Sarung Fantasi
Bre Redana ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
23 Agustus 2015
Dari muktamar NU di
awal bulan waktu itu, tersisa kenangan, betapa melihat laporan media rasanya
jadi ingin ikut ke Jombang. Seperti Presiden Jokowi yang bersarung ketika
itu, kalau toh tak bisa masuk ke tempat acara karena tak terdaftar sebagai
peserta, setidaknya saya bisa berada di tengah keramaian umat untuk merayakan
sarung.
Saya tumbuh dalam
lingkungan kebudayaan yang membuat sarung memiliki arti amat khas, baik dalam
memori maupun kehidupan sehari-hari saya sampai sekarang. Semasa kanak-kanak,
sebagaimana semua anak-anak di lingkungan kami, menjelang petang kami akan
mengeluarkan "benda pusaka" itu, yakni sarung.
Ia bisa dimanfaatkan
untuk kepentingan apa saja. Kadang kami memelintirnya memanjang dan
memanfaatkan sebagai semacam pemukul. Di halaman kampung yang berdebu, kami
saling sabet dan saling pukul dengan kain sarung.
Ketika hari gelap,
sarung berubah menjadi mantel, dikerudungkan di badan untuk menahan hawa
dingin Gunung Merbabu. Waktu itu hawa kota kami masih dingin. Sebagian lagi
mengenakannya dengan rapi dan mulai berangkat ke surau.
Khusus pada
pertunjukan wayang kulit, nah ini dia, kami anak-anak sedari petang sudah
mengambil tempat di sela-sela penabuh gamelan. Ketika pertunjukan dimulai,
sebagian dari kami malah mengantuk, jatuh tertidur berselimut sarung.
Biasanya kami terbangun tengah malam, ketika suara gamelan riuh, gending
sampak mengiringi adegan perang. Itulah bagian paling digemari anak-anak.
Perang dan goro-goro, yang ditandai dengan munculnya punakawan Semar Gareng
Petruk Bagong. Adegan lucu ini mengasah sense of humor kami, menjadikan kami
kini manusia yang tidak melulu tegang.
Betapa utuhnya sarung
sebagai bagian dari diri kami. Fantasi kami tentang seksualitas perempuan
sebagian juga terbentuk, ketika mengintip perempuan mandi di kali, menutup
tubuh dengan sarung yang basah. Tak ada yang bisa mengalahkan pemandangan
itu, ditandingkan Marilyn Monroe sekalipun. Entah kalau Luna Maya.
Jelas seksualitas ada
kaitannya dengan fashion. Itulah maka ada pakaian perempuan-pakaian lelaki.
Dalam dunia mode, tahun 1920-an/1930-an dianggap masa tercapainya ideal
busana perempuan modern. Hanya semangatnya terlalu feminin, yang berarti tetap
terjadinya perbedaan perempuan-lelaki. Makanya, ketika menyusul berlangsung
gerakan women libs, para perempuan mulai memakai celana panjang seperti kaum
lelaki. Khusus di Indonesia, gerakan kaum feminis diwarnai pemakaian kain dan
sarung oleh para aktivis. Seperti bangkitnya nasionalisme Indonesia dengan
pertanda dipakainya peci, para aktivis perempuan menunjukkan semangat
perjuangannya dengan kain dan sarung tadi. Dari "bung ayo bung"
menjadi "jeng ayo jeng".
Kriteria estetik dalam
soal busana menjadi tidak seberapa dibandingkan dengan fakta sosial politik
yang bisa dimainkan olehnya. Sebab, orang berpakaian bukan semata-mata karena
busana yang hendak dikenakannya bagus atau tidak, melainkan ingin
dipersepsikan seperti apa sebenarnya dia. Busana adalah politik tubuh paling
konkret: apakah ingin terlihat sebagai suburban, etnik, hamba korporat (yang
ini antusias mengenakan seragam), bohemian, nasionalis, dan seterusnya.
Dalam soal sarung,
saya tidak sendirian. Ada teman, lulusan Amerika, lingkungan pergaulannya
kini sangat kosmopolit, di tubuhnya sekilas selalu terlihat melekat merek
mahal, ternyata diam-diam tetap tak bisa lepas dari sarung. Ketika bepergian,
tak ketinggalan sarung di koper. Ia tak bisa tidur kalau tidak terselimuti
sarungnya.
Suatu saat, dari
seorang kenalan perempuannya di kota besar, ia menerima hadiah sarung. Dia
terheran-heran. Dari mana kenalannya ini, perempuan cantik agak berumur, yang
kalau ketemu dengannya seingatnya ia tak pernah bersarung melainkan dengan
jins, tahu bahwa ia menggemari sarung?
Jawab si pemberi
sarung: karena pada dirimu aku melihat Nusantara, aku melihat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar