Revolusi Mental yang Kian Tergerus
Musa Asy’arie ; Guru Besar FEBI UIN Sunan Kalijaga;
Pembina STIE Solusi Bisnis
Indonesia
|
KOMPAS,
31 Agustus 2015
Ketika Jenderal
Soeharto mengambil alih kekuasaan pemerintahan dari tangan Bung Karno, Soeharto
harus melakukan pembangunan yang diharapkan berbeda dengan pemerintahan lama
yang digulingkannya. Baik dari orientasi ideologi ke orientasi program maupun
dari demokrasi terpimpin ke demokrasi Pancasila.
Saat itu ada dua
pilihan konsep pembangunan. Yang satu diusung Widjojo Nitisastro dengan
pembangunan prioritas ekonomi untuk mengejar angka pertumbuhan yang tinggi.
Yang lain oleh Soedjatmoko dengan pembangunan prioritas manusia dengan fokus
kebudayaan: meningkatkan kualitas melalui pendidikan. Soeharto memilih
gagasan pertama karena lebih jelas dan terukur dan menetapkan Widjojo
Nitisastro sebagai menteri untuk menjabarkan konsepnya.
Setelah 30 tahun
konsep demokrasi Pancasila yang dijabarkan dalam pembangunan prioritas
ekonomi itu dijalankan, kemudian diubah di sana-sini untuk merespons tekanan
politik yang terjadi, ternyata hasilnya: pemerintahan yang otoriter dengan
birokrasi kekuasaan yang korup. Juga kesenjangan dan ketimpangan
sosial-ekonomi-politik yang semakin tajam serta peluruhan karakter bangsa
menjadi pragmatis dan hedonis. Akibatnya, demokrasi Pancasila jatuh dan
Pancasila ikut jadi korban, seolah-olah Pancasila yang salah dan sekarang
gaung Pancasila nyaris tak terdengar lagi.
Setelah rezim Soeharto
jatuh dan beberapa kali terjadi pergantian kepala negara, sejak BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga
sekarang Joko Widodo, ternyata tak terjadi perubahan fundamental pada konsep
pembangunan. Tentu ada perubahan di sana-sini, tetapi tidak fundamental.
Setelah 20 tahun era
reformasi, yang terjadi adalah kegaduhan politik terus-menerus. Partai
politik tumbuh bagai jamur di musim hujan. Partai politik bersukacita karena
kebebasan yang diraih dan—atas nama politik—bisa melakukan apa saja tanpa batas.
Pragmatisme telah membuat kecenderungan mendirikan partai seperti mendirikan
perusahaan dengan modal besar ikut memperebutkan kekuasaan. Setelah menang,
mereka akan berbagi kekuasaan, mengembalikan investasi sekaligus menarik
untung.
Akibatnya, kegaduhan
politik menjadi bisnis untuk mendapatkan bagian kekuasaan pemerintahan, baik
di pusat maupun di daerah. Nepotisme semakin merajalela, pilkada dikapling
keluarga kaya atau konspirasi partai politik dan pemilik modal untuk
memperebutkan kepala pemerintahan di daerah. Nepotisme kian parah karena
suami-istri, orangtua dengan anak, dan kerabat dekatnya menggilirkan
kekuasaan di daerah di antara mereka. Ujung-ujungnya, rakyat kian
termiskinkan. Pancasila mati suri dan hanya menjadi ritual kenegaraan belaka.
Diucapkan, tetapi tidak dikerjakan.
Tergerus ekonomi
Ketika Jokowi
mengusung tema revolusi mental sebagai cara cepat mengubah cara berpikir,
berperilaku, dan sikap mental bangsa dalam mengelola kekuasaan untuk lebih
mementingkan kejujuran, keberpihakan pada rakyat kecil seperti yang
diperlihatkannya melalui kegiatan blusukan, rakyat menyambut dengan
antusiasme tinggi. Dan, Jokowi menang, lalu dilantik menjadi presiden.
Setelah 10 bulan
menjalankan pemerintahan, Jokowi dihadapkan pada problem berat ekonomi,
seperti kurs rupiah yang semakin melemah, harga pangan termasuk daging yang
naik, pertumbuhan ekonomi yang melambat, kesenjangan yang makin tinggi, dan
perombakan kabinet dengan mengganti Menko Perekonomian. Artinya, pemerintahan
Jokowi tetap meletakkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas.
Karena itu, yang
sebenarnya terjadi adalah paradoks yang besar antara prioritas pembangunan
ekonomi dan revolusi mental yang diusung. Revolusi mental pada dasarnya
adalah mengubah pola berpikir dan berperilaku yang revolusioner untuk
kepentingan rakyat. Mental itu di kepala dan di dada, bukan di perut dan di
bawah perut. Sementara dalam ekonomi, yang utama adalah memenuhi kebutuhan
perut.
Bagaimana akan terjadi
revolusi mental kalau yang diprioritaskan pembangunan untuk kebutuhan perut,
padahal mental tak ada di perut. Kalau kita akan melakukan revolusi mental,
tak ada jalan kecuali melakukan revolusi berpikir dan revolusi pembangunan
berkarakter, bukan revolusi kebutuhan perut. Revolusi mental hanya bisa
berjalan kalau pemerintahan lebih mengarusutamakan pendidikan dan kebudayaan
bangsa, bukan ekonomi dengan segala implikasinya.
Dalam pengalaman kita
melakukan prioritas pembangunan ekonomi selama ini, ternyata pembangunan
ekonomi terkendala terutama oleh kebudayaan bangsa. Benarlah Koentjaraningrat
yang sudah mengingatkan kita sejak Orde Baru bahwa pembangunan ekonomi akan
terhambat dan terkendala sikap mental bangsa kita sendiri. Sikap mental dalam
mengelola kekuasaan dengan egoisme pribadi penguasa, yang kemudian melahirkan
egoisme sektoral. Sikap mental yang tak menghargai waktu, sikap mental
mendapatkan kekayaan secara instan dengan jalan pintas, dan semuanya ternyata
dipengaruhi kebudayaan.
Belum merdeka
Setelah 70 tahun
merdeka, sikap mental kita belum sepenuhnya merdeka sebab penjajahan ekonomi
dan ketergantungan pada produksi luar negeri terus menguat. Lihatlah, dari
bangun tidur sampai tidur lagi, yang kita pakai produksi luar negeri meskipun
perusahaan mereka ada di negeri sendiri. Revolusi mental akan berjalan jika
kita mengubah prioritas perut pada prioritas kepala dan dada. Kalau tidak,
revolusi mental akan digerus prioritas pembangunan ekonomi.
Revolusi mental harus
dilaksanakan dengan mengubah pembangunan prioritas ekonomi ke prioritas
pembangunan manusia. Mengubah sasaran dari perut ke sasaran dada dan kepala.
Atau, kalau tak bisa, revolusi mental harus dapat membingkai tiap tahap dari
pembangunan ekonomi sehingga perencanaan dan pelaksanaannya dapat bersamaan
dengan pembangunan mental para pelakunya. Hal ini agar pembangunan ekonomi
tak menciptakan kesenjangan yang makin tinggi, tak merusak lingkungan,
mengarusutamakan pemakaian produk dalam negeri, dan dapat mencerdaskan
kehidupan bangsa: adil dan makmur.
Jika ini tak bisa juga
dilaku- kan, revolusi mental akan tergerus prioritas perut dan kita akan
terjebak dalam konflik sosial berbasis perut, vulgar, dan dapat mengancam
eksistensi NKRI itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar