Bahasa Indonesia untuk Pekerja Asing, Kenapa Tidak?
Prima Vidya Asteria ; Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
|
JAWA
POS, 24 Agustus 2015
SAYA begitu terharu membaca ulasan seminar
internasional bertajuk Enrichment of
Career by Knowledge of Language and Literature ke-3 yang dilaksanakan di
Unitomo di Jawa Pos edisi 21 Agustus 2015 lalu. Dalam berita itu ditulis
bagaimana Prof Urano Takao dari Setsunan University mendorong anak-anak muda
Indonesia untuk mencintai bahasa Indonesia.
’’Bagaimana bangsa
lain bisa mencintai bahasa Indonesia jika pemuda-pemudinya tidak menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar? Malah berlomba-lomba belajar bahasa
asing,’’
kata Takao.
Saya terharu karena justru orang asing yang
menekankan betapa penting belajar dan mencintai bahasa ibu, bahasa negara,
dibandingkan bahasa asing. Orang asing yang justru memberi nasihat untuk
mencintai tanah air yang dapat dilakukan juga dengan mencintai bahasa
Indonesia.
Apalagi, sehari kemudian (22/8), juga di Jawa
Pos, ada berita berjudul Naker Asing Tak Wajib Berbahasa Indonesia. Luruh
rasanya. Padahal, Kemenaker (Kementerian Tenaga Kerja) serius mematangkan
aturan soal bahasa Indonesia sejak 2015.
Penyusunan materi uji kemampuan bahasa Indonesia
juga telah disiapkan dengan menunjuk Binapenta dan menggandeng Lembaga
Pengembangan Bahasa UI. Namun, presiden membatalkan per syaratan berbahasa
Indonesia untuk pekerja asing di Indonesia. Untung, Kemenaker masih melakukan
upaya dengan menyiapkan SK agar TKA menjalani pelatihan bahasa Indonesia saat
tiba di sini (Indonesia).
Pernyataan Ketua Serikat Pekerja Nasional Iwan
Kusmawan saya kira patut menjadi cerminan. Menurut Iwan, kalau tenaga kerja
Indonesia yang ingin berangkat ke Taiwan diwajibkan belajar bahasa setempat,
kenapa tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia malah di bebaskan? Bagi
dia, alasan untuk mempermudah investor tak masuk akal.
Globalisasi memang membuat batas negara nyaris
hilang. Perkembangan teknologi semakin pesat untuk mendukung gerak polah
manusia lintas perbatasan negara. Berbagai perjanjian perdagangan bebas,
ekonomi, pendidikan, budaya, semua dapat melintas dari satu negara ke negara
lain dengan gampang.
Dan, Indonesia memang pasar yang menarik di
era globalisasi tersebut. Banyak korporasi asing yang melirik negara ini.
Artinya, akan banyak sekali orang asing yang terus berdatangan ke Indonesia.
Tidak ada masalah dengan itu.
Namun, jika mereka akan datang, berinvestasi
dan mencari ’’untung’’ dari bangsa ini, setidaknya mereka juga perlu
melakukan pengorbanan dan perjuangan untuk itu. Salah satunya, belajar bahasa
Indonesia. Apakah orang Indonesia yang harus ’’rela’’ menggunakan bahasa
asing yang disebut bahasa internasional? Mungkin boleh, tapi tidak selalu.
Globalisasi, perdagangan bebas, atau apa saja
penyebutannya tak selayaknya menggoyahkan rasa cinta tanah air kita. Kita tak
perlu silau dengan semua yang ’’berbau’’ asing. Ketika hal itu membawa
kebaikan, tak apa dilakukan.
Pertukaran mahasiswa, studi banding, kerja
sama bisnis, investasi, atau kegiatan positif lainnya harus tetap dilakukan.
Namun, jangan sampai kegiatan positif itu justru membawa ’’dampak negatif’’
bagi bangsa sendiri.
Bahasa juga merupakan alat untuk
mempertahankan dan melindungi bangsa. Lihat saja kebijakan yang mengharuskan
kita menguasai level tertentu dari bahasa asing jika kita hendak melanjutkan
pendidikan ke luar negeri.
Untuk apa itu dilakukan? Untuk mempermudah
kita berkomunikasi dengan dosen, mahasiswa, dan lingkungan sekitar ketika
berada di sana. Untuk mempermudah kita menimba ilmu dan menyelesaikan
pendidikan di sana.
Apakah sebatas itu? Rasanya tidak. Hal itu
juga digunakan untuk mengukuhkan bahasa tempat universitas itu berada.
Sehingga, siapa pun yang hendak belajar di negara mereka, menimba ilmu di
negara mereka, orang tersebut harus menghargai bahasa mereka.
Sampai kapan pun, rasanya tak pantas bagi kita
untuk meremehkan sederet sejarah perjuangan kebahasaan di Nusantara hingga
bahasa Indonesia dikukuhkan menjadi ba hasa persatuan pada Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 dan menjadi bahasa nasional sesuai UUD 45 pasal 36. Seyogyanya,
kita justru menjadikan globalisasi sebagai sarana yang strategis untuk
mengin-ternasionalkan bahasa Indonesia.
Jika kita sadar bahwa bangsa Indonesia adalah
pasar menggiurkan bagi bangsa lain untuk datang dan berinvestasi, globalisasi
semestinya juga menjadi peluang emas untuk mengembangkan bahasa Indonesia.
Bahasa yang mempersatukan kita, bangsa yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan
ratusan bahasa daerah itu, harus dengan bangga kita perkenalkan ke pada
sebanyak- ba nyaknya orang asing dari berbagai negara. Bukankah begitu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar