Wakaf Tunai untuk Pengendalian Harga Daging
Raditya Sukmana ;
Ketua Program Studi Magister Sains Ekonomi
Islam
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 12 Agustus 2015
BEBERAPA hari terakhir harga daging sapi
menunjukkan tren naik. Kita baru saja melewati Ramadan, momen ketika biasanya
permintaan daging sapi meningkat. Dengan permintaan yang naik, wajar apabila
harga juga naik.
Setelah Ramadan, karena permintaan tidak
sebanyak sebelumnya, kita bisa berharap harga turun. Tetapi, kenyataannya
tidak. Harga daging sapi per kilogram sekarang sekitar Rp 110 ribu dan belum
ada tanda-tanda turun. Pertanyaannya, apa penyebab harga tinggi itu?
Hukum ekonomi mengatakan, kenaikan harga bisa
disebabkan dua faktor. Yaitu, permintaan (seperti pada Ramadan lalu) dan
penawaran. Bisa dipastikan bahwa penawaran sekarang menurun. Jumlah sapi yang
siap dipotong menurun. Akibatnya, dengan permintaan yang tetap, harga akan
naik.
Karena tidak bisa memaksa masyarakat untuk
menetapkan permintaan, yang bisa dikelola pemerintah adalah mengatur
suplainya (penawaran). Secara nasional, permintaan akan daging sapi tidak
bisa dipenuhi dari suplai domestik (Indonesia). Impor adalah salah satu
solusi jangka pendek.
Pada 7 Juli 2015, dilaporkan Indonesia
mengimpor daging sapi dari Selandia Baru. Negara tersebut memang berhasil
mengelola industri peternakan. Menurut salah seorang profesor dari Lincoln
University, Selandia Baru, Christopher Gan, yang sempat penulis temui, jumlah
ternak di negara tersebut lebih banyak daripada populasi manusianya. Itu
menunjukkan bahwa negara tersebut telah siap untuk menjaga kestabilan harga
daging. Lalu, mengapa Indonesia tidak bisa melakukan upaya seperti yang
dilakukan Selandia Baru? Jawabannya mudah: karena Indonesia belum optimal
dalam perencanaan suplai daging sapi, terutama keterbatasan dana atas
investasi peternakan pembibitan sapi (PPS).
Umer Chapra, salah seorang ahli ekonomi Islam,
pada 1986 menulis buku dengan judul Towards a Just Monetary System. Dalam
salah satu pendapatnya tentang kenaikan harga (inflasi), dikatakan kita harus
menyelesaikan akar permasalahan. Artinya, kita harus bersikap proaktif dan
tidak reaktif. Kita diharuskan mencari penyebab utama atas terjadinya inflasi
tersebut. Dengan demikian, dalam konteks di Indonesia, kekurangan penawaran
daging sapi yang kemudian diatasi dengan impor merupakan solusi jangka
pendek. Kita harus mencari solusi yang berkelanjutan (sustainable).
Perternakan pembibitan sapi mungkin sudah ada
di Indonesia.
yang kirakira menyebutkan bahwa Soeharto bukan
aktor tunggal atas segala tragedi ’65–’66. Tidak mungkin Soeharto merekayasa
seorang diri sedemikian rupa atas bagian kronis dari sejarah penting republik
ini.
Membaca analisis itu, Ariel Heryanto seakan
merasa heran, atas integritas dan kapasitas Asvi Warman Adam yang
tulisan-tulisannya dikenal selama ini yang mestinya melihat sejarah ’65–’66
secara reformistik. Sebab, pandangan reformistik menyangkut itu biasanya
selalu disandarkan kepada persepsi bahwa memang Soeharto adalah penggerak
pertama atau satu-satunya aktor yang merekayasa peristiwa hingga Bung Tetapi,
untuk mencukupi kebutuhan se-Indonesia, jumlahnya sangat kurang. Karena itu,
diperlukan biaya transpor untuk mengantar daging sapi ke daerah lain di
Indonesia yang cukup jauh. Dengan demikian, selain kenaikan permintaan, biaya
transportasi juga merupakan faktor lain atas naiknya harga daging sapi
tersebut. Salah satu alternatif solusi berkelanjutan adalah wakaf tunai untuk
pendirian PPS.
Wakaf tunai adalah donasi dari seseorang yang
pokoknya tidak boleh habis. Wakif (pemberi wakaf) akan menyerahkan dananya
kepada nadhir (pengelola wakaf) untuk kemudian digunakan dalam pendirian
bangunan fisik PPS dengan segala peralatan yang dibutuhkan. Program pendirian
PPS dengan wakaf tunai perlu dilakukan secara masif agar terasa dampaknya.
Sebaiknya PPS didirikan di bawah universitas
dengan beberapa alasan. Pertama, mahasiswa bisa langsung belajar. PPS
tersebut seakan laboratorium yang sangat penting bagi pembelajaran mereka.
Kedua, karena dosen melalui tridarma perguruan tinggi dituntut untuk
melakukan riset, PPS adalah hal yang tepat untuk riset dosen, misalnya
tentang sisi genetis sapi. Harapannya, di masa depan ditemukan sapi dengan
kualitas daging yang sangat bagus dan dalam jumlah banyak yang dihasilkan
dari inseminasi buatan. Ketiga, kesehatan sapi akan terjaga karena selalu
dipertahankan oleh staf universitas yang sangat ahli.
PPS tentu membutuhkan aset tetap yang sangat
besar. Dan, itulah peran wakaf.
Aset tetap tersebut bisa didanai dengan dana
wakaf tunai. Sedangkan hal-hal lain yang bersifat habis pakai tentu tidak
tepat jika didanai dari wakaf, misalnya bibit dan pakan ternak. Nah, untuk
halhal yang habis pakai, bisa digunakan sumber selain wakaf. Misalnya dana
corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan yang
menggunakan daging sapi sebagai bahan baku utama.
Dengan adanya sinergi industri, universitas,
dan lembaga wakaf, semuanya akan mendapatkan keuntungan, termasuk masyarakat
secara umum. Industri bakal mendapatkan pasokan daging secara langsung dan
rutin dengan harga murah. Lembaga wakaf akan memperoleh manfaat atas
distribusi wakaf tunai.
Universitas juga akan diuntungkan karena gedung
laboratorium pengembangan sapi bisa didapatkan secara gratis (melalui wakaf)
dan riset-riset berjalan dengan baik karena didukung CSR. Juga, jangan lupa,
beban pemerintah akan menurun karena partisipasi masyarakat melalui wakaf.
Agar hal tersebut dapat berjalan dengan baik,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, diperlukan regulasi khusus
dari pemerintah untuk penyediaan daging sapi, yaitu melalui sinergi
universitas, perusahaan, dan masyarakat umum (melalui wakaf). Itu penting.
Jika tidak ada peraturan, suplai daging sapi secara total tidak akan bisa
menutupi lonjakan kenaikan harga permintaan daging sapi (terutama saat
Ramadan). Kedua, universitas diwajibkan menyiapkan kebutuhan dana atas
pendirian laboratorium beserta kebutuhan- kebutuhan yang diperlukan untuk PPS
tersebut. Dalam hal ini, universitas harus bekerja sama dengan lembaga wakaf. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar