Keluarga dan Indonesia Modern
Siswono Yudo Husodo ; Ketua Yayasan Pembina Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
31 Agustus 2015
Pada 17 Agustus 2015,
negara Republik Indonesia berusia 70 tahun, melampaui dua generasi. Ini waktu
yang tepat menuntaskan transformasi menjadi negara modern.
Salah satu agenda
besar proyek kebangsaan kita adalah mewujudkan tatanan masyarakat dengan
persamaan hak privat, publik, dan politik bagi warga negara pria dan wanita.
Pasal 27 UUD 1945 menyebutkan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan”. Kesetaraan jender nan komprehensif telah
diperjuangkan kaum wanita sejak awal revolusi kemerdekaan. Kaum wanita
terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan, baik individual maupun dalam
organisasi pergerakan. Kaum wanita Indonesia telah berpartisipasi penuh pada
pemilu pertama 1955.
Tak banyak negara yang
menempatkan wanita dalam kedudukan terhormat di ruang publik dan politik
segera setelah lahirnya negara seperti Indonesia. Wanita Amerika Serikat
menempuh waktu lama untuk mengubah status inferiornya dalam masyarakat yang
disebabkan doktrin keagamaan, hukum tertulis, dan kebiasaan sosial yang
melekat dalam sistem negara kolonial model Eropa yang menempatkan wanita
dalam posisi subordinat.
Lama setelah merdeka,
pada 4 Juli 1776, wanita AS baru berhasil memperjuangkan hak pendidikan
secara bertahap dan hak bekerja di beberapa bidang terbatas, seperti guru dan
perawat, dengan gaji di bawah pria. Baru pada 26 Agustus 1920, atau 144 tahun
setelah merdeka, melalui ratifikasi amendemen ke-19 Konstitusi AS, 17 juta
wanita memperoleh hak berdemokrasi, hak memilih. Di Swiss, baru pada 1971
perempuan mendapat hak memilih.
Kemajuan penting
Sama seperti
perjalanan menuju masyarakat adil dan makmur, perjalanan menuju kesetaraan
jender pun berjalan berliku dan harus terus diperjuangkan. Di tahun-tahun
awal kemerdekaan, struktur masyarakat Indonesia masih berciri tradisional,
sedikit feodal. Dalam konteks ini, tak sedikit masyarakat dan pejabat negara
berpoligami, beristri banyak. Presiden Soekarno beristri empat orang.
Di era Presiden
Soeharto ada kemajuan penting dalam membangun kesetaraan jender yang
komprehensif, sekaligus melindungi keluarga monogamis yang harmonis, keluarga
kecil yang sejahtera, yang lebih sesuai dengan tuntutan modernisasi. Praktik
poligami di kalangan pejabat negara dan PNS relatif dilarang. Soeharto
berpandangan, jika tak mampu membangun keluarga harmonis, bagaimana mau
menjadi pemimpin yang jadi panutan.
Sesuai dengan UU No
1/1974 tentang Perkawinan, PP No 9/1975, dan PP No 10/1983 jo PP No 45/1990,
PNS diperbolehkan berpoligami dengan syarat berat, di antaranya persetujuan
istri pertama melalui mekanisme pengadilan dan atasannya langsung, dengan
kondisi istri pertama tak mampu memberi keturunan dan suami mampu berbuat
adil dengan memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Itu pun dengan catatan pelaku
poligami sulit naik jabatan. Yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenai
sanksi, mulai dari penurunan pangkat dan golongan hingga pemecatan sebagai
PNS.
Manakala ada komplain
dari istri pertama, pemerintah berhak memberi sanksi kepada PNS yang
berpoligami itu. Kebijakan di atas, yang mendorong bentuk keluarga monogamis,
berdampak luas di masyarakat karena pejabat negara dan PNS adalah elite dan
panutan masyarakat. Pada 1990, kebijakan itu diperkuat Pasal 4 Ayat (2) PP No
45/1990: PNS wanita dilarang menjadi istri poligami.
Setelah reformasi,
semua presiden beristri satu dan ada satu presiden wanita (suaminya tak punya
istri lain). Era reformasi menambah fondasi politik kukuhnya konsep keluarga
monogamis yang harmonis berupa lahirnya UU No 52/2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, menggantikan UU No 10/1992. Pasal 1
Ayat (10) menyebut, ”Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk
berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju,
mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung
jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”. Tak diragukan, monogami
adalah bentuk keluarga yang diyakini negara paling sesuai dengan era
Indonesia modern.
Di tengah kemajuan
wanita Indonesia dalam dunia politik—yang pada Pemilu Legislatif 2014
menghasilkan keterwakilan perempuan 97 kursi (17,32 persen) di DPR, 35 kursi
(26,51 persen) di DPD, dan rata-rata 16,14 persen di DPRD provinsi serta 14
persen di DPRD kabupaten/kota—muncul fenomena yang tak sejalan dengan
kesetaraan jender dan norma keluarga modern berupa berkembangnya praktik
poligami. Praktik poligami juga dilakukan elite politik, pemimpin partai
politik, gubernur, bupati, wali kota, anggota DPR, dan anggota DPRD. Uniknya,
ada kepala daerah yang status poligaminya terungkap setelah seorang wanita
yang tadinya tak diketahui publik sebagai istri muda gubernur ditahan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Masyarakat yang dipimpinnya terenyak dan merasa
tertipu karena selama ini diketahui ia beristri satu.
Di banyak negara maju,
tokoh publik di- tuntut jujur kepada publik. Ada pula kepala daerah melakukan
perkawinan siri dengan wanita berusia 18 tahun yang setelah dikecam berbagai
kalangan, Kementerian Dalam Negeri meminta kepala daerah yang melakukan nikah
siri itu mundur dari jabatannya. Ada pula wali kota berusia 56 tahun menikahi
gadis berusia 19 tahun yang baru lulus SMA. Bagi siswi SMA itu, perkawinan
pada Juni 2011 itu merupakan perkawinannya pertama, tetapi bagi sang wali
kota perkawinan keempat.
Per Desember 2012,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat, 1 persen
dari semua kepala daerah di Indonesia berpoligami. Meski jumlahnya sedikit,
BKKBN meyakini, hal itu meresahkan masyarakat dan tak mendidik, ditambah
kekhawatiran ada yang belum ketahuan. Dalam pandangan BKKBN, poligami akan
berpengaruh terhadap ketahanan keluarga, ketahanan keluarga rapuh berpengaruh
pada ketahanan masyarakat, lalu akan merapuhkan ketahanan nasional.
Fenomena poligami juga
merambah PNS. Pada 2011, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi menyebutkan, ada 370 PNS yang berpoligami dan 200 PNS
sudah mendapat sanksi: diturunkan pangkat, diberhentikan sementara,
diberhentikan dengan hormat dan tidak hormat. Pada 2013, Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini memecat 30 PNS di lingkungan Pemerintah Kota Surabaya,
sebagian besar karena beristri lebih dari satu alias poligami tanpa izin.
Suara Sinta Wahid
Kegeraman pada
poligami juga disuarakan gerakan publik, dengan motor mantan Ibu Negara Sinta
Wahid, yang mengajak konsumen tak makan di Restoran Wong Solo milik Puspo
Wardoyo yang beristri empat, ayah 15 anak, dan sponsor acara Poligamy Award.
Ada pula organisasi politik yang elitenya terang-terangan berpoligami dengan
banyak anak. Tentu secara sosiologis dapat dipertanyakan: bukankah hal itu
asosial di tengah upaya negara mengendalikan pertambahan penduduk sebagai
bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Di Mesir, sejak akhir
1950-an, Presiden Gamal Abdel Nasser—dilanjutkan Presiden Anwar Sadat dan
Presiden Hosni Mubarak—menekan Ikhwanul Muslimin yang didirikan pada 1928,
yang berseberangan dengan kebijakan pemerintahannya. Ketika itu, organisasi
Ikhwanul Muslimin masih sangat kecil. Pemimpin dan anggota organisasi ini
ditengarai beristri banyak dan beranak banyak. Sesudah tumbangnya Presiden
Mubarak, pada 2011, Ikhwanul Muslimin mendirikan Partai Kebebasan dan
Keadilan (FJP) yang memenangi pemilu parlemen 2012. Presiden Mursi dari FJP
terpilih pada 2013 dan pada tahun sama digulingkan militer Mesir.
Banyak penulis
menyatakan, Ikhwanul Muslimin menambah jumlah pengikutnya dengan metode pengikutnya
beristri banyak dan beranak banyak. Jika itu benar, beristri banyak dan
beranak banyak bisa menjadi motif politik berjangka panjang.
Fenomena poligami
tidak hanya terjadi pada pemeluk Islam seperti dipahami banyak orang karena
poligami adalah ciri umum masyarakat tradisional dan feodal. Di India,
laporan dari National Family Health Survey 2006 menyebutkan, 2 persen wanita
India melaporkan bahwa suaminya punya lebih dari satu istri. Survei lebih
awal di India (1974) mengungkapkan, poligami dilakukan 5,7 persen komunitas
Muslim, 5,8 persen komunitas Hindu, dan 15,25 persen komunitas suku
terpencil.
Sepatutnya berbagai
organisasi dan gerakan wanita tak diam dengan fenomena berkembang ini.
Kemajuan pesat negara kita ke depan membutuhkan organisasi keluarga yang
sesuai dengan tuntutan masyarakat modern yang produktif: keluarga monogamis.
Di semua negara yang maju berkat sumber daya manusia yang tangguh, bentuk
organisasi keluarganya adalah monogami. Begitulah sekarang RRT, Jepang, dan
Korea yang elitenya dulu juga banyak mempraktikkan poligami.
Penduduk Indonesia
saat ini diperkirakan 255,5 juta orang dengan laju pertumbuhan penduduk masih
sangat tinggi, 1,49 persen per tahun, berkembang sangat cepat dari 118,4 juta
jiwa pada 1971. Pertambahan penduduk Indonesia tertinggi mencapai 2,31 persen
per tahun pada 1971-1980, lalu menurun drastis ke angka 1,45 persen pada
1990-2000 sebagai hasil kampanye Keluarga Berencana. Lalu, angka itu naik
lagi ke 1,49 persen pada periode 2000-2010, menurun ke 1,38 persen pada
periode 2010-2015, diharapkan menurun ke angka 1,19 pada periode 2015-2020,
dan diproyeksikan menjadi 0,8 persen pada 2025-2030. Jika angka laju
pertambahan penduduk sesuai target, pada 2035, penduduk Indonesia berjumlah
305,7 juta jiwa. Penurunan pertambahan penduduk akan efektif dengan pola
keluarga monogami beranak sedikit yang sejahtera.
Sebagai suatu bangsa,
kita mengejar kesejahteraan yang tinggi bagi setiap warga negara. Dengan
pendapatan orangtua yang terbatas, keluarga kecil bahagia dan sejahtera lebih
memberi makna positif pada negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi kurang
berarti jika pertumbuhan penduduk juga tinggi. Keluarga adalah fondasi
stabilitas sebuah masyarakat. Anak-anak berhak hidup dan dibesarkan kedua
orangtuanya. Tentu ada kondisi pengecualian, tetapi itu tak boleh jadi norma
sosial kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar