Menghadapi Perang Mata Uang
Andi Irawan ;
Dosen Universitas Bengkulu
|
KORAN
TEMPO, 26 Agustus 2015
Rupiah terus melemah
sampai menembus angka 14.000 per dolar AS.
Pelemahan mata uang dalam negeri memang bukan fenomena spesifik di Indonesia.
Ia fenomena di banyak negara, terlebih yang perekonomiannya sedang tumbuh (emerging market) seperti Indonesia.
Hanya, berbeda dengan
penyebab pelemahan-pelemahan sebelumnya, penyebab kali ini dipahami banyak
pihak sebagai dampak currency war (perang mata uang). Perang mata uang
merujuk pada fenomena saat negara-negara berkompetisi satu sama lain untuk
melemahkan nilai mata uang mereka. Tujuannya, ekspor negara yang mengalami
depresiasi mata uang tersebut meningkat.
Tersebutlah Cina,
negeri adidaya ekonomi dunia baru yang mempunyai mata uang yuan-yang
terapresiasi hingga 33 persen dari 2005 sampai saat ini. Kondisi perekonomian
saat ini dinilai tidak menguntungkan Cina karena membuat yuan semakin mahal
dan barang-barang ekspor Cina tidak bisa bersaing. Akibatnya, ekspor Negeri
Tirai Bambu pada Juli 2015 turun 8,3 persen.
Itulah akhirnya yang
menyebabkan bank sentral Cina (PBOC) mendevaluasi yuan 1,9 persen pada
pertengahan Agustus-devaluasi terendah dalam tiga tahun terakhir. Hanya,
devaluasi tersebut terus menimbulkan pertanyaan. Devaluasi terjadi saat
surplus perdagangan Cina meningkat. Seharusnya, dalam kondisi surplus itu,
yang dilakukan Cina untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran adalah
menaikkan kurs yuan terhadap dolar, bukan melemahkannya (devaluasi).
Devaluasi yuan akan
mendorong AS segera merealisasi kebijakan pengetatan moneter yang telah
diumumkan sebelumnya dalam rangka mendepresiasi nilai dolar untuk menjaga
ekspor AS di dunia. Selama sembilan
bulan terakhir, kenaikan rata-rata dolar yang sebesar 25 persen telah
menyeret ekonomi Negeri Abang Sam ke arah yang kurang menggembirakan.
Apalagi, dengan devaluasi yuan, akan semakin tidak kompetitiflah produk AS di
luar negeri.
Cina tentu saja tidak
perlu khawatir jika AS mengambil kebijakan moneter ketat tersebut. Sebab hal
itu akan menyebabkan mata uang negara-negara emerging market semakin
terdepresiasi, yang akan memperbesar daya penetrasi produk Cina di dunia.
Bagi Indonesia, jika
perang mata uang negara adidaya ekonomi dunia terus berlangsung, rupiah akan
semakin melemah. Pelemahan rupiah secara teoretis seharusnya tidak
mengkhawatirkan. Sebab harga-harga domestik menjadi lebih rendah dibanding
harga internasional, yang akan memacu peningkatan ekspor.
Tapi, pada
kenyataaannya, hal itu tidak terjadi karena tiga sebab. Pertama, komoditas
ekspor didominasi komoditas primer (pertambangan dan pertanian) yang memang
saat ini harga internasionalnya mengalami penurunan.
Kedua, negara-negara
mitra dagang tempat menjual produk ekspor kita umumnya sedang mengalami
pelemahan ekonomi yang menyebabkan permintaan impor mereka terhadap produk
kita menurun.
Ketiga, industri kita
ternyata sangat tergantung pada impor dengan 76 persen bahan baku dan bahan
penolong harus diimpor. Semakin lemah rupiah, semakin besar biaya produksi.
Mengandalkan otoritas
moneter untuk menstabilkan rupiah agar tidak terus melemah adalah sulit.
Operasi pasar berupa pembelian kembali obligasi pemerintah dan saham BUMN di
bursa efek serta penyempitan ruang gerak spekulan dengan mewajibkan transaksi
pembelian valuta asing minimal US$ 25 ribu disertai bukti pendukungnya diduga
kuat tidak akan menjadi pelindung yang memadai terhadap imbas pertempuran
mata uang negara-negara adidaya dunia saat ini.
Walaupun demikian,
kita tidak perlu terlalu pesimistis. Sebab sesungguhnya Indonesia, dengan
jumlah penduduknya yang besar, adalah pasar tersendiri. Inilah yang harus digarap total oleh
pemerintah agar pasar domestik ini bisa dimanfaatkan. Momen depresiasi rupiah
sendiri menyebabkan harga produk luar menjadi mahal. Karena itu, ini peluang
bagi kita untuk memproduksi produk-produk substitusi impor yang selama ini
kita dapatkan dari luar, dari produk pangan sampai otomotif dan manufaktur.
Juga meningkatkan pariwisata domestik bagi masyarakat sendiri yang selama ini
gandrung berlibur ke luar negeri.
Di samping itu,
pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal perlu menjaga kekuatan konsumsi
dan investasi domestik agar semakin berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi.
Caranya, mengkoreksi kebijakan fiskal pemerintah yang cenderung kontraktif.
Dalam kondisi krisis
ekonomi, pemerintah adalah sumber kekuatan ekonomi untuk memacu pertumbuhan
melalui kebijakan fiskal ekspansifnya. Caranya, pertama, meningkatkan
belanja-belanja negara pada proyek publik dan menghemat pengeluaran rutin
serta memangkas birokrasi yang tidak berkontribusi nyata terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Kedua, mengurangi
target penerimaan negara dari pajak, dan bukan malah meningkatkan pajak.
Ini bentuk stimulasi untuk memacu
konsumsi domestik dan investasi swasta sebagai kekuatan utama sumber
pertumbuhan ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar