El Nino, Musibah dan Berkah bagi Ekonomi Nasional
M Rudi Wahyono ;
Peneliti CIDES Indonesia
|
JAWA
POS, 10 Agustus 2015
BELUM genap setahun umur pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, berbagai problem dan pilihan sulit dalam berbagai bidang
sudah menghadang. Urusan politik belum selesai, kini pemerintah menghadapi
berbagai tantangan ekonomi sangat berat.
Pertama, ancaman defisit APBN karena
terkurasnya dana subsidi BBM untuk program-program prorakyat dan reformasi
birokrasi seperti yang dijanjikan sewaktu kampanye pemilihan presiden dahulu.
Pencabutan subsidi BBM dengan menyesuaikan ”harga dunia” adalah pil pahit
yang harus ditelan rakyat.
Kedua, penguatan kurs dolar Amerika Serikat
(AS) karena membaiknya ekonomi AS yang menekan nilai rupiah sehingga
terjungkal melewati batas psikologis 13.500 per USD.
Tantangan ketiga adalah kondisi internal
–yaitu ekonomi nasional, khususnya sektor riil– yang tak banyak terbantu oleh
berbagai kebijakan pemerintah. Sedangkan yang keempat, faktor internal, yaitu
lemahnya posisi pemerintah dalam mengatasi turbulensi politik dan demokrasi
dalam negeri membuat nilai rupiah turun semakin tergerus.
Kelima, faktor internal lain adalah kegamangan
pemerintah dalam mengatasi polemik demokrasi dan politik dalam negeri sehingga
membuat investor asing ”malas merealisasikan komitmen” serta cenderung
mencari aman.
Ancaman lain pada ekonomi nasional datang dari
alam: El Nino. El Nino adalah anomali iklim bersumber dari Pasifik Selatan
yang dikenal sebagai ENSO-El Nino Southern Oscillation. Fenomena alam itu
terjadi di antara pesisir barat Amerika Latin dan Asia Tenggara, namun
efeknya dirasakan seluruh dunia.
El Nino mengakibatkan curah hujan tinggi di
Amerika Latin, sebaliknya belahan bumi lain terancam kekeringan. Air laut hangat
mengalir ke arah barat dari Amerika Latin. Sementara itu, arus air dingin
mengarah dari kedalaman laut menuju pesisir Amerika Latin.
Suhu permukaan laut pesisir Australia dan
Indonesia jatuh beberapa derajat, sedangkan suhu air di Amerika Latin naik. Daratan
kawasan Pasifik Barat –di Indonesia dan bagian utara Australia– justru
sebaliknya: kekeringan, gagal panen, dan kebakaran hutan.
Periode El Nino biasanya bertahan selama
setahun dan akan berdampak cukup luas, terutama pada sektor ekonomi yang
berbasis sumber daya alam. Misalnya, pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Komoditas perkebunan utama seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan kakao yang
menjadi salah satu primadona ekspor nasional dipastikan akan terganggu.
Komoditas pangan utama seperti padi, jagung,
kedelai, dan kacangkacangan juga akan mengalami penurunan produktivitas.
Penyebabnya, ketergantungan berbagai komoditas itu pada air sangat besar.
Tapi, di sisi lain, El Nino juga sejatinya
menghadirkan dampak positif bagi Indonesia, yaitu dari sisi ekonomi maritim
berupa meningkatnya kunjungan ikan-ikan ” migratory” seperti tuna dan
cakalang menuju perairan Indonesia yang sedang subur.
Pusat Perkiraan Iklim Amerika (Climate
Prediction Center) mencatat bahwa sejak 1950, telah terjadi 22 kali fenomena
El Nino. Enam kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat, yakni
pada 1957– 1958, 1965–1966, 1972–1973, 1982– 1983, 1987–1988, dan 1997–1998.
El Nino tahun ini diperkirakan akan terjadi
hingga awal tahun depan, namun intensitasnya masih menjadi perdebatan. Pada
kasus dengan intensitas lemah-sedang, untuk Juli–Agustus, El Nino akan
berdampak pada pengurangan curah hujan dengan kisaran 40–80 persen
(dibandingkan normalnya). Wilayah yang merasakannya terutama di sebagian
Sumatera, Jatim-Bali-NTBNTT, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
sebagian Papua.
Pada September–Oktober, dampak El Nino akan
semakin parah dengan ditandai meluasnya area yang mengalami pengurangan curah
hujan, meliputi seluruh Sumatera kecuali Aceh, seluruh Jawa, Bali-NTB-NTT,
sebagian besar Kalimantan, seluruh Sulawesi, Maluku, dan sebagian besar
Papua.
ESCAP, IMF, dan Bank Dunia (2014)
mengungkapkan bahwa dampak ekonomi El Nino pada sektor pertanian di Indonesia
adalah penurunan produksi yang mencapai 3,5 persen. Sedangkan dampak umum
pada GDP (produk domestik bruto) nasional menurun 1,75 persen atau sebesar
USD 7,7 miliar alias mencapai sekitar Rp 100 triliun.
Sebagai sebuah negara agraris sekaligus
maritim, Indonesia seharusnya bisa mengatasi dampak problem ekonomi akibat El
Nino, khususnya pada ketahanan pangan. Apalagi, di sisi lain, seperti disebut
di atas, El Nino merupakan ”berkah” bagi sektor maritim Indonesia.
Namun, bagaimana bisa memperoleh berkah
tersebut apabila nelayan kita sangat tradisional dengan perahu dan alat
tangkap sederhana. Justru yang terjadi bisa sebaliknya: nelayan-nelayan asing
dengan peralatan canggih akan panen.
Sebenarnya Indonesia bisa berkaca dari sejarah
Mesir sekitar 4.000 tahun lalu, ketika Joseph (atau Yusuf AS) mengambil
berkah El Nino serta berhasil menyelamatkan ekonomi nasional. Dengan bantuan
kondisi El Nino, Joseph behasil mewujudkan ”swasembada pangan” dan kemakmuran
melalui program-program efisiensi dan investasi.
Sebagian besar produk nasional diinvestasikan
pada sektor produktif sehingga menghasilkan banyak keuntungan sebagai
cadangan pada masa paceklik. Namun, program penghematan dan ”investasi
cerdik” ala Joseph itu tidak akan berhasil apabila tidak diamanahkan kepada
manusia amanah. Indonesia akan lolos dan mencapai kemakmuran apabila
menemukan manusia terpilih seperti Joseph. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar