bagus dari yang kita bayangkan. Agar fair baiknya kita beri kesempatan yang
cukup bagi mereka untuk bekerja sebaik-baiknya. Jangan diganggu-ganggu.
Sebaliknya nilai 7,5
tersebut ternyata ketinggian kalau kinerja yang diberikan tidak memadai.
Sementara kita menanti
kepastian itu orang akan membaca pertanda-pertanda. Orang akan melihat
sinyal-sinyal.
Pertanda pertama
adalah kompak atau tidak. Solid atau rentan. Ini akan terlihat dari
efektif-tidaknya fungsi para Menko yang baru.
Kedua, propasar atau
emosional nasionalisme sempit. Atau kombinasi yang serasi-terencana-harmoni
antara propasar dan nasionalisme longgar. Inilah yang disebut arah ekonomi.
Pelaku ekonomi ingin
melihat arah itu. Boleh saja ke utara. Atau ke selatan. Silakan. Suka-suka.
Tapi arahnya harus bisa dibaca. Agar yang akan bergerak ini tahu mau diajak
bergerak ke mana.
Arah itu tidak boleh
zig-zag. Tidak boleh berbelok-belok. Agar yang mau ikut bergerak ini tidak
terguncang-guncang. Artinya harus ada stabilitas. Harus ada ketenangan. Harus
ada ketenteraman. Barulah mereka mau berinvestasi.
Misalnya, seorang
pengusaha ternak tiba-tiba didatangi pejabat. Sang pejabat memaksa agar si peternak
menjual harga sapinya lebih murah. Agar media bisa memberitakannya bahwa sang
pejabat terlihat sudah memikirkan rakyat. Yang seperti ini adalah
pertanda-pertanda antipasar. Di mata seorang ekonom ini pertanda yang
membahayakan. Investor sangat takut dengan pertanda seperti itu.
Minggu lalu, dalam
satu minggu saja kita membaca lebih dari lima pertanda yang antipasar seperti
itu. Apakah kita akan diarahkan ke pola antipasar? Kita belum tahu. Karena di
lain pihak tetap ada keinginan menarik investasi asing sebesar-besarnya. Yang
berarti pertanda propasar.
Demikian pula di
bidang perpajakan. Awalnya pembangunan akan digerakkan dengan cara menggenjot
pendapatan pajak. Itu betul sekali. Tapi rencana yang bagus itu dibuat saat
gairah ekonomi masih tinggi. Bagaimana dengan kenyataan bahwa ekonomi
ternyata begini lesu?
Tanpa koordinasi yang
baik bisa jadi sektor pajak tetap digenjot seperti yang sudah telanjur
digariskan. Tapi pihak pajak menemukan sapi yang susunya mau diperah itu
ternyata lagi sakit. Tanpa ada perintah pembatalan mereka akan tetap memerah
susu dari sapi yang sakit itu. Sakit sekali.
Sinyal di bidang
perpajakan ini juga dibaca negatif oleh pelaku ekonomi.
Sebaiknya kita
bersabar selama sebulan ke depan khusus untuk membaca pertanda-pertanda itu.
Terutama pertanda-pertanda dari dua Menko bidang ekonomi. Apakah mereka itu
antipasar seperti yang dikesankan selama ini. Atau mereka justru penyelamat
keadaan yang sulit ini. Kesabaran membaca pertanda-pertanda itu perlu.
Sabar adalah harta
kita yang paling berharga yang kita miliki saat ini. Kalau sudah bisa sabar
10 bulan kenapa tidak bisa sabar sebulan lagi. Atau dua bulan.
Orang yang berhasil
membelanjakan kesabarannya adalah orang yang merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar