”Senin Hitam” dan Indonesia
Muhamad Chatib Basri ; Senior Fellow Harvard Kennedy School
|
KOMPAS,
27 Agustus 2015
Dunia memang tak
pernah langka dengan kejutan. Salah satunya devaluasi yuan, mata uang
Tiongkok, yang kemudian diikuti kepanikan pasar sehingga terjadilah apa yang
disebut ”Black Monday”. Memang, terlalu pagi untuk menyimpulkan. Pasar masih
sangat rentan dan bisa saja berperilaku berlebihan (overshoot) karena didorong oleh kecemasan. Bagaimana kita
menjelaskan ini semua dalam kaitannya dengan devaluasi yuan?
Pertama, ”Black
Monday” (”Senin Hitam”) mungkin dipicu oleh kekhawatiran akan kemungkinan
perang kurs (currency war) dan
dampak resesi yang lebih luas. Apakah devaluasi yuan akan menimbulkan resesi?
Carmen Reinhart dari Harvard Kennedy School dalam sebuah diskusi di sini, di
Indonesia, mengatakan: tidak!
Reinhart mungkin
benar, tetapi terlalu dini untuk menyimpulkannya. Saya kira dalam jangka
pendek langkah ini bisa menimbulkan ketidakpastian, terbukti apa yang terjadi
dengan Senin Hitam. Untuk merespons Senin Hitam, Republik Rakyat Tiongkok
(RRT) telah melakukan stimulus dengan menurunkan bunga 25 dan aturan reserve
requirement. Pasar seketika membaik. Apakah akan berkelanjutan?
Mudah-mudahan! Akan tetapi, saya kira kita perlu melihat masalah devaluasi
mata uang yuan ini dalam perspektif waktu yang lebih panjang.
Penuh ketidakpastian
Devaluasi yuan akan
membuat harga barang ekspor RRT menjadi murah. Logikanya, ini akan menolong
ekspor RRT tumbuh dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi
Negeri Tirai Bambu tersebut. Namun, perlu diingat, devaluasi yuan juga akan
membawa dampak terhadap negara mitra dagang RRT melalui dua hal: efek harga
dan daya saing.
Mitra dagang terbesar
RRT adalah Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). Maka, dapat dibayangkan,
devaluasi yuan akan membuat UE dan AS mengimpor barang yang lebih murah. Jika
porsi impor dari RRT cukup signifikan di kedua negara itu, bisa terjadi
harga-harga akan mengalami penurunan (deflasi)—tentu ini akan bergantung pada
seberapa besar devaluasi yuan. Apabila yuan terus didevaluasi, secara tak
langsung RRT mengekspor deflasi ke negara mitra dagang. Selain itu, devaluasi
yuan akan membuat barang-barang UE kehilangan daya saingnya terhadap produk
RRT. Kombinasi dari kedua hal ini akan mengganggu pemulihan ekonomi UE. Jika
pemulihan ekonomi di UE terganggu, permintaan terhadap ekspor RRT juga tidak
terlalu signifikan.
Kedua, devaluasi yuan
akan membuat dollar AS semakin kuat, yang pada akhirnya akan mengurangi daya
saing AS. Apakah keputusan The Fed akan tertunda dengan langkah RRT? Reinhart
mengatakan tidak. Alasannya, apresiasi terhadap dollar AS, toh, sudah
terjadi. Namun, kita perlu mencatat, salah satu yang menahan The Fed untuk
segera melakukan kenaikan bunga adalah tingkat inflasi di AS yang masih
rendah. Jika langkah devaluasi yuan akan menimbulkan efek deflasi, target
inflasi di AS akan semakin lama tercapai. Karena itu, pada akhirnya kita
harus melihat perkembangan di AS karena keputusan The Fed akan bergantung
pada data. Artinya, ketidakpastian akan terjadi. Dan, semakin lama The Fed
menunda kenaikan bunga, semakin tinggi ketidakpastian pasar.
Ketiga, bagaimana
dampaknya terhadap Indonesia? Jika devaluasi yuan mampu memulihkan ekonomi
RRT, Indonesia akan merasakan manfaatnya. Harga komoditas akan mulai naik,
ekspor Indonesia naik, dan seterusnya. Namun, jika yang terjadi justru RRT
menjadi sumber keguncangan ekonomi global, seperti yang ditulis Soedradjad
Djiwandono dari Rajaratnam School, Singapura, dalam tulisannya di harian ini
(Kompas, 26/8/2015), ekspor
Indonesia tidak akan terbantu. Selain itu, devaluasi yuan akan membuat harga
barang impor ke RRT menjadi mahal dan akan menurunkan permintaan impornya,
termasuk dari Indonesia. Oleh karena itu, terlalu dini untuk menyimpulkan.
Kita harus melihat efek bersihnya (net
effect). Jika dampak positif pertumbuhan ekonomi Tiongkok lebih besar
dibandingkan dampak negatif penurunan permintaan terhadap ekspor Indonesia,
maka ekspor Indonesia akan diuntungkan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya,
ekspor kita tak akan terbantu.
Keempat, apakah
devaluasi yuan akan memicu perang kurs? Sampai saat ini tidak. Mengapa?
Karena dalam jangka panjang kebijakan ini bukanlah solusi yang tepat bagi
RRT. Devaluasi dalam jangka panjang akan mendorong inflasi yang berasal dari
impor (imported inflation) dan akan
mendorong arus modal keluar dari RRT. Karena itu, kebijakan ini mungkin hanya
sementara.
Dari segi ini tak
perlu adanya kekhawatiran yang berlebihan. Namun, jika RRT terus melakukan
langkah ini—karena dianggap belum cukup untuk mendorong ekspornya—maka negara
lain bisa mengambil posisi untuk melakukan hal yang sama. Sejarah mengajarkan
kepada kita, salah satu yang membuat perekonomian global ambruk dalam depresi
besar tahun 1930 adalah beggar thy
neighbor policy, di mana tiap negara membuat nilai tukar mata uangnya
lemah.
Perkuat ekonomi domestik
Empat hal di atas akan
menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan dalam beberapa waktu ke depan.
Di sinilah letak soalnya. Di dalam ilmu ekonomi, salah satu variabel yang tak
bisa sepenuhnya di kendalikan adalah ekspektasi yang tidak rasional.
John Maynard Keynes,
ekonom terbesar abad ke-20, menyebutnya animal
spirits. Intinya, pelaku ekonomi tak hanya bergerak karena didorong oleh
motif ekonomi dan perilaku rasional, tetapi juga perilaku tak rasional,
seperti animal spirits. Dalam situasi yang tak pasti, individu dalam sebuah
kelompok akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola
kelompoknya (herd behavior).
Tindakan ini dilakukan bersama-sama, tetapi tanpa koordinasi.
Kita bisa melihat pola
ini di pasar keuangan. Dalam situasi panik—seperti Black Monday—ketika sebuah
produk keuangan mulai dilepas dan harga jatuh, berduyun-duyun orang akan
menjual produk tersebut, dan itu sering tanpa sepenuhnya memiliki bekal
informasi lengkap. Karena itu, semakin lama ketidakpastian terjadi, dan
semakin lama kenaikan bunga The Fed ditunda, maka semakin tinggi gejolak di
pasar keuangan akibat ekspektasi yang menggantung.
Artinya, tekanan
terhadap nilai tukar di emerging
economies akan bisa menjadi lebih panjang. Di sisi lain, jatuhnya harga
komoditas telah membuat pertumbuhan ekonomi di banyak negara—termasuk
Indonesia—melambat. Dani Rodrik dari Harvard Kennedy School dalam sebuah
diskusi mengingatkan saya bahwa emerging market hanya bisa tumbuh secara
berkelanjutan jika tiga hal dipenuhi, yakni perbaikan kualitas modal manusia,
perbaikan institusi dengan tata kelola pemerintahan, dan peningkatan
produktivitas melalui industrialisasi.
Saya sepakat
sepenuhnya dengan Rodrik, tetapi dalam jangka pendek ada hal yang harus
segera dilakukan. Karena situasi eksternal tak pasti, sumber pertumbuhan
ekonomi Indonesia harus berasal dari domestik. Dalam situasi ekonomi melemah,
yang harus dilakukan adalah kontrasiklus (countercyclical). Kontrasiklus
seperti apa? Bagaimana waktu dan prioritasnya?
Langkah pemerintah
mendorong APBN sudah tepat. Namun, perlu diingat peran dari APBN relatif
terbatas. APBN hanya bisa menjadi pemicu untuk mengembalikan kepercayaan dan
harus diikuti oleh investasi swasta. Oleh karena itu, dalam menggerakkan
APBN, kita harus tahu jenis belanja apa yang dibutuhkan? Bagaimana prioritas
waktunya? Kita jelas sangat membutuhkan infrastruktur. Persoalannya, dalam
enam bulan sampai satu tahun pertama, pembangunan infrastruktur mungkin akan
fokus pada pengurusan izin, pembebasan lahan, atau persiapan proyek. Artinya,
ia belum menciptakan daya beli dan lapangan kerja. Padahal, kita ingin agar
permintaan naik, agar swasta melakukan investasi.
Oleh karena itu, dalam
jangka sangat pendek, belanja pemerintah harus mampu mendorong daya beli
melalui konsumsi rumah tangga sesegera mungkin. Apakah itu? Berikan stimulus
fiskal kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi (marginal propensity to consume/MPC)
yang tinggi. Mereka adalah kelompok menengah-bawah, bukan kelompok atas.
Mengapa? Kelompok menengah-bawah memiliki MPC yang relatif lebih tinggi.
Jika kelas
menengah-bawah memperoleh penghasilan, konsumsi dalam negeri dapat didorong.
Caranya? Perpanjang dan perluas program, seperti transfer tunai atau cash for
work dengan proyek padat karya, misalnya pembangunan jalan desa dan
sebagainya. Nilai proyeknya tak terlalu besar, tak akan mengganggu defisit
transaksi berjalan, tak akan mengganggu defisit anggaran, tetapi efek
bergulirnya besar.
Apa lagi? Mungkin
pemerintah bisa membuat kebijakan, di mana jika perusahaan tak melakukan PHK,
mereka dapat memperoleh insentif pajak. Dengan kebijakan ini, orang tetap
bekerja dan daya beli terjaga. Kebijakan ini kita kenal dengan keep buying strategy. Lalu
kombinasikan ini dengan belanja infrastruktur prioritas.
Apa lagi? Jaga
inflasi. Dan, saya kira, yang paling penting adalah mengelola ekspektasi.
Jangan membuat sinyal yang membingungkan karena sinyal yang salah akan
mendorong animal spirits ke arah yang negatif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar