Literasi Kemerdekaan
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 17 Agustus 2015
HARI-HARI setelah 17 Agustus 1945, para tokoh
menulis buku-buku untuk mengisahkan dan menjelaskan Indonesia. Para penulis
pun memilih berliterasi demi meneguhkan kemerdekaan dengan untaian kata
bergelimang makna.
Buku-buku ditulis dan diterbitkan secara
sederhana saat jutaan orang Indonesia masih berpredikat tunaaksara. Kerja
literasi tetap harus dilakukan sebagai konsekuensi kemuliaan Indonesia sebagai
negara modern dan beradab.
Pada 10 November 1945, Sutan Sjahrir
mengeluarkan teks berjudul Perdjoeangan Kita. Buku itu berisi analisis
situasi Indonesia dan kerja pemerintah setelah 17 Agustus 1945.
Sjahrir mengajukan kritik-kritik yang
bermaksud menentukan arah kemajuan bagi Indonesia. Sjahrir mengungkapkan
pesimisme: ’’Sangat menjedihkan keadaan djiwa pemoeda kita. Mereka teroes di
dalam kebimbangan, meskipoen semangatnja meloeap-loeap, mereka beloem
mempoenjai pengertian tentang kemoengkinan serta kedoedoekan perdjoeangan
jang diperdjoeangkannja sehingga pandangannja tak dapat djaoeh.’’
Kritik itu diajukan saat kaum muda sedang
repot menentukan posisi dalam tata pemerintahan dan perjuangan. Sjahrir
menganggap kaum muda itu ’’maboek perboeatan’’ agar tampak revolusioner dan
heroik, meski mereka ’’banjak poela salah toebroek’’. Di ujung tulisan,
Sjahrir mengingatkan kemungkinan petaka jika para pemimpin dan kaum muda
masih memihak ke militerisme dan fasisme.
Pemaknaan kemerdekaan berlanjut ke penerbitan
buku berjudul Merdeka (1946). Buku itu berisi sikapsikap politik Soekarno,
Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sultan Hamengku Buwono IX, Paku Buwono XII,
dan Mangkunegoro VIII.
Penerbitan dilakukan surat kabar Merdeka
dengan pemimpin redaksi B.M. Diah. Buku tersebut bermisi menjelaskan
kemerdekaan dengan pelbagai dokumentasi berita, artikel, serta foto. Para
pemimpin juga memberikan uraian-uraian mengenai perkembangan Indonesia dalam
urusan politik, pendidikan, polisi, tentara, pers, agama, dan seni. Penerbitan
buku itu semakin membuktikan bahwa kerja literasi bakal mengukuhkan
kemerdekaan.
Di Solo, pemberian arti kemerdekaan diwujudkan
R. Tanojo dengan garapan buku berjudul Djangka Djajabaja Sempoerna dengan
Peristiwa Indonesia Merdeka (1946). Buku itu terbagi dalam tiga jilid, berisi
uraian sejarah dan pemaknaan ramalan kemerdekaan dengan dasar-dasar
pembentukan Indonesia sebagai negara modern.
Buku itu diterbitkan Sadoe Boedi (Solo) dengan
kecenderungan sebagai bacaan berkonteks sejarah politik-kultural Jawa bertaut
semangat kemerdekaan. Buku garapan R. Tanojo mungkin menjadi buku aneh saat
dibaca kaum politik dan kaum intelektual yang berkiblat ke rasionalitas
Barat. Buku itu sengaja ’’mencampur’’ ramalan dan realitas Indonesia merdeka.
Pada 1946, terbit buku berjudul Soeasana
Politika garapan Moetijar S. Buku itu diterbitkan Balai Poestaka. Buku
tersebut terkesan jadi tanggapan untuk tuduhan-tuduhan Sutan Sjahrir kepada
kaum muda atau ’’Angkatan Baroe’’.
Moetijar berlaku sebagai pencatat
gejala-gejala perubahan dan perkembangan Indonesia melalui kutipan berita,
kebijakan pemerintah, dan pidato. Penjelasan suasana dimulai pada 17 Agustus
1945 sampai 31 Desember 1945.
Moetijar sengaja menggarap buku berbekal
mantra: ’’merdeka berpikir, merdeka bitjara, merdeka menoelis’’. Keberanian
menerbitkan buku berjarak lima bulan setelah kemerdekaan memungkinkan
kesalahan atau analisis dangkal.
Moertijar pun mengakui: ’’…sifat pemoeda jang maoe mentjapai tanah tepi dengan sekali lompat
sadja, barangkali banjak terdapat dalam naskah ketjil ini sesoeatoe jang
terdorong telandjoer, jang terlebih kata orang, dan entahlah banjak poela
kesalahan dan kekoerangannja.’’ Buku sudah diterbitkan menjadi bukti
bahwa kaum muda berhak menilai kemerdekaan dengan kerja literasi.
Tahun demi tahun berlalu. Kemauan menulis
tentang kemerdekaan dilanjutkan oleh Sajuti Melik. Pengetik naskah Proklamasi
itu menulis buku berjudul Arti Proklamasi dan KMB (1949). Buku itu
diterbitkan Logika, Jogjakarta. Tebalnya 78 halaman.
Pada halaman awal, pembaca disuguhi puisi
berjudul Ketjewa tapi Berdjoang, ekspresi politis untuk situasi Indonesia.
Sajuti menulis: Aku ketjewa/ Bila kenjataan/ Menjampingkan pengharapan… Aku
ketjewa/ Karena republik/ tak memenuhi pengharapan/ Siapa salah/ Dia satu
kenjataan/ Dan, benar salah/ Republik milik kita.
Puisi itu digubah bereferensi ke peristiwa
bersejarah dan ikhtiar para pemimpin politik dalam mencapai kedaulatan
Indonesia di mata dunia internasional. Kemerdekaan masih terus dirongrong
dari dalam dan luar. Penjelasan-penjelasan melalui buku diharapkan bisa jadi
acuan melihat perkembangan nasib Indonesia.
Sajuti Melik terlibat dalam peristiwa
bersejarah. Pengalaman itu digunakan untuk pengajuan perbedaan tafsir
Proklamasi. Lima tahun sudah berlalu, tetapi tafsir resmi Proklamasi belum
dikeluarkan pemerintah.
Sajuti Melik mencatat ada dua tafsir besar
mengenai Proklamasi seiring perkembangan situasi politik dan pertarungan
diplomasi. Tafsir pertama menganggap Proklamasi itu ’’hanjalah suatu
pernjataan hasrat rakjat Indonesia untuk diselenggarakan negara merdeka
meliputi seluruh Indonesia’’. Republik pada masa itu masih cuma ada ’’di atas
kertas’’.
Tafsir kedua mengungkapkan bahwa Indonesia
telah merdeka, berdaulat, dan tampil sebagai negara kesatuan sejak 17 Agustus
1945. Dua pengertian tak mutlak benar. Sajuti pun memutuskan untuk membuat
uraian yang berpijak ke sejarah. Buku diterbitkan agar lacakan kebenaran
tidak terlalu jauh dari peristiwa dan kesaksian para pelaku.
Penerbitan buku-buku setelah 1945 cenderung
politis. Kita agak reda dari gejolak politik jika membaca buku berjudul
Filsafah Merdeka (1950) garapan Adi Negoro, diterbitkan Pustaka Antara,
Jakarta. Adi Negoro berlaku sebagai pengamat.
Buku itu berisi renungan dan nasihat. Adi
Negoro menentukan jarak renungan dengan rangkai peristiwa dan adu opini umum.
Jurnalis dan sastrawan kondang itu mengingatkan: ’’Negara merdeka harus
mempunjai pikiran merdeka. Dasar-dasar usaha merdeka tidak seharusnja dalam
segala-galanja diharapkan serba dari pemerintah datangnja, oleh sebab tenaga
pemerintah djuga terwatas, bahkan segalanja dalam alam haruslah dipikirkan
oleh manusia Indonesia dengan dasar serba terwatas.’’
Corak filsafat sengaja disajikan agar pembaca
tidak terlalu emosional dan ’’keras’’ menanggapi perkembangan arti kemerdekaan,
sejak 1945 sampai 1950. Kerja literasi pun belum selesai. Kini, kita masih
terus menulis dan membaca demi pemaknaan kemerdekaan dengan pelbagai
perspektif. Begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar