Kesiapan Hadapi Siklus Keuangan
Umar Juoro ;
Senior Fellow pada CIDES dan The Habibie
Center
|
KOMPAS,
27 Agustus 2015
Indonesia dan
negara-negara berkembang lain sedang menghadapi siklus keuangan dari posisi
puncak menuju penurunan. Siklus keuangan adalah naik turunnya indikator utama
keuangan, yaitu pertumbuhan kredit dan harga properti dalam periode waktu
tertentu. Krisis keuangan biasanya terjadi pada saat siklus keuangan mencapai
puncaknya, diikuti krisis perbankan dan resesi ekonomi (pertumbuhan negatif)
yang pemulihannya berjalan dalam periode cukup panjang. Perekonomian yang tak
dapat mengelola siklus keuangan dengan baik umumnya terjerembab dalam siklus
pertumbuhan tinggi dan kejatuhan/krisis.
Siklus keuangan
berbeda dengan siklus bisnis yang dicirikan naik dan turunnya pertumbuhan
ekonomi. Dalam siklus bisnis, krisis ekonomi terjadi pada saat pertumbuhan
ekonomi negatif atau resesi, dan tidak selalu disertai krisis keuangan.Siklus
keuangan memberikan dampak yang lebih besar daripada siklus bisnis karena
memukul neraca keuangan di tingkat mikro, yaitu perusahaan dan rumah tangga.
Puncak siklus keuangan
Negara-negara Asia,
termasuk Indonesia, dapat dikatakan mengalami puncak siklus keuangan pada
2011-2013 ketika pertumbuhan kredit tinggi, di atas 20 persen, dan harga
properti juga tinggi. Pada 2014 dan 2015 pertumbuhan kredit menurun dan juga
harga properti, terutama di RRT. Dengan kata lain siklus keuangan mengalami
transisi dari puncak menuju penurunan.
Kelihatannya puncak dari
siklus keuangan ini kemungkinan masih rendah untuk diikuti krisis keuangan
seperti pada 1998 di Asia dan 2008 di AS dan Eropa. Namun, kewaspadaan tetap
dijaga mengingat penurunan siklus keuangan punya pengaruh serius pada
perekonomian. Apalagi, krisis keuangan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem keuangan pasar yang terbuka.
Transisi dari puncak
siklus keuangan membawa konsekuensi cukup besar bagi perekonomian. Pada saat
pertumbuhan ekonomi turun, kelemahan dalam sektor keuangan mulai terlihat.
Kredit macet (NPL) meningkat, terutama di sektor-sektor yang paling menurun
pertumbuhannya, seperti pertambangan, seiring menurunnya harga komoditas.
Permasalahan kemampuan
membayar debitor juga tak mudah untuk dicermati. Laporan keuangan dari banyak
debitor bank sering kali tidak menunjukkan tanda-tanda ketidakmampuan
membayar cicilan. Permasalahan muncul seakan-akan terjadi dengan tiba-tiba.
Penentu kebijakan
umumnya menghadapi siklus keuangan ini dengan melonggarkan peraturan
perkreditan dan kewajiban giro minimum. Misalnya yang dilakukan Bank
Indonesia (BI) dengan melonggarkan loan to value (LTV) dan membolehkan
obligasi pemerintah dikategorikan sama dengan deposito. Belakangan Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan peraturan yang memudahkan restrukturisasi
dan penyesuaian bobot risiko terhadap kredit.
Di RRT, bank
sentralnya menurunkan suku bunga dan intervensi di pasar modal untuk menahan
kejatuhan harga saham. Namun, kebijakan tersebut masih belum cukup efektif
menahan tekanan di pasar modal. Pengaruh dari permasalahan di pasar modal
dirasakan juga oleh pasar keuangan di Indonesia.
Kemungkinan krisis
keuangan dapat dikatakan relatif rendah. NPL brutobank sekalipun naik,masih
rata-rata sekitar 2,6 persen (neto 1,4 persen) dan kecukupan modal (CAR) masih
tinggi: 20,3 persen. Namun, implikasi dari penurunan siklus keuangan membawa
pengaruh serius terhadap perekonomian.
Perbankan Indonesia
saat ini dapat dikatakan kelebihan likuiditas sebagai konsekuensi dari
pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK), 12,5 persen, yang lebih tinggi daripada
pertumbuhan kredit sekitar 10,4persen. Bank lebih berhati-hati dalam
menyalurkan kredit dan permintaan kredit cenderung menurun.
Terjadi juga
pergeseran penempatan dana dari tabungan ke deposito berjangka. Hal ini
menunjukkan masyarakat yang berpendapatan tinggi cenderung tidak
membelanjakan dana karena menghadapi ketidakpastian perkembangan ekonomi.
Harga properti
sekalipun pada umumnya tidak menurun karena sifat kekakuan harga: stagnasi.
Pasokan lebih besar daripada permintaan, baik perkantoran, pusat
perbelanjaan, maupun rumah tinggal. Pembeli, baik investor maupun pemilik,
menunda keputusan karena ketidakpastian ekonomi dan peraturan perpajakan.
Besarnya kepemilikan
asing dalam Surat Utang Negara (SUN) sekitar 38 persen membuat sistem
keuangan rentan terhadap kejutan dari luar yang menyebabkan aliran modal
keluar. Utang luar negeri swasta juga lebih besar daripada pemerintah, dengan
jatuh tempo yang lebih pendek, menambah kerentanan tersebut.
Pentingnya stabilitas
Menghadapi siklus
keuangan, terutama saat mencapai puncaknya dan diikuti dengan penurunan,
haruslah dilakukan denganserius supaya tidak terjatuh dalam krisis keuangan.
Dengan keterbatasan cadangan devisa, BI tak dapat banyak melakukan intervensi
mempertahankan nilai rupiah yang sudah terdepresiasi 8,7 persen sejak awal
tahun. Begitu pula BI tidak dapat menurunkan suku bunga untuk stimulasi
ekonomi karena akan kian menekan nilai rupiah.
Apa yang BI dan OJK
harus lakukan adalah fokus pada menjaga stabilitas keuangan (makro dan
mikro-prudensial). Jangan sampai NPL terus memburuk. Jika terdapat gejala
fraud, segera fasilitas kredit dihentikan dan diproses secara hukum. Bagi
debitor yang mengalami permasalahan karena alasan penurunan bisnis, kredit
dapat direstrukturisasi secara memadai untuk memungkinkan melalui masa sulit
ini, sebagaimana peraturan OJK yang baru dikeluarkan.
Perhatian BI dan OJK
semestinyafokus pada stabilisasi sistem keuangan daripada stimulasi. Hal ini
mengingat bahwa bank masih mengalami kelebihan likuiditas. Permasalahannya
adalah lebih pada menurunnya permintaan kredit (berkualitas) saat ekonomi
melemah.
Kerangka hukum yang
jelas dan kuat untuk menangani bank bermasalah, apalagi yang berpotensi
sistemik, sangat dibutuhkan. UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan harus segera
disahkan. Kejelasan dalam menyatakan keadaan krisis sangat penting. Jangan
sampai kekisruhan aturan terulang seperti pada kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) tahun 1998 dan Bank Century tahun 2008.
Sebenarnya kebijakan
fiskal diharapkan dapat berbuat lebih banyak dengan menstimulasi ekonomi.
Jangan sampai penurunan penjualan terus terjadi, dan perusahaan terlalu
terfokus pada restrukturisasi menurunkan biaya, apalagi dengan melakukan
PHK.Sementara pembangunan infrastruktur sangat membantu mendorong kegiatan
ekonomi, tapi butuh waktu untuk pelaksanaannya dan begitu pula pengaruhnya
pada perekonomian tidak dapat seketika.
Langkah-langkah jelas
dan tegas dari kebijakan stabilitas sistem keuangan dan stimulasi fiskal akan
dapat menjembatani kesenjangan ekspektasi terhadap perkembangan ekonomi.
Kesenjangan itu antara lain pemerintah masih mengharapkanpertumbuhan 5,2
persen, sedangkan BI 5-5,2 persen, ADB 5 persen, dan Bank Dunia 4,7 persen.
Pemerintah masih mengharapkan nilai rupiah sekitar Rp 13.200 per dollar AS,
sedangkan banyak analis dan pelaku pasar keuangan memperkirakan lebih lemah
lagi, berkisar Rp 13.800-Rp 14.000 per dollar AS pada akhir tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar