Gejolak Harga Pangan
Khudori ;
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat
|
KORAN
SINDO, 26 Agustus 2015
Belum genap dua
pertiga jarum jam tahun 2015 dijalani, negeri ini kembali dirundung gejolak
harga pangan. Setelah gonjang-ganjing harga beras di awal tahun, kini
kenaikan harga serupa menimpa daging sapi dan daging ayam.
Sebaliknya, petani
tomat menjerit karena harga jatuh akibat panen melimpah. Dalam beberapa bulan
ke depan, gonjang-ganjing bakal terjadi pada gula, cabe, kedelai, bawang
merah dan entah apalagi. Rutinitas ini seperti penyakit menahun:
timbul-tenggelam, tergantung momentumnya.
Tak terhitung sumber
daya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga dan biaya besar untuk
mengatasi hal-hal rutin yang mustinya bisa diselesaikan dengan cara cerdas.
Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya sudah dikenali dengan baik oleh
pemerintah. Oleh karena itu, semestinya penanganannya jauh lebih mudah.
Pertanyaannya, mengapa masalah ini selalu berulang? Ini terjadi karena
pemerintah tidak pernah mau menyentuh akar persoalan.
Solusi yang dilakukan
hanya mencapai level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi
pasokan. Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi
pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi
macet, dan ada pelaku dominan dan pemburu rente yang berulah nakal. Penyebab
instabilitas harga pangan bersifat struktural.
Tanpa menyentuh
masalah struktural itu, instabilitas selalu berulang. Pertama, dominasi
orientasi pasar kebijakan pangan. Banyak komoditas pangan, termasuk daging
sapi dan daging ayam, diserahkan pada mekanisme pasar. Kalaupun diatur hanya
waktu dan kuota impor. Orientasi ini tak salah kalau infrastruktur sudah
baik, petani sejahtera, dan pendapatan konsumen sudah pejal pada guncangan
pasar. Kenyataannya, ketiga persyaratan itu belum terpenuhi.
Kedua, konsentrasi
distribusi sejumlah komoditas pangan di tangan segelintir pelaku. Orientasi
pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga. Jalur
distribusi yang konsentris dan oligopoli ini terjadi pada dua sumber pasokan
pangan: produksi domestik dan impor. Ini terjadi hampir pada semua komoditas
yang volume dan nilai impornya amat tinggi seperti gandum, gula, kedelai,
beras, jagung, daging, tak terkecuali bawang (putih).
Bisnis impor ini
bahkan sudah menjadi political rent-seeking. Ketiga, instrumen stabilisasi
amat terbatas. Sejak Bulog mengalami “setengah privatisasi” menjadi perum,
praktis kita tidak memiliki badan penyangga yang memiliki kekuatan besar
menstabilkan pasokan dan harga pangan. Bulog yang dulu amat perkasa, mengurus
enam pangan pokok dan mendapatkan berbagai privilege kini semua itu telah
dipreteli.
Kini Bulog hanya
mengurus beras, itu pun dengan kapasitas terbatas. Cadangan beras yang
dikelola Bulog pun amat kecil, rata-rata antara 4-5%. Dengan kondisi seperti
itu, Bulog tidak memiliki kapasitas besar untuk mengintervensi pasar saat
terjadi gejolak. Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak Kementerian
Negara Urusan Pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang
bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan dan mengarahkan pembangunan
pangan.
Otonomidaerahmembuatproduksi
pangan domestik diurus daerah. Padahal elit daerah tak menjadikan pertanian
dan pangan sebagai driver pencitraan. Bahkan, peta jalan swasembada pangan
dari pusat diterjemahkan beragam oleh daerah. Mustahil berharap inovasi
pembangunan pertanian-pangan lahir dari daerah. Ini semua memperparah kinerja
produksi pangan domestik.
Hasil akhir jalinan
empat faktor itu membuat kinerja produksi pangan domestik merosot diiringi
melonjaknya pangan impor. Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai,
beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan dan
bawang putih. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100% untuk gandum, 78%
kedelai, 72% susu, 54% gula, 30% daging sapi, dan 95% bawang putih.
Sebagian besar diimpor
dari negara- negara maju. Belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu
menurun. Untuk mengurai berbagai problem struktural itu diperlukan sejumlah
kebijakan. Pertama, meningkatkan produksi, produktivitas, dan efisiensi usaha
tani dan tata niaga komoditas pangan di hulu. Untuk pangan tropis berbasis
sumber daya lokal, tak ada alasan untuk tidak swasembada.
Kebijakan ini harus
ditopang perluasan lahan pangan, perbaikan infrastruktur (irigasi, jalan,
jembatan), pembenahan sistem informasi harga, pasar dan teknologi. Dalam
batas tertentu, kinerja produksi pangan yang baik bisa menekan dampak buruk
sistem perdagangan dan tata niaga yang tidak efisien, konsentris dan
oligopolis. Kedua, menentukan jenis dan jumlah pangan obyek stabilisasi.
Lewat Perpres No
71/2015 sebagai turunan UU Perdagangan No 7/2014, pemerintah menetapkan 11
jenis barang kebutuhan pokok (beras, kedelai bahan baku tahu/ tempe, cabe,
bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam
ras, telur ayam ras, ikan segar (bandeng, kembung dan tongkol/tuna/cakalang);
dan 7 jenis barang penting (benih (padi, jagung, kedelai), pupuk, gas elpiji
3 kg, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.
Namun, aturan ini
tidak mengatur jenis dan jumlah pangan obyek stabilisasi. Terkait
stabilisasi, satu prasyarat penting adalah stok/cadangan. Di Pasal 3
Peraturan Pemerintah No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi cadangan
pangan terbagi tiga level: pemerintah pusat, daerah dan desa.
Cadangan hanya ada
pada Pangan Pokok Tertentu, yakni pangan yang diproduksi dan dikonsumsi
sebagian besar warga Indonesia yang bila ketersediaan dan harganya terganggu
dapat memengaruhi stabilitas ekonomi dan menimbulkan gejolak sosial di
masyarakat. Jenis Pangan Pokok Tertentu ini harus ditetapkan Presiden, dan
jumlah cadangan ditetapkan Kepala Lembaga Pemerintah.
Hampir bisa
dipastikan, jenis Pangan Pokok Tertentu ini tidak akan jauh dari 11 kebutuhan
pokok yang diatur Perpres No 71/2015. Jika benar demikian, agar pengelolaan
pangan efektif setidaknya diperlukan dua langkah. Pertama, Presiden segera
menetapkan jenis Pangan Pokok Tertentu yang diatur cadangannya. Kedua, segera
menunaikan pembentukan kelembagaan pangan, seperti amanat Pasal 126-129 UU Pangan.
Kemudian kepala
lembaga ini menetapkan jumlah cadangan Pangan Pokok Tertentu. Bulog bisa jadi
tangan kanan lembaga ini dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga.
Lembaga baru ini nantinya bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan,
dan mengarahkan pembangunan pangan. Didukung anggaran memadai, sepertinya tak
berlebihan berharap stabilisasi pangan memasuki rezim baru, dan gejolak harga
pangan jadi cerita masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar