Bunuh Diri Altruistik
Trias Kuncahyono ;
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
23 Agustus 2015
Suatu siang, 20 Juli
2015. Seorang perempuan tiba-tiba masuk ke tengah kerumunan anak muda yang
sedang makan siang di pusat kebudayaan di Suruc, kota di Turki yang
berbatasan dengan Suriah. Anak- anak muda itu tergabung dalam Federasi
Asosiasi Anak Muda Sosialis. Mereka baru saja mengadakan jumpa pers untuk
menjelaskan rencana mengunjungi Kobani yang belum lama dibebaskan dari
pendudukan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS.
Tak ada yang menduga,
perempuan itu pembawa bencana. Semua baru sadar ketika tiba-tiba bom meledak.
Dan, 31 anak muda tewas. Rencana mereka pergi ke Kobani, enklave kaum Kurdi
di Suriah, untuk menyerahkan bantuan mainan anak-anak, buku-buku, alat
pertanian, juga bahan-bahan untuk membangun perpustakaan dan tempat bermain,
tak kesampaian. Belakangan diketahui, perempuan itu anggota NIIS.
Ini bukan kali pertama
NIIS menggunakan pengebom bunuh diri untuk mewujudkan impiannya. Setelah itu,
serangan bom bunuh diri terus terjadi di Irak, Suriah, Turki, bahkan sampai
Arab Saudi. Di Indonesia juga pernah terjadi serangan bom bunuh diri. Pada
2002, Asmar Latin meledakkan diri di Hotel JW Marriott. Lalu, Heri Kurniawan
alias Heri Gulon meledakkan dirinya di depan Kedutaan Besar Australia di
Jakarta (2004). Juga tragedi bom bunuh diri di Bali pada 2002 dan 2005.
Serangan bunuh diri
(sekarang menggunakan bom) memiliki sejarah panjang. Debra D Zedalis (Female
Suicide Bombers, Juni 2004) mencatat bahwa model serangan seperti itu sudah
dimulai sejak awal abad ke-11. Robert A Pape dalam Dying To Win, The
Strategic Logic of Suicide Terrorism (2005) malah mencatat, terorisme bunuh
diri sudah dilakukan kaum Zealot Yahudi pada abad pertama. Cara serupa
dipakai saat pecah Revolusi Belgia (1830). Ketika itu, Letnan Jan Van Speijk
(Belanda) meledakkan kapalnya sendiri di Pelabuhan Antwerp agar tidak
dirampas Belgia.
Pape mencatat
terorisme bunuh diri meningkat sejak serangan terhadap Kedubes Amerika
Serikat di Beirut, Lebanon, April 1983, yang menewaskan 63 orang. Sejak itu,
serangan serupa menyebar ke mana-mana: Israel, Sri Lanka, India, Pakistan,
Afganistan, Yaman, Turki, Rusia, AS, Irak, Suriah, Arab Saudi, Turki, Mesir,
bahkan Indonesia.
Banyak sebutan untuk
aksi seperti itu. Diego Gambetta (Making Sense of Suicide Missions, 2005)
menyebutnya sebagai "misi bunuh diri". Sejumlah ilmuwan sosial,
termasuk Pape dan Mia Bloom, menyebutnya "terorisme bunuh diri."
Sejarawan Shaul Shay menamai aksi itu "serangan bunuh diri". Apa
pun istilahnya, tujuannya sama: membunuh orang lain, mendapat perhatian, dan
memperkenalkan tujuan politik atau agama organisasinya.
Serangan atau bom
bunuh diri adalah serangan yang unik. Kematian pelaku adalah syarat bagi
keberhasilan misi tersebut. Karena itu, disebut sebagai "metode
operasional dalam mana tindakan penyerangan itu bergantung pada kematian
pelaku" (Bohaz Ganor, 2000).
Pertanyaan yang selalu
muncul kemudian adalah: apa yang membuat orang rela mengorbankan nyawa agar
dapat membunuh orang lain? Mengapa hal itu dilakukan? Apakah itu demi imbalan
materi atau uang? Apakah dilakukan berdasarkan sebuah keyakinan atau atas
nama perjuangan? Tak mudah menjawab rangkaian pertanyaan itu.
Emile Durkeim (1858-1917),
sosiolog dan filsuf Perancis, menjelaskan motif serangan bunuh diri itu dalam
dua tipologi: terorisme altruistik dan terorisme fatalistik (dilakukan karena
tekanan berat, secara politik ataupun ekonomi, sehingga mereka memilih
menjadi pelaku serangan bunuh diri untuk mendapatkan uang, misalnya. Dengan
mengorbankan diri, seseorang mengakhiri tekanan ekonomi pada diri atau
keluarganya dengan menggenggam janji menjadi seorang martir, suhada).
Disebut sebagai
terorisme altruistik jika pelaku benar-benar menyerahkan hidupnya dengan
integritas tinggi kepada kelompoknya, organisasinya. Pelaku benar-benar
menyadari, dirinya adalah anggota kelompok atau organisasi. Ia sadar harus
berkorban untuk kelompok atau organisasinya. Altruisme memusatkan perhatian pada
motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan kebaikan
tanpa memperhatikan ganjaran. Ada yang berpendapat, altruisme sekaligus
kewajiban, sementara yang lain tidak. Altruisme murni memberi tanpa
memperhatikan ganjaran atau keuntungan.
Termasuk dalam
tipologi apa para pengebom bunuh diri NIIS? Kita tak tahu pasti, sama tidak
tahu pasti mengapa mereka bergabung dengan NIIS. Apakah itu tindakan
bermoral? Barangkali, bagi mereka, inilah kematian yang indah dan baik.
Namun, kematian yang baik dan indah sekalipun adalah misteri yang tak mungkin
kita pahami secara rasional murni. Persoalannya adalah bagaimana cara
kematian itu ditempuh. Apakah kematian itu hanya bagi dirinya sendiri atau
mengajak serta orang lain? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar