APBN Jokowi dan Dilema Pertumbuhan
Sofyan Hendra ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 14 Agustus 2015
KINI kita tahu senjata yang akan digunakan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam melawan perlambatan ekonomi. Lewat Nota
Keuangan RAPBN 2016, dengan sangat berani, Jokowi melebarkan defisit anggaran
menjadi 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 273,2
triliun. Jumlah itu jauh lebih jumbo daripada APBN Perubahan 2015 yang Rp 212
triliun atau sekitar 1,9 persen dari kue ekonomi nasional.
Para ekonom biasanya menyebut APBN seperti itu
sebagai anggaran yang ekspansif. Namun, sebenarnya itu adalah bahasa lugas
dari: Ayo belanja sebanyak-banyaknya dan jika duitnya masih kurang mari
berutang sebesar-besarnya. Yang penting masih mampu bayar cicilan.
Doktrin lawas Keynesianisme yang percaya bahwa
pemerintah bisa melawan kelesuan ekonomi dengan belanja sebanyak-banyaknya
memang masih relevan diamalkan. Namun, jika dihadapkan pada situasi sekarang
di mana terjadi turbulensi di pasar keuangan, tempat banyak pihak (termasuk
negara) mencari utangan, persoalannya menjadi amat ruwet.
Dengan defisit Rp 273,2 triliun, pemerintah
mesti memperoleh utang baru sejumlah itu. Tetapi, itu belum cukup. Harus ada
utang anyar lagi guna membayar obligasi yang jatuh tempo serta untuk
melakukan buyback (beli balik) surat utang. Kebutuhan untuk itu sengaja
ditutup rapat agar tidak di- corner investor serakah yang ingin imbal hasil
tinggi. Biasanya, jumlahnya puluhan triliun.
Dengan demikian, dipastikan tahun depan
pemerintah butuh tambahan utang lebih dari Rp 300 triliun. Jumlah yang cukup
besar. Tidak hanya dilihat dari postur APBN, melainkan juga ketika kita masih
ingat bahwa presiden yang sekarang adalah kader PDI Perjuangan, partai yang
bertahuntahun menolak banyaknya utang.
Ketika pasar keuangan belum menentu, langkah
tersebut bisa menimbulkan rantai persoalan baru. Saat pemerintah terlalu
banyak mencari utang di pasar modal, yield atau imbal hasil yang diminta
investor akan cenderung tinggi. Beban fiskal pun meningkat karena ongkos
bayar utang yang bertambah.
Anehnya, dalam RAPBN 2016, pemerintah
mengasumsikan suku bunga SBN (surat berharga negara) tenor 3 bulan cukup
rendah di level 5,5 persen atau lebih kecil dari APBNP 2015 yang 6,2 persen.
Kemarin imbal hasil suku bunga pemerintah dengan tenor yang sama juga masih
menembus 6,3 persen. Nah, jika pengukur beban utang lebih rendah jika
dibandingkan angka aktual, sangat mungkin uang yang dikeluarkan untuk
membayar bunga menjadi lebih besar.
Anggaran Rp 183 triliun yang disiapkan
untuk membayar rente utang bisa membengkak. Tentu, hal itu bisa mengurangi
kredibilitas fiskal pemerintah.
Yang paling dikhawatirkan adalah jika muncul
efek crowding-out di pasar. Itu adalah dampak ketika perusahaan swasta ikut
kelimpungan karena bunga di market menanjak sebagai ulah pemerintah yang
gila-gilaan mencari pinjaman. Dalam situasi itu, korporasi yang mencari dana
di pasar akan ikut menanggung beban bunga tinggi.
Alhasil, investasi swasta yang sudah seret
bisa makin mampet. Padahal, tujuan utama anggaran yang ekspansif adalah agar
investasi swasta ikut terderek dengan besarnya dana pembangunan yang
digelontorkan pemerintah.
Memang, pembiayaan tidak melulu dari pasar.
Ada utang luar negeri yang juga menjadi andalan pemerintah. Namun, jumlahnya
tetap kalah jauh jika dibandingkan dengan yang akan didulang dari market.
Lagi pula, sesungguhnya tidak ada bedanya. Negara yang kita utangi, Jepang
misalnya, juga mencari dana di pasar.
Pertumbuhan vs
Stabilitas
Jokowi saat ini dihadapkan pada dilema antara
mengejar pertumbuhan setinggi-tingginya atau memperkukuh stabilitas ekonomi.
Jika dipidatokan, dua hal itu bisa dengan enteng dijanjikan akan
diseimbangkan.
Namun, hal itu tidak mudah diwujudkan. RAPBN
2016, anggaran pertama yang didesain sejak awal oleh pemerintahan saat ini,
telah membuktikan bahwa Jokowi telah memilih jalan mengutamakan pertumbuhan
dengan risiko mengorbankan stabilitas.
Dengan pertaruhan yang cukup besar itu,
efektivitas anggaran harus menjadi jaminan. Jangan sampai risiko datang
duluan, namun keuntungan yang di angan masih mengawang. Misalnya, anggaran Rp
313 triliun untuk infrastruktur. Tidak boleh menjadi angka di atas kertas.
Memang butuh kerja keras un tuk membelanjakan
modal sebanyak itu. Butuh penuntasan masalah-masalah klasik seperti persoalan
tender, pembebasan tanah, tumpang-tindih perizinan, dan setumpuk problem
struktural lainnya.
Agar senjatanya ampuh dan risikonya minimal,
Jokowi bisa berharap banyak pada sosok Darmin Nasution. Menko Perekonomian
yang baru itu terkenal bukan sosok yang melulu terpaku pada teori. Saat
menjadi gubernur BI, misalnya, dengan berani dia membuat terobosan seperti
melenyapkan sertifikat Bank Indonesia (SBI) jangka pendek demi meningkatkan
kualitas arus modal masuk.
Dalam menstabilkan rupiah, Darmin dengan
bernas melakukan operasi pasar dengan menggunakan instrumen SBN. Tidak hanya
secara konvensional menggerojok dolar di pasar.
Terobosan-terobosan cerdik yang lain
diharapkan muncul sehingga bisa membuat APBN Jokowi lebih berdaya dalam
menggerakkan perekonomian. Dengan demikian, bisa ada peluang untuk mengejar
ambisi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen dengan risiko yang paling minimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar