Moskwa-Damaskus
Trias Kuncahyono ; Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
29 Agustus 2015
Antara Moskwa, Rusia,
dan Damaskus, Suriah, terbentang jarak 2.478 kilometer. Itu berarti hampir
dua kali lipat jarak dari Anyer, Banten, ke Panarukan, Jawa Timur. Banyak
cerita yang mengisi sepanjang jarak itu. Hubungan pertama keduanya dimulai
dengan ditandatanganinya perjanjian rahasia pada 10 Februari 1946. Perjanjian
itu menyatakan Uni Soviet-pendahulu Rusia-memberikan dukungan diplomatik dan
politik pada Suriah di panggung internasional. Soviet juga berjanji membantu
pembangunan tentara nasional Suriah.
Sejak saat itu,
hubungan kedua negara terus berkembang dan semakin erat dan mantap. Soviet
membantu naiknya Hafez al-Assad ke tampuk pemerintahan pada tahun 1971. Dan,
Uni Soviet adalah negara pertama yang dikunjungi Hafez al-Assad. Hal itu
menunjukkan pentingnya arti Uni Soviet bagi Suriah. Apalagi partai yang
berkuasa di Suriah, Partai Ba'ath, memiliki akar sosialis dan hasilnya selama
masa Perang Dingin hubungan kedua semakin erat.
Dekatnya hubungan
kedua negara juga ditandai dengan dibangunnya pangkalan Angkatan Laut Soviet
di Tartus, Suriah. Inilah pangkalan yang menjadi pintu masuk armada laut
Soviet ke Laut Mediterania. Hubungan tersebut bertahan hingga kini ketika
Suriah tengah dicabik-cabik, mula-mula oleh perang saudara dan kemudian
menjadi perang sektarian, serta kini diporakporandakan oleh kelompok
bersenjata yang menyebut dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Melacak kembali
hubungan kedua negara-Suriah tetap menjadi satu-satunya yang konsisten
sebagai sekutu Rusia di Timur Tengah hingga kini-terlihat jelas betapa
penting Suriah bagi Rusia. Yang pertama, tentu karena di Suriah ada pangkalan
Angkatan Laut Tartus. Pemimpin Rusia sendiri, Vladimir Putin, secara jelas
menyatakan bahwa hubungan keduanya merupakan "titik terakhir kehadiran
Rusia pasca Soviet di kawasan." Karena itu, adalah sangat penting bagi
Moskwa untuk mempertahankan hubungan dengan salah satu kawasan paling dinamis
di dunia.
Kini dengan munculnya
NIIS, hubungan Rusia dan Suriah, termasuk mendukung rezim Presiden Bashar
al-Assad, menjadi lebih penting lagi. Moskwa khawatir jika Bashar al-Assad
jatuh, akan terjadi kekosongan kekuasaan di Damaskus dan ini memberi peluang
bagi NIIS untuk berkuasa. Apabila hal itu terjadi, akan membahayakan
keberadaan pangkalan angkatan laut Rusia di Tartus.
Berkuasanya NIIS di
Suriah juga akan memberikan sumbangan kekuatan bagi Kaukasus Utara, bagian
dari Rusia yang ingin memisahkan diri. Sebagian besar penduduk wilayah ini
adalah Muslim Sunni. Moskwa khawatir andai NIIS menguasai Suriah, hal itu
akan memberikan dorongan bagi Kaukasus Utara untuk meningkatkan perlawanan
dan tidak mustahil akan dibantu oleh kelompok bersenjata NIIS.
Karena itulah, langkah
Rusia menggandeng tiga negara Arab-Mesir, Jordania, dan Uni Emirat
Arab-bersama Suriah menghadapi kelompok NIIS adalah langkah tepat demi
kepentingan Rusia. Ketiga negara itu sama-sama tidak menginginkan NIIS makin
meluas dan berjaya. Mesir dan Jordania, misalnya, sudah merasakan sepak
terjang NIIS. Uni Emirat Arab sejak semula bersikap menentang terorisme,
gerakan radikal, dan fundamentalisme. Karena mereka pun bukan tidak mustahil
akan menjadi sasaran serangan NIIS atau kaki-tangannya.
Dengan demikian,
langkah terakhir Rusia ini merupakan usaha untuk memperkuat Aliansi
Moskwa-Damaskus, yang nyaris tidak pernah mati sejak awal mula. Langkah ini,
bisa dikatakan sebagai periode keempat-era Uni Soviet, era pasca Uni Soviet,
era Perang Irak, dan kini era Revolusi Musim Semi Arab-keterlibatan Rusia di
Timur Tengah. Dan, tentu kebijakan luar negeri Rusia atas Timur Tengah
tersebut tidak terlepas dari kebijakan Amerika Serikat atas wilayah yang
sama; yang mulai berbaikan dengan Iran dan sedikit renggang dengan
sekutu-sekutunya di kawasan itu, seperti Arab Saudi.
Dengan demikian, bukan
tidak mungkin langkah Rusia itu akan mendorong AS untuk mereposisi hubungan
dengan sekutu-sekutunya di kawasan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar