Senin, 31 Agustus 2015

Gotong Royong Politik Pelayanan

Gotong Royong Politik Pelayanan

Yudi Latif  ;  Cendikiawan Kebangsaan
                                            MEDIA  INDONESIA, 31 Agustus 2015       

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP kali kata optimisme hendak dupan kita lukis di atas kanvas kehid bangsa, selalu saja menerjang badai pesimisme yang menggentarkan. Perayaan Idul Fitri dan hari kemerdekaan Indonesia mestinya memantulkan semangat optimisme jiwa pemenang. Namun, memburuknya perekonomian dan kerentanan politik yang kita alami membuat cuaca kebatinan bangsa ini diliputi kabut pesimisme.

Dalam situasi paradoks seperti itu, yang kita perlukan untuk menyongsong langit harapan bukanlah suatu optimisme yang buta, malainkan suatu optimisme yang fleksibel--optimisme dengan mata terbuka.Kita harus bisa menggunakan pesimisme untuk menumbuhkan rasa keterpautan dengan realitas karena kesanggupannya untuk melihat situasi secara lebih akurat.Meski demikian, kita tidak perlu hanyut dalam bayang-bayang kegelapan yang akan membuat kita terpenjara dalam ketidakberdayaan.

Pemikiran konvensional beranggapan bahwa kesuksesan menciptakan optimisme. Padahal, bukti menunjukkan sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Seligman, optimisme cenderung mendorong pada kesuksesan.
Akan tetapi, optimisme harus berjejak pada visi dan komitmen. Optimisme tanpa visi dan komitmen hanyalah lamunan kosong. Upaya menyemai optimisme harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa lalu, peluang masa kini, serta keampuhannya mengantisipasi masa depan. Visi ini harus menjadi kenyataan dengan memperkuat kapasitas transformatif kekuasaan, dengan mentalitas kepemimpinan yang siap mengembangkan kerja sama dalam spirit pelayanan.

Pertama-tama diperlukan kejujuran untuk menerima kenyataan. Kita tidak bisa menutup mata akan kebenaran dan kenyataan adanya berbagai krisis yang mengancam kehidupan bangsa. Kita tidak bisa bersikap tenang-tenang saja, seolaholah keadaan bangsa ini baik-baik saja, tak ada masalah yang merisaukan.

Selain krisis perekonomian seperti ditandai oleh merosotnya nilai tukar rupiah, jatuhnya indeks saham gabungan, jatuhnya harga komoditas andalan, menurunnya penerimaan pajak, serta ancaman pemutusan hubungan kerja dalam skala masif, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang ditengarai oleh Bung Karno pada 1952. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau.Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).

Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi hari ini. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara sejauh ini belum mampu menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara kurang memperhatikan visi dan wawasan perjuangan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari etika seperti terpisahnya air dengan minyak.Adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru saling bertikai, berlomba menghancurkan kewibawaan negara.

Yang lebih buruk lagi, pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara dan masyarakat politik justru seperti kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab. Kepemimpinan negara dan elite politik hidup dalam penjara narsisme yang tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya. Perhatian elite politik lebih tertuju pada upaya memanipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan; lebih mengutamakan kenyamanan diri ketimbang kewajiban memajukan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Situasi inilah yang melahirkan krisis kepemimpinan. Pemimpin ada kalau mereka hadir dalam alam kesadaran dan penderitaan rakyatnya. Bung Karno mengatakan, “Mereka seharusnya belajar bahwa seorang tidak dapat memimpin massa rakyat jika tidak masuk ke lingkungan mereka.... Demi tercapainya cita-cita kita, para pemimpin politik tidak boleh lupa bahwa mereka berasal dari rakyat, bukan berada di atas rakyat.“ Secara retoris, Bung Karno juga mempertanyakan, “Berapa orangkah dari alam pemimpin Indone sia sekarang ini yang masih benar-benar `rakyati' seperti dulu, masih benar-benar `volks' seperti dulu?“

Dengan tercerabut dari lumpur kehidupan rakyat, para penyelengara negara cenderung mengembankan sikap defensif untuk melarikan diri tanggung jawab. Misalnya saja, kita mendengar ada pejabat yang menyatakan bahwa jatuhnya nilai rupiah ialah baik bagi perekonomian nasional.

Lebih dari itu, ketika kita dihadapkan pada berbagai pesoalan pelik yang menuntut semangat solidaritas dan tanggung jawab bersama, kepedulian politik kita justru hanya berhenti pada persoalan bagi-bagi kekuasaan. Kegaduhan politik terjadi hanya di sekitar persoalan siapa, partai apa, mendapatkan apa. Bahkan belakangan, indikasi pertarungan kepentingan pun mulai merobek kekompakan kabinet. Padahal dalam situasi krisis seperti ini, mentalitas yang harus ditumbuhkan bukanlah ekerekeran mempersoalkan pembagian kekuasaan, melainkan mentalitas gotong royong dalam pembagian tanggung jawab.

Dalam kaitan itu, perlu disadari bahwa demokrasi memang merupakan solusi terhadap tirani, tetapi tidak selalu memberikan solusi yang segera terhadap masalah-masalah bangsa lainnya. Berbeda dengan ledakan harapan banyak orang, pemerintahan demokratis justru sering dihadapkan dengan aneka masalah dan kekecewaan yang sulit diatasi. Oleh karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peranan penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis, yang lebih menentukan bukanlah kesanggupan mereka dalam menuntaskan masalah-masalah itu, melainkan cara pemimpin politik itu menanggapi ketidakmampuannya. Suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan jika mampu menggalang kerja sama (lintas partai, lintas golongan, lintas profesi); bukan mengundang pertikaian; sambil mengupayakan secara bersama cara mengatasi permasalahan secara institusional.

Untuk keluar dari krisis menuju politik harapan, suatu bangsa harus keluar dari tahap anarki, tradisionalisme, apatisme, menuju penciptaan pemimpin publik yang sadar Pada tahap pertama, seluruh tindakan politik diabsahkan menurut logika pemenuhan kepentingan pribadi, yang menghancurkan sensibilitas pelayanan publik. Pada tahap kedua, untuk mencapai sesuatu, pemimpin mendominasi dan memarginalkan orang lain. Pada tahap ketiga, peluang-peluang yang dimungkinkan demokrasi tak membuat rakyat berdaya, justru membuatnya apatis.

Pada tahap keempat, tahap politik harapan, para pemimpin menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme dalam situasi krisis, dengan cara memahami kesalingtergantungan realitas serta kesediaan bekerja sama menerobos batasbatas politik lama. Kekuasaan digunakan untuk memotivasi dan memberi inspirasi yang memungkinkan orang lain mewujudkan keagungannya. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam politik dan aktivisme sosial untuk bergotong royong merealisasikan kebajikan bersama.

Politik sebagai ikhtiar merealisasikan harapan kebahagiaan hanya bisa diwujudkan dengan bergotong royong mengembangkan politik pelayanan. Usaha demokrasi membawa kebahagiaan bersama menuntut penjelmaan `negara-pelayan' yang bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, serta keadilan.

Negara memiliki legitimasi sejauh melindungi warganya dari bahaya karena ketertiban dan keselamatan sangat esensial bukan saja bagi kehidupan, melainkan juga untuk meraih kebahagiaan. Terbukti, negara-negara dengan pencapaian tertinggi dalam indeks kebahagiaan, seperti Norwegia, Swiss, dan Denmark, umumnya ialah negara demokrasi stabil yang mampu menegakkan hukum, keamanan, dan ketertiban.

Legitimasi kedua ialah responsibilitas negara untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran pemerintah dalam memfasilita asi kesejahteraan sangat penting. Seperrti ditunjukkan Amartya Sen, kelaparan di sejumlah negara bukanlah karena kekurangan makanan, melainkan karena rakyat tak memiliki hak milik dan daya beli sebagai akibat buruknya layanan pemerintahan.

Legitimasi ketiga ialah kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan kebenaran yang sangat vital bagi kelangsungan komunitas bangsa. Tidak ada perbantahan antara rezim demokratis dan nondemokratis atas pentingnya pengetahuan. Bahkan, seorang Mao dalam Revolusi Kebudayaannya meyakini, “Sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan memberikannya sejauh ada pengetahuan.“

Legitimasi pamungkas ialah kemampuan negara menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dan binatang ialah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Keadilan negara ini sangat vital bagi resolusi konflik dalam masyarakat multikultur.

Pemenuhan keempat basis legitimasi negara-pelayan tersebut merupakan pertaruhan atas kebahagiaan warga negara.Para pendiri bangsa secara visioner memosisikannya sebagai tujuan negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Jalan demokrasi Indonesia menuju kebahagiaan bersama masih teramat panjang. Namun, dengan menggali lapis demi lapis lintasan sejarah perjuangan bangsa akan kita temukan bahwa warisan terbaik para pendiri bangsa ialah `politik harapan' (politics of hope), bukan `politik ketakutan' (politics of fear). Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan indentitas sebagai bangsa Indonesia.

Kemarahan, ketakutan, dan kesedihan memang tak tertahankan, tetapi sejauh masih ada harapan, semangat tetap menyala. Indonesia boleh jadi satu-satunya negeri di muka bumi yang menyebut negerinya dengan `tanah air'. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari, dan selama masih ada tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar