Mencairkan Dana Desa
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS,
28 Agustus 2015
Mulai sekarang kinerja
anggaran pemerintah turut dipengaruhi penyerapan lebih dari Rp 20 triliun
dana desa dan Rp 50 triliun alokasi dana desa. Sayang, pemerintah desa masih
enggan mencairkan dana segudang tersebut (Kompas, 8/8/2015).
Penyebabnya, pertama,
seharusnya laporan penggunaan sudah dimasukkan sejak Juli 2015, tetapi
ketidakjelasan formulir dan pelampiran membuhulkan ketakutan menggunakan dana
hingga melaporkannya. Apalagi pelatihan perangkat desa dan pendampingan desa
belum kunjung terwujud. Padahal, kesalahan administratif laporan dapat
berujungsangkaan korupsi dan pemenjaraan bupati/wali kota ataupun kepala
desa.
Kedua, pemerintah desa
masih memaknai Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 lebih menekankan alokasi dana desa untuk
infrastruktur. Padahal, lembaga kemasyarakatan desa telah berpengalaman serta
memahami bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan operasionalisasi pembangunan
fisik di atas Rp 50 juta sulit dijalankan selama sisa empat bulan anggaran
2015.
Boleh saja muncul
rumusan filosofis, aturan umum hingga khusus pada undang-undang dan peraturan
pemerintah, tetapi yang dibutuhkan perangkat desa beserta auditor kelak
berupa formulir rinci beserta lampiran untuk mengisi laporan kegiatan.
Formulir dan daftar lampiran lazim tertera sebagai Penjelasan Peraturan
Menteri atau Panduan Teknis susunan eselon I.
Yang paling aman dalam
pemeriksaan pembangunan ialah formulir pelaporan dana yang dikeluarkan
sendiri oleh Kementerian Keuangan. Selama ini panduan teknis yang bersifat
khusus tersebut mampu mempertegas pelaksanaan dan pelaporan kementerian
teknis.
Isi penting panduan
meliputi tata cara dan kebutuhan jenis dokumen perjanjian kerja sebagai dasar
pencairan dana. Perlu diperhatikan rincian alokasi dana yang dibolehkan dan
sebaliknya daftar kegiatan yang tak boleh dilaksanakan. Penting memastikan
jenis bukti pengeluaran dana dan dokumen yang dinilai sah untuk pelaporan.
Ancangan isi laporan dan daftar cek perlu dicermati agar terhindar dari
maladministrasi.
Badan Pusat
Statististik melaporkan pada 2014 sebanyak 93 persen desa telah memiliki
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Sebanyak 96 persen juga terbiasa
menyusun laporan pertanggungjawaban desa. Padahal, tahun itu buku panduan
dari kementerian baru tersebar di 56 persen desa.
Juga hanya 35 persen
desa yang mendapat pelatihan pelaporan pembangunan. Artinya, perangkat desa
berupaya sendiri saat merancang dan menulis keuangan desa.
Statistik itu
sekaligus memamerkan kemampuan administratif perangkat desa. Untuk
mengejawantahkan kapasitas tersebut dalam memaksimalkan penyerapan dana ke
desa, perlu upaya koordinatif Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi; Kementerian Dalam Negeri; dan Kementerian
Keuangan.
Pemerintah harus
memastikan panduan pelaporan lengkap dengan lampirannya tersebar ke seluruh
74.045 desa selambatnya pada Agustus 2015. Adapun pelatihan seluruh perangkat
desa tuntas pada September 2015.
Permodalan BumDes
Rencana pembangunan
jangka menengah desa (RPJMDes) menjadi acuan pencairan dana-dana ke desa.
Dibiasakan proyek pemberdayaan selama ini, RPJMDes didominasi rancangan
infrastruktur. Sayang, terbayang kesulitan penyelesaian pembangunan fisik
hingga batas akhir pelaporan Januari 2016. Padahal, serapan anggaran minimal
dapat merugikan perangkat dan warga desa berupa bakal hilangnya
kegiatan-kegiatan pembangunan. Apalagi sisa anggaran langsung tercerabut dari
desa untuk diendapkan ke kas negara atau kas daerah.
Strategi
mempertahankan dana agar tetap tertinggal di desa ialah menunda penggunaannya
untuk pembangunan fisik dengan cara menyalurkannya sebagai penyertaan modal
badan usaha milik desa (BumDes). Pemerintah perlu menerbitkan aturan tentang
review RPJMDes tengah tahun yang dijalankan melalui musyawarah desa.
Musyawarah hendaknya sekaligus menyepakati pengalihan alokasi dana ke arah
penyertaan modal kepada BumDes.
Sementara pemerintah
memiliki badan usaha milik negara atau daerah, UU No 6/2014 membuka peluang
perangkat desa mendirikan BumDes. Saat ini ribuan BumDes mengelola usaha
simpan pinjam, penyebaran air bersih, dan perantara langganan jasa publik.
Kini saatnya lingkup usaha diperluas sebagai kontraktor pembangunan jalan,
jembatan, bangunan desa, dan jasa pendampingan usaha warga.
Cukup secarik
peraturan desa sebagai landasan hukum BumDes untuk membuat perjanjian resmi
serta melaksanakan pembangunan. Artinya, peraturan desa tentang BumDes bisa
menjadi dasar resmi alokasi ataupun pencairan anggaran desa. Maka, alokasi
ratusan juta rupiah nilai dana desa dan alokasi dana desa untuk menambah
modal BumDes menyelesaikan pemenuhan serapan dana pembangunan yang masuk ke
suatu desa tahun ini.
Selanjutnya BumDes
berhak menjalankan rencana-rencana pembangunan desa tanpa dibatasi tahun
anggaran karena penyertaan modal BumDes masuk ke dalam laporan penggunaan
dana desa dan alokasi dana desa 2015. Ini berbeda dari kegiatan BumDes itu
sendiri, yang hanya dilaporkan kepada perangkat desa. Alhasil, pembangunan
desa sekadar tertunda, yaitu sampai BumDes membangun infrastruktur dan
ekonomi desa sejak kuartal terakhir 2015, atau bahkan konstruksi boleh
dimulai pada Januari 2016. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar