Senin, 24 Agustus 2015

Papua

Papua

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan SeniorTempos
                                                 KORAN TEMPO, 23 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tiap kali ada kecelakaan pesawat terbang di Papua, saya selalu membayangkan betapa beratnya Tim SAR menemukan reruntuhan dan mengevakuasi korban. Hutan masih perawan, jalan setapak pun jarang. Papua bergunung-gunung dan lapangan terbang perintis itu lebih banyak di lembah yang dikelilingi bukit. Sudah kondisinya seperti itu, cuaca pun ekstrem, antara cerah dan berkabut tak menentu kapan gilirannya datang.

Sesekali saya merenung, kenapa orang Papua atau mereka yang mencari hidup di Papua, suka naik pesawat? Tentu saja ini renungan salah fokus. Ini bukan persoalan suka atau tidak. Ini persoalan harus bepergian. Kalau tidak naik pesawat, lalu naik apa? Tak ada cara lain, di bumi yang luas itu, jalan darat sangat sedikit. Antar-ibu kota kabupaten belum dihubungkan dengan jalan darat, bahkan yang paling sederhana pun. Antara Sentani dan Oksibil, rute pesawat Trigana Air yang jatuh pada pekan lalu, jaraknya lebih dari 200 kilometer, itu sama dengan berkeliling di Bali yang melintasi delapan kabupaten.

Trigana Air yang jatuh itu tergolong pesawat besar dan mewah untuk ukuran Papua. Bandara Oksibil pun, seperti halnya Bandara Sentani, sejatinya bukanlah bandara perintis. Tidak kecil-kecil amat, tapi fasilitas dan tingkat pengawasan bandaranya tetap saja lemah, jika dibandingkan dengan Bandara Timika yang berstatus internasional. Masih banyak bandara yang lebih kecil dan betul-betul perintis yang hanya bisa disinggahi pesawat jenis Twin Otter. Jangan kira penumpangnya nyaman karena di pesawat itu bisa ditemukan ada kambing atau babi. Kalau ada jeriken-jeriken bahan bakar minyak itu sudah umum. 

Pengawasan untuk keselamatan penumpang tentu standarnya semakin minim lagi. Lihat saja catatan musibah, sejak 2006 sudah ada sembilan pesawat yang jatuh di Papua. Total korbannya 100 orang lebih.

Papua itu masih wilayah Republik Indonesia, jangan lupa. Tapi terasa jauh. Jauh dari Jakarta. Jauh pula dari perhatian pemerintah. Mungkin banyak yang tak setuju dengan kalimat terakhir ini. Kalau begitu, mari bandingkan dengan Jawa, sebut misalnya Jakarta-Bandung. Dua kota besar ini jaraknya cuma 150 km, lebih pendek daripada Sentani-Oksibil. Penghubung Jakarta-Bandung bisa lewat jalan mulus agak macet lewat Puncak, bisa lewat tol Padalarang, bisa dengan kereta api Parahyangan cuma 2-3 jam, bisa pula lewat udara. Pilihan begitu banyak. Toh, masih juga mau ditambah dengan kereta api cepat yang menghabiskan biaya US$ 5,5 miliar, setara dengan Rp 70 triliun. Orang Jakarta mau dalam tempo 30 menit sampai di Bandung, begitu pula sebaliknya. Tapi untuk apa kalau sampai di Gambir menuju Senayan macetnya berjam-jam?

Jika saja Rp 70 triliun dilempar ke Papua, berapa bandara perintis yang bisa diperbesar? Atau malah bandaranya ditutup karena jalan darat penghubung antar-kabupaten sudah berhasil dibuat. Jika Sulawesi dan Kalimantan iri, ya, sudahlah dibagi saja. Tapi tidak untuk Jakarta-Bandung. Cobalah kita lirik sejenak daerah yang jauh-jauh.

Sulit menjadi pemimpin di negara yang luas ini. Kalau keadilan antar-wilayah tidak diperhatikan, janganlah heran kalau muncul kemudian gejolak-gejolak kecil. Memang bisa diredam dengan janji. Misalnya, ribuan hektare sawah akan dibangun di Merauke, ratusan kilometer jalan darat akan dibuat, bagi hasil tambang Freeport akan difokuskan membangun Papua. Tapi kapan itu? Yang jadi, berita jalan tol di berbagai pelosok Jawa sudah ditenderkan dan perbaikan jalan di Pantura Jawa selalu dikerjakan menjelang Lebaran. Papua tetap terasa jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar