Kemerdekaan di Hati Rakyat
Mohamad Sobary ;
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 25 Agustus 2015
Anak-anak sekolah
berbaris menuju ke lapangan. Bapak guru maupun ibu guru mendampingi mereka.
Anak-anak kelas satu sampai kelas enam, semua ”tumpah” di jalanan.
Jiwa mereka
bergembira, terutama karena pada hari itu mereka merdeka semerdeka-merdekanya
untuk tidak memikirkan pelajaran-pelajaran yang ruwet. Mereka merdeka dari
matematika. Mereka merdeka dari prakarya. Mereka merdeka dari ilmu bumi.
Mereka pun merdeka di lapangan yang luas itu untuk membeli es lilin, kue-kue,
roti, permen, dan berbagai jenis buah-buahan.
Mereka bergembira
memperingati hari kemerdekaan bangsa kita dengan sikap merdeka pula. Di sana
ada upacara bendera. Kita menghormati bendera, yang sudah dikerek di ujung
tertinggi tiang bendera tersebut, dengan rasa hormat disertai rasa syukur.
Bendera itu
melambangkan kemerdekaan kita. Hormat pada bendera itu fungsi suatu kesadaran
politik dan gambaran rasa syukur karena perjuangan kita telah sampai di titik
yang paling menentukan: kita merdeka. Bagi ”kita”, anak-anak sekolah, merdeka
ya merdeka.
Di sekolah, sesudah
acara di lapangan itu selesai, masih ada deretan acara peringatan. Seorang
teman, anak kelas enam yang kreatif, menyusun sebuah cerita. Kemudian cerita
itu dimainkan sebagai drama perjuangan kemerdekaan. Banyak pejuang kita tertangkap
dan dibunuh. Banyak pejuang kita tertembak dan gugur di medan tempur.
Banyak pula pahlawan
garis depan yang tersesat dan tak pernah kembali. Ini drama kepahlawanan
terbaik yang kita miliki di sekolah. Di luar dugaan, drama itu diminta untuk
dimainkan lagi di kelurahan. Kita meraih sukses besar. Sukses itu diulang di
kecamatan. Ada empat sekolah yang diminta mementaskan drama perjuangan,
karangan anak-anak.
Pak Camat menikmati
pertunjukan drama itu. Pada hari keempat, sesudah sekolah kami tampil dengan
rasa cemas, apakah kami bisa meraih nomor satu, ada kejutan besar. Pak Camat
membacakan pengumuman dengan pelan-pelan, sengaja membuat hati anakanak
merasa makin cemas. Suara Pak Camat terdengar lebih pelan lagi ketika
menyebut juara satu.
Tapi, biarpun suara
itu begitu pelan, kami mendengar, juara satu itu sekolah kami. Ini tahun
pertama sekolah kami menjadi juara. Ini hasil kerja beberapa anak kreatif.
Keesokan harinya, di kelurahan, ada acara meriah: panjat pinang. Di pucuk
pohon pinang yang dibuat licin itu ada hadiah besar: ada kambing, ada ayam
jago, ada jam tembok seharga lima ratus ribu, ada sarung, ada mi instan.
Warga masyarakat
berlomba meraih hadiah itu. Mungkin bukan hadiah itu sendiri yang menarik.
Lombanya, yang sebentar-sebentar menimbulkan gelak tawa meriah, mungkin lebih
menarik. Sukar memanjat pohon pinang yang dibuat licin itu. Orang dewasa yang
mencobanya selalu gagal. Bapak-bapak gendut yang kesulitan merangkul pohon
pinang karena terganjal perutnya menjadi bahan tertawaan yang menyegarkan.
Kelihatannya, inilah
makna merdeka di mata rakyat di kampung-kampung. Mereka menganggap merdeka
terletak di dalam acara yang mereka buat. Mereka menikmati kemerdekaan untuk
dengan susah payah meraih hadiah di pucuk pohon pinang yang tak mudah diraih
itu. Kita memasang bendera merah putih untuk memperingati Hari Kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945 di puncak pohon besar, di atas bukit yang
mencolok mata.
Juga di pohon munggur
dipinggir- pinggir jalan. Ini semua merupakan tanda bahwa secara politik kita
sudah menjadi bangsa merdeka sejak 70 tahun yang lalu. Rakyat, di
kampungkampung, menyadari kemerdekaan kita sebagai kemerdekaan. Merdeka ya
merdeka. Selesai. Belanda sudah kita usir sampai hidup mereka begitu
kocarkacir dan penuh ketakutan ketika Jepang mulai menginjakkan kaki di Tanah
Air kita ini.
Jepang itu juga sudah
kita tendang jauhjauh. Penguasa asing, bangsa kate, yang berkuasa setahun
jagung menurut penuturan pujangga Jawa, Prabu Jayabaya, sudah berakhir. Jadi
sekali lagi, suasana jiwa rakyat di kampungkampung, memang merdeka. Bagi
mereka, merdeka ya merdeka. Selesai.
Di
daerah-daerah di mana pergolakan politik mengalami titik kulminasinya yang tinggi,
di mana korban bergelimpangan, dan ketakutan begitu mencekam, semua lenyap
begitu kita menginjakkan kaki di halaman pertama sejarah Republik kita. Saat
itu menjadi bangsa merdeka artinya ketakutan hilang, kecemasan lenyap.
Kekhawatiran berubah menjadi optimisme.
Kemerdekaan
itu hak segala bangsa. Juga, hak kita. Mengapa tidak. Penjajahan harus
dihapuskan dari muka bumi. Itu jelas sekali karena penjajah itu kejam, dan
mereka tak menghargai kemanusiaan dan keadilan. Para pahlawan kita,
gerilyawan yang gagah berani menyergap konvoi tentara musuh, kita kenang
sebagai tokoh-tokoh berambut panjang, karena di daerah pertahanan kita, di
luar daerah pendudukan, mencukur rambut merupakan persoalan yang sulit.
Ada
gerilyawan yang bersumpah tak bakal mencukur rambut sebelum kita merdeka. Ini
sumpah kepahlawanan yang kita anggap suci, sesuci sumpah Resi Bisma untuk
tidak menikah sepanjang masa hidupnya. ***
Kaya-miskin
sama saja di dalam kaca mata politik: dua-duanya warga negara. Kaum
terpelajar dan bukan golongan terpelajar, atau mereka yang terdidik dan
mereka yang tak terdidik, statusnya sama: mereka semua warga negara. Kita
warga negara Indonesia. Kita bangsa Indonesia. Kita sama-sama memiliki negeri
ini. Indonesia milik kita.
Bangsa
Indonesia itu suatu kesatuan demografis, sekaligus kesatuan politis, yang
membuat kita merasa ada keterikatan, ada kesamaan status dan cita-cita
tentang hidup yang kita anggap ideal. Apa yang kita anggap ideal? Kaya -
miskin tak mungkin dihapuskan. Tapi, jarak yang kaya dari yang miskin
sebaiknya jangan terlalu jauh.
Kenikmatan
hidup yang kaya, jangan terlalu mencolok dibandingkan dengan apa yang bisa
diraih yang miskin. Terdidik-bukan terdidik, terpelajar- bukan terpelajar,
yang pandai dan yang bodoh, jaraknya jangan terlalu jauh, bedanya jangan
terlalu mencolok. Bangsa merdeka, juga kita, punya cita-cita politik yang
luhur: meraih kehidupan yang adil, dan makmur, bagi kita semua, tanpa
kecuali.
Kalau
sudah makmur, kita harus membikin kemakmuran itu merata. Kita menciptakan
keadilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukankah itu
keadilan bagi kita semua? Rakyat miskin tidak iri pada yang kaya, tapi jarak
kaya-miskin jangan terlalu mencolok. Rakyat yang kurang pendidikan tak merasa
iri pada mereka yang terdidik, tapi jarak kedua kelompok itu jangan terlalu
jauh. Acara panjat pinang sudah berakhir.
Tak
satu pun orang yang memenangkannya. Hadiahnya, akhirnya dijual pada warga
yang mau membelinya. Uangnya dipakai untuk memeriahkan acara pada malam
besoknya. Semua warga, malam itu, dianggap pemenang. Hadiah pun, yang
diwujudkan dalam bentuk makanan, dinikmati bersama.
Pak
Camat berpidato singkat: ”Kita merdeka secara dewasa. Kita dewasa menyikapi
kemerdekaan kita.” Inilah merdeka di kampung. Ini kemerdekaan di hati rakyat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar