Suez Baru, Bahaya Dwelling Time Baru
Effnu Subiyanto ;
Advisor CikalAFA-umbrella; Direktur Korido;
Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi FEB
Unair
|
JAWA
POS, 11 Agustus 2015
MESKI situasi politik Mesir masih berkecamuk
dan penuh ketidakpastian, masalah maritim tetap menjadi fokus perhatian.
Proyek Terusan Suez Baru (New Suez Canal) yang dijadwalkan selesai dalam tiga
tahun ternyata hanya membutuhkan waktu 12 bulan untuk sampai ke garis finis.
Pada 6 Agustus, terusan baru tersebut resmi
dibuka dan diresmikan Presiden Abdel Fattah al-Sisi. Dampak positifnya jelas,
yakni semakin memperpendek waktu tunggu ( lead time) logistik di seluruh
dunia.
Pelebaran Terusan Suez ini akan menaikkan
ritme logistik 50 persen. Sebelumnya, setiap kapal harus menunggu 22 jam
untuk dapat masuk kanal, kini hanya membutuhkan waktu 11 jam. Efeknya tentu
luar biasa karena pergerakan kapal menjadi semakin tinggi.
Terkait Indonesia, muaranya, kunjungan kapal
pun semakin ramai. Ditambah semakin murahnya harga minyak dunia yang merupakan
komponen bunker terbesar untuk membentuk biaya ocean, terusan ini akan sangat
menarik bagi seluruh liner dunia. Ruang kapal kian murah, dan transportasi
semakin cepat. Dua faktor itu sama-sama menjadi faktor penting bagi pengguna
jasa dan pemilik kapal.
Dwelling Time
Inilah yang harus diantisipasi otoritas
pelabuhan internasional di Indonesia. Persoalan pelabuhan In donesia sekarang
adalah dwelling time (waktu bongkar muat di pelabuhan, Red), demurrage (biaya
keterlambatan karena bongkar muat yang harus dibayar penyewa kapal kepada
pemilik kapal, Red), dan buruknya kualitas infrastruktur pelabuhan.
Pasca dibongkarnya praktik curang di
Kementerian Perdagangan oleh polisi, dwelling time benar-benar menjadi
lingkaran persoalan bagai labirin. Untuk diketahui, ada 21 instansi dan badan
yang terkait dengan pelabuhan, dan setiap instansi tersebut tentu akan
memberikan kontribusi terhadap sengkarut dwelling time.
Dwelling time dan kapasitas pelabuhan adalah
dua konsideran yang saling terkait dan tidak bisa dilepaskan. Kapasitas
pelabuhan yang terbatas tentu akan memunculkan persoalan dwelling time,
begitu pula dengan prosedur dan birokrasi. Namun, banyak penelitian yang
menyebutkan bahwa infrastruktur pelabuhan menjadi kontribusi mayoritas
penyebab dwelling time (Clark, 2003).
Ini sangat ironis karena kapasitas bongkar
muat dua pelabuhan andalan Indonesia, Tanjung Perak dan Tanjung Priok, masih
tidak bisa diandalkan dan potensial mendapat kesulitan baru ketimbang manfaat
maksimal atas beroperasinya Terusan Suez Baru tadi.
Kapasitas Tanjung Perak sejak 1910 tidak
mengalami progres mengesankan dari sisi kemampuan. Saat ini kapasitas bongkar
muat masih 3,1 juta TEUs ekuivalen kontainer. Produk curah kering maksimal
8,6 juta ton per tahun; 5,7 juta ton per meter kubik general cargo; dan 5,5
juta ton curah cair. Ditambah kawasan pergudangan dan atau terminal peti
kemas yang kini dimiliki PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS) berkapasitas 2
juta TEUs dan total kapasitas masih 6,6 juta TEUs per tahun.
Sementara itu, pintu gerbang pelabuhan utama
Indonesia, yakni Tanjung Priok, juga masih didera persoalan identikal. Arus
peti kemas Januari–Mei 2015 sebesar 1.527.414 TEUs. Realisasi kunjungan kapal
triwulan I hanya naik 4 persen menjadi 18.326 unit.
Pada 2015 ini, arus peti kemas ditargetkan
tumbuh pesimistis sebesar 10 persen menjadi 5,1 juta TEUs dari realisasi 2014
sebesar 4,3 juta TEUs. Artinya, kapasitas Pelabuhan Tanjung Perak maksimal
5,5 juta TEUs ekuivalen untuk kontainer.
Total kapasitas di dua pelabuhan tersebut
masih 12,1 juta TEUs, termasuk kapasitas pergudangan yang menjadi buffer.
Padahal, bottle necking di Mesir dengan beroperasinya Terusan Suez Baru
minimal memberikan angka percepatan arus logistik sampai 50 persen.
Kalau kapasitas pelabuhan Indonesia diadu
dengan pelabuhan negara tetangga terdekat, yakni Singapura, hasilnya
memprihatinkan. Kapasitas dan peralatan bongkar muat pelabuhan Singapura jauh
meninggalkan kita dan sangat modern.
Jumlah kapal internasional yang call per tahun
mencapai 140.000 atau setiap hari rata-rata 387 kapal besar internasional
bersandar. Total berat kargo yang diselesaikan Maritime Port Authority (MPA)
Singapura mencapai 1,5 miliar ton per tahun. Ini setara dengan 50 juta TEUs
per tahun.
Solusi
Untuk menyelesaikan masalah dwelling time yang
mendesak di saat pengembangan infrastruktur pelabuhan masih terseok-seok,
dibutuhkan langkah taktis pemerintah secara bersama-sama. Sistem electronic
data interchange (EDI) yang dikembangkan Kementerian Keuangan melalui Ditjen
Bea Cukai sebetulnya sangat andal dan kini menjadi acuan utama seluruh
pemangku kepentingan di pelabuhan.
Bea Cukai seharusnya memang tidak dipojokkan
sebagai instansi yang bermasalah. Sebab, faktanya, jika importer mematuhi
regulasi, barang impor akan bisa dikeluarkan dari kawasan pelabuhan dalam 3
menit.
Hanya, tidak semua stakeholder pelabuhan
cerdas dan kerap menjadi makanan empuk para broker pelabuhan. Dokumen
clearance impor yang seharusnya diperoleh jauhjauh hari sebelum kapal datang
belum juga disiapkan dan tentu saja sistem EDI akan menunggu kelengkapan
dokumen.
Pemerintah perlu mengedukasi importer,
sosialisasi peraturan impor, dan dokumen apa yang diperlukan dan kapan
disampaikan. Selama ini, broker pelabuhan yang menyimpan informasi ini untuk
keuntungan sendiri dan akhirnya memicu masalah dwelling time. Peran
pemerintah amat ditunggu karena ritme kapal pasca dibukanya Terusan Suez Baru
akan semakin gencar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar