Mengapa Parpol Baru?
M Alfan Alfian ;
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional, Jakarta
|
KOMPAS,
27 Agustus 2015
"Future generations are not going to ask us what political
party were you in. They are going to ask what did you do about it, when you
knew the glaciers were melting."
- Martin Sheen
Belakangan ini muncul
beberapa partai politik baru, di antaranya Partai Solidaritas Indonesia,
Partai Persatuan Indonesia, Partai Damai dan Aman, serta Partai Priboemi.
Mengapa hasrat mendirikan parpol tetap menyala setelah satu setengah dekade
Reformasi 1998? Bagaimana prospek sekaligus tantangan yang mereka hadapi?
Tentu bukan dalam
konteks euforia politik ketika berbagai kalangan antusias mendirikan parpol
baru saat ini. Ini lebih karena masih adanya peluang terbuka bagi masyarakat
untuk mendirikan parpol sebagai bagian dari hak berpolitik. Memang, secara
perundang-undangan persyaratannya diperketat, tetapi nyatanya tak menghalangi
hasrat politik kolektif warga untuk memprakarsai hadirnya wadah organisasi
politik.
Kita dapat belajar
dari pengalaman di mana orang mendirikan parpol belum tentu berhasil. Apabila
dikaitkan dengan konteks aturan ambang batas parlemen, bahkan banyak yang
gagal. Dalam kasus tertentu, sebuah parpol baru hadir dan langsung masuk ke
kategori papan menengah (setelah Pemilu 2004), dan di pemilu berikutnya jadi
pemenang pemilu. Ini kasus Partai Demokrat kendati dalam pemilu terakhir
(2014) dukungan suaranya merosot signifikan.
Yang juga cukup
fenomenal ialah Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Begitu ikut pemilu (2014),
ia langsung dapat kursi di parlemen. Pada Pemilu 2009, fenomena serupa
dialami Partai Hanura dan Gerindra. Parpol-parpol ini menggebrak di ranah
catch-all parties, parpol terbuka. Di ranah ”politik Islam” ada fenomena
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang melejit sejak Pemilu 2004. Eksperimen
sebelumnya melalui Partai Keadilan (PK) pun dilanjutkan PKS.
Merujuk pada nama-nama
parpol baru di atas, segmentasi parpol terbuka telah memunculkan jumlah lebih
banyak dibandingkan segmentasi ”parpol Islam”. Di ranah yang terakhir ini,
Rhoma Irama sebagai ikon musik pop dangdut kontemporer yang dikenal melalui
syair-syair lagu Islami mencoba melesatkan Partai Damai dan Aman (Idaman).
Itu artinya, seandainya kelak mereka bisa ikut berlaga di Pemilu 2019 hanya
akan membuat peta persaingan sangat ketat di segmentasi parpol terbuka.
Segmentasi ideologis
memang bisa ditelaah lebih lanjut di ranah partai terbuka, tetapi tampaknya
ia tak lebih penting ketimbang proyeksi dalam meraup dukungan publik luas.
Dalam hal ini komentar Martin Sheen di atas mungkin ada benarnya: bahwa
generasi ke depan akan lebih melihat pada apa yang dilakukan, bukan
diwacanakan dan dilekatkan ideologi tertentu pada sebuah parpol.
Sebuah antitesis
Parpol-parpol baru itu
memang belum didaftarkan dan resmi sebagai peserta pemilu, tetapi setidaknya
dari persiapan-persiapan awal mereka tampak ikhtiarnya dalam menunjukkan
alternatif. Mereka tengah berada pada fase awal membedakan diri dengan yang
lain, mengemas apa yang khas untuk ditawarkan ke publik. Yang menarik, mereka
sama-sama berada di era sosial media yang ingar-bingar. Perlombaan
sosialisasi parpol pun harus berhadapan dengan sejumlah isu lain sehingga
memerlukan jurus-jurus baru yang efektif diterima publik luas. Ini tidak
mudah manakala pendekatannya sekadar berkutat lebih banyak di dunia maya.
Dalam sejarah parpol
kita, tokoh sangat memainkan peran penting. Ia tak saja menjadi penanda
(ikon) parpol itu, tetapi juga sumber karisma. Dalam kasus Partai Demokrat,
Gerindra, Hanura, bahkan Nasdem, figur-figur utamanya, yakni Susilo Bambang
Yudhoyono, Prabowo Subianto, Wiranto, dan Surya Paloh, tampak demikian
penting. Mereka bisa menjadi magnet dalam pemilu.
Akan tetapi, seiring
dengan meningkatnya daya kritis dan rasionalitas masyarakat, parpol
bergantung pada tokoh saja tidak cukup. Pengalaman Pemilu 2014 yang lalu
setidaknya mengonfirmasi bahwa tidak ada parpol yang sangat kuat karena
tokohnya. Adanya sepuluh parpol yang lolos ambang batas elektoral ke
parlemen, dengan tidak adanya parpol yang meraih dukungan suara di atas 20
persen, sesungguhnya mencerminkan fenomena tersebut.
Hadirnya parpol-parpol
baru di Tanah Air, bagaimanapun, tak dapat dilepaskan dengan antitesisnya
terhadap parpol-parpol yang sudah ada. Dewasa ini, parpol nyaris selalu jadi
sorotan dikaitkan dengan dinamika kehidupan politik bangsa yang kerap
tersandera. Parpol dituduh lebih banyak bersikap egoistis dan belum
sepenuhnya kontributif bagi pemecahan masalah-masalah bangsa. Bahkan, kritik
yang lebih ekstrem mengungkapkan bahwa parpol masih menjadi beban ketimbang
solusi.
Inilah yang membuat
fenomena antipartai menyeruak. Lazimlah kiranya kemudian sebagai tindak
lanjut atas kekecewaan dan kelemahan parpol-parpol lama itu muncul dua sikap
yang berbeda. Pertama, reaksi emoh parpol. Ujungnya ialah seseorang atau
sekelompok orang menyatakan dirinya golput (non-voters). Mereka tak akan berpartisipasi dalam pemilu dan emoh
bersentuhan dengan apa-apa yang dilakukan parpol. Kedua, sikap yang mencoba
memberi jawaban, yakni dengan memunculkan parpol-parpol baru. Harapannya,
mereka akan bisa menutup kelemahan yang lama dengan energi dan harapan baru.
Dalam konteks yang
terakhir itulah parpol-parpol baru muncul. Ada spekulasi dan proyeksi atas
keberadaan masing-masing. Hukum alam politiklah yang kelak menentukan, mana
yang eksis mana yang tumbang. Itu juga berlaku bagi parpol lama. Parpol yang
keberatan konflik, tak mampu berinovasi dan menjawab ”kebutuhan” publik,
sangat mungkin akan cepat tergilas jiwa zaman.
Dalam konteks ini,
parpol baru bisa jadi pengantar ke harapan baru, bisa jadi tidak. Ikhtiar
mereka tetap perlu dihargai kendatipun kehadirannya harus segera diimbangi
oleh peningkatan daya kritis masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar