Negara di Pusaran Kelangkaan Daging
Andi Irawan ; Dosen Pascasarjana Program Studi
Agrobisnis Universitas Bengkulu
|
JAWA
POS, 21 Agustus 2015
TEORI ekonomi memostulatkan bahwa supply dan demand adalah penentu harga dalam pasar. Kita memang bisa
berpolemik tentang data terkait dengan supply
dan demand. Tetapi, kita tidak bisa
berdusta tentang harga.
Harga terjadi tidak berdasar asumsi dan
perhitungan. Ia adalah fakta yang dirasakan semua pihak. Dan, harga yang
tinggi adalah petunjuk adanya kelangkaan. Klaim tentang suplai dan stok yang
memadai, bahkan swasembada, menjadi ternegasi dengan sendirinya ketika harga
suatu komoditas di lapangan melambung tinggi.
Sebagaimana yang diketahui, kita baru saja
dihebohkan mogoknya pedagang daging sapi yang menjual komoditas mereka,
khususnya di wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Alasannya
sederhana, harga sapi sudah sangat tinggi dari pemasoknya, yakni perusahaan
penggemukan sapi ( feedloter) sehingga mereka sulit menjual ke masyarakat.
Pertanyaan dari fenomena harga daging sapi
yang melambung tinggi tersebut adalah, apakah kelangkaan yang mengakibatkan
kenaikan harga tersebut merupakan kelangkaan alami atau kelangkaan
artifisial?
Kelangkaan alami adalah kelangkaan yang
terjadi sepenuhnya karena suplai yang tidak bisa memenuhi demand. Sedangkan
kelangkaan artifisial adalah kelangkaan yang sengaja diciptakan pelaku
ekonomi atau pihak tertentu yang mempunyai power di pasar.
Berdasar data stok sapi dari Asosiasi
Pengusaha Feedlot Indonesia (Apfindo) per 24 Juli 2015, jumlah sapi siap
potong dan bakalan di 35 perusahaan anggota Apfindo mencapai 178.781 ekor.
Padahal, kebutuhan ( demand) tiga wilayah –yaitu DKI Jakarta, Banten, dan
Jabar tempat para pedagang sapi mogok berjualan– adalah 60.000 ekor per
bulan.
Artinya, kalau merujuk pada data tersebut,
kebutuhan mencukupi sampai Oktober 2015. Dengan demikian, menurut pemerintah,
ada kekuatan di dalam pasar yang dengan sengaja tidak menyalurkannya ke
pasar. Kelangkaan tersebut pun terkategori sebagai kelangkaan artifisial.
Ada dua sumber kekuatan pasar yang
mengakibatkan kelangkaan daging sapi artifisial tersebut. Pertama, hadirnya
pelaku pasar yang punya power. Power pasar tersebut didapat karena dia adalah
pelaku tunggal yang mendominasi pasar (monopoli) atau mereka adalah
segelintir pelaku yang berkolusi untuk menguasai pasar yang sering
diistilahkan dengan kartel. Catatan kunci dari fenomena kekuatan pasar
tersebut adalah pelaku sepenuhnya adalah pemain di pasar dan tidak melibatkan
pihak di luar pasar.
Bentuk kekuatan power pasar yang kedua adalah mafia. Bentuk kolusi antara pelaku
yang terlibat lebih rumit dan luas. Kerja sama untuk menguasai pasar tidak
hanya terjadi antar pelaku pasar, tetapi lebih luas, yakni antara pelaku
pasar dan unsur negara (legislatif, eksekutif, atau yudikatif). Kelangkaan
yang ditimbulkan sangat eksploitatif dengan daya rusak yang lebih besar dari
monopoli dan kartel.
Kita tahu, kelangkaan daging karena kartel
atau monopoli masih mudah diatasi, yakni melalui intervensi negara, antara
lain, (1) menggunakan BUMN untuk memecah kekuatan kartel sebagai pemasok
daging ke pasar. Di sini, pemerintah bisa menggunakan BUMN ternak (PT
Berdikari) atau Bulog dengan memberikan wewenang mengimpor daging beku dan
sapi untuk kemudian menyuplainya ke pasar ketika harga daging sapi melambung
tinggi. (2) Menegakkan law enforcement. Contohnya, penindakan terhadap
perusahaan feedloter yang memanipulasi informasi dan melakukan penimbunan
(pasal 30 dan 29 ayat 1 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan).
Pelakunya dihukum dengan sanksi pidana
tertinggi, yakni pidana 5 tahun atau denda Rp 50 miliar bagi mereka yang
terbukti melakukan penimbunan. Juga, penjara 4 tahun dan atau denda Rp 10
miliar bagi mereka yang memanipulasi data dan informasi persediaan serta stok
daging sapi.
Yang kita khawatirkan, kelangkaan artifisial
terjadi karena hadirnya kolusi yang bernama mafia. Jika itu terjadi, solusi
intervensi negara seperti yang diuraikan tersebut akan mandul. Sebab, yang
terlibat dalam penciptaan kelangkaan daging sapi bukan sepenuhnya para pelaku
pasar, tetapi sudah melibatkan oknum negara.
Negara sesunguhnya jauh powerful dari pasar.
Ilmu ekonomi menyatakan, solusi distorsi pasar karena perilaku
karteldanmonopoliadalah masuknya negara untuk menghilangkan kekuatan pelaku
pasar yang destruktif dan eksploitatif tersebut.
Ketika negara ternyata tidak mampu mengoreksi
perilaku distortif tersebut, hal itu menunjukkan adanya pelaku yang merupakan
representasi negara yang ikut bermain di dalam pasar.
Jika fenomena kelangkaan daging sapi ke depan
berulang dan tidak ada solusi yang tuntas, itu indikasi kuat bahwa jaringan
mafia tersebut sudah masuk ke titik-titik pusat pengambilan kebijakan penting
negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar