Rabu, 26 Agustus 2015

Suez Baru, Bahaya Dwelling Time Baru

Suez Baru, Bahaya Dwelling Time Baru

Effnu Subiyanto  ;   Advisor CikalAFA-umbrella; Direktur Korido;
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
                                                      JAWA POS, 11 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MESKI situasi politik Mesir masih berkecamuk dan penuh ketidakpastian, masalah maritim tetap menjadi fokus perhatian. Proyek Terusan Suez Baru (New Suez Canal) yang dijadwalkan selesai dalam tiga tahun ternyata hanya membutuhkan waktu 12 bulan untuk sampai ke garis finis.

Pada 6 Agustus, terusan baru tersebut resmi dibuka dan diresmikan Presiden Abdel Fattah al-Sisi. Dampak positifnya jelas, yakni semakin memperpendek waktu tunggu ( lead time) logistik di seluruh dunia.

Pelebaran Terusan Suez ini akan menaikkan ritme logistik 50 persen. Sebelumnya, setiap kapal harus menunggu 22 jam untuk dapat masuk kanal, kini hanya membutuhkan waktu 11 jam. Efeknya tentu luar biasa karena pergerakan kapal menjadi semakin tinggi.

Terkait Indonesia, muaranya, kunjungan kapal pun semakin ramai. Ditambah semakin murahnya harga minyak dunia yang merupakan komponen bunker terbesar untuk membentuk biaya ocean, terusan ini akan sangat menarik bagi seluruh liner dunia. Ruang kapal kian murah, dan transportasi semakin cepat. Dua faktor itu sama-sama menjadi faktor penting bagi pengguna jasa dan pemilik kapal.

Dwelling Time

Inilah yang harus diantisipasi otoritas pelabuhan internasional di Indonesia. Persoalan pelabuhan In donesia sekarang adalah dwelling time (waktu bongkar muat di pelabuhan, Red), demurrage (biaya keterlambatan karena bongkar muat yang harus dibayar penyewa kapal kepada pemilik kapal, Red), dan buruknya kualitas infrastruktur pelabuhan.

Pasca dibongkarnya praktik curang di Kementerian Perdagangan oleh polisi, dwelling time benar-benar menjadi lingkaran persoalan bagai labirin. Untuk diketahui, ada 21 instansi dan badan yang terkait dengan pelabuhan, dan setiap instansi tersebut tentu akan memberikan kontribusi terhadap sengkarut dwelling time.

Dwelling time dan kapasitas pelabuhan adalah dua konsideran yang saling terkait dan tidak bisa dilepaskan. Kapasitas pelabuhan yang terbatas tentu akan memunculkan persoalan dwelling time, begitu pula dengan prosedur dan birokrasi. Namun, banyak penelitian yang menyebutkan bahwa infrastruktur pelabuhan menjadi kontribusi mayoritas penyebab dwelling time (Clark, 2003).

Ini sangat ironis karena kapasitas bongkar muat dua pelabuhan andalan Indonesia, Tanjung Perak dan Tanjung Priok, masih tidak bisa diandalkan dan potensial mendapat kesulitan baru ketimbang manfaat maksimal atas beroperasinya Terusan Suez Baru tadi.

Kapasitas Tanjung Perak sejak 1910 tidak mengalami progres mengesankan dari sisi kemampuan. Saat ini kapasitas bongkar muat masih 3,1 juta TEUs ekuivalen kontainer. Produk curah kering maksimal 8,6 juta ton per tahun; 5,7 juta ton per meter kubik general cargo; dan 5,5 juta ton curah cair. Ditambah kawasan pergudangan dan atau terminal peti kemas yang kini dimiliki PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS) berkapasitas 2 juta TEUs dan total kapasitas masih 6,6 juta TEUs per tahun.

Sementara itu, pintu gerbang pelabuhan utama Indonesia, yakni Tanjung Priok, juga masih didera persoalan identikal. Arus peti kemas Januari–Mei 2015 sebesar 1.527.414 TEUs. Realisasi kunjungan kapal triwulan I hanya naik 4 persen menjadi 18.326 unit.

Pada 2015 ini, arus peti kemas ditargetkan tumbuh pesimistis sebesar 10 persen menjadi 5,1 juta TEUs dari realisasi 2014 sebesar 4,3 juta TEUs. Artinya, kapasitas Pelabuhan Tanjung Perak maksimal 5,5 juta TEUs ekuivalen untuk kontainer.

Total kapasitas di dua pelabuhan tersebut masih 12,1 juta TEUs, termasuk kapasitas pergudangan yang menjadi buffer. Padahal, bottle necking di Mesir dengan beroperasinya Terusan Suez Baru minimal memberikan angka percepatan arus logistik sampai 50 persen.

Kalau kapasitas pelabuhan Indonesia diadu dengan pelabuhan negara tetangga terdekat, yakni Singapura, hasilnya memprihatinkan. Kapasitas dan peralatan bongkar muat pelabuhan Singapura jauh meninggalkan kita dan sangat modern.
Jumlah kapal internasional yang call per tahun mencapai 140.000 atau setiap hari rata-rata 387 kapal besar internasional bersandar. Total berat kargo yang diselesaikan Maritime Port Authority (MPA) Singapura mencapai 1,5 miliar ton per tahun. Ini setara dengan 50 juta TEUs per tahun.

Solusi

Untuk menyelesaikan masalah dwelling time yang mendesak di saat pengembangan infrastruktur pelabuhan masih terseok-seok, dibutuhkan langkah taktis pemerintah secara bersama-sama. Sistem electronic data interchange (EDI) yang dikembangkan Kementerian Keuangan melalui Ditjen Bea Cukai sebetulnya sangat andal dan kini menjadi acuan utama seluruh pemangku kepentingan di pelabuhan.

Bea Cukai seharusnya memang tidak dipojokkan sebagai instansi yang bermasalah. Sebab, faktanya, jika importer mematuhi regulasi, barang impor akan bisa dikeluarkan dari kawasan pelabuhan dalam 3 menit.

Hanya, tidak semua stakeholder pelabuhan cerdas dan kerap menjadi makanan empuk para broker pelabuhan. Dokumen clearance impor yang seharusnya diperoleh jauhjauh hari sebelum kapal datang belum juga disiapkan dan tentu saja sistem EDI akan menunggu kelengkapan dokumen.

Pemerintah perlu mengedukasi importer, sosialisasi peraturan impor, dan dokumen apa yang diperlukan dan kapan disampaikan. Selama ini, broker pelabuhan yang menyimpan informasi ini untuk keuntungan sendiri dan akhirnya memicu masalah dwelling time. Peran pemerintah amat ditunggu karena ritme kapal pasca dibukanya Terusan Suez Baru akan semakin gencar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar