Pendekar Linglung Bernama Rupiah
Ronny P Sasmita ;
Analis Ekonomi Politik di Financeroll
Indonesia
|
JAWA
POS, 14 Agustus 2015
BANK Sentral Tiongkok atau People Bank of
China (PBoC) menabuh ’’genderang perang’’ dengan mengumumkan kebijakan
pemotongan nilai mata uang (devaluasi) yuan sampai 2 persen pada 11-12
Agustus 2015. Kebijakan PBoC itu terbilang tiba-tiba setelah bursa Tiongkok
tiarap sampai 30 persen beberapa waktu lalu.
Dengan devaluasi 2 persen, mata uang Tiongkok
mendadak menjadi CNY 6,2298 per dolar Amerika Serikat (USD) pasca pengumuman
kebijakan. Menurut data Bloomberg Internasional, devaluasi tersebut merupakan
penurunan nilai tukar terbesar Negeri Panda sejak 1994. Bahkan, pada krisis
global Desember 2008, yuan hanya terdepresiasi 0,7 persen.
Devaluasi yuan langsung memukul beberapa bursa
utama dunia. Misalnya, bursa Eropa yang mengawali perdagangan di zona merah
pada dua hari tersebut. Saham-saham perusahaan otomotif merosot tajam
terseret sentimen devaluasi yuan. Begitu pula bursa emerging market, terutama
Asia dan Wall Street. Keduanya mengawali dan menutup sesi perdagangan dengan
kekhawatiran yang mendalam.
Saya kira, respons negatif dari bursa Eropa,
misalnya, merupakan reaksi yang cukup beralasan. Pasalnya, Tiongkok merupakan
pasar empuk bagi industri otomotif dan manufaktur Eropa. Devaluasi yuan akan
membuat ekspor Tiongkok kompetitif di satu sisi, namun akan membuat ekspor
Zona Eropa terkapar karena kehilangan daya saing karena pelemahan yuan.
Lebih jauh, pemulihan Zona Euro diperkirakan
semakin tersendat. Sementara itu, kebijakan devaluasi tersebut juga
berpotensi membuat The Fed menunda kenaikan tingkat suku bunga pada September
mendatang. Imbas pahitnya, kombinasi faktor-faktor itu akan mengirimkan
sinyal ketidakpastian kepada pasar yang memang telah dibuat gonjangganjing
secara berkepanjangan lantaran naik turunnya ekspektasi kenaikan suku bunga
The Fed sejak awal tahun.
Pengaruhnya terhadap emerging market tentu
akan sangat besar. Sebut saja, penguatan ekonomi Tiongkok akan memicu
kenaikan ekspor Indonesia ke Tiongkok. Namun, dengan devaluasi yuan, justru
bisa terjadi serangan balik kepada perekonomian Indonesia. Sebelum devaluasi
yuan, produk Tiongkok sudah menyerbu tanah air. Tentu bisa dibayangkan jika
devaluasi itu benar-benar membangkitkan energi ekspor Tiongkok, aliran produk
dari Negeri Panda tersebut akan semakin deras membanjiri tanah air.
Sementara itu, nilai tukar rupiah turun lebih
dari 0,42 persen ke level Rp 13.700-an per dolar AS setelah devaluasi kedua
diumumkan. Para analis yakin kondisi itu hanya bersifat sementara.
Namun, saya kira efeknya juga bisa destruktif
dan berkelanjutan. Sebab, pada dasarnya, setiap negara ingin mempertahankan
daya saing sehingga mereka akan melakukan competitive devaluation.
Nah, jika hal itu sampai terjadi, ada risiko
lanjutannya, yakni currency war ( perang mata uang). Kondisi tersebut
diprediksi membawa nilai tukar rupiah terus melemah dan memunculkan
ketidakpastian di pasar.
Selain itu, tarik ulur kenaikan tingkat suku
bunga The Fed, AS, telah menghantui pelemahan rupiah pada waktu sebelum
diumumkannya devaluasi mata uang yuan. Ketidakpastian The Fed itu telah
menyeret rupiah dari Rp 13.000 ke level Rp 13.500 per dolar AS dan mendadak
melesat ke level Rp 13.700-an per dolar AS pasca kebijakan PBoC.
Data-data ekonomi makro Amerika kian hari kian
kinclong. Angka keramat yang dipatok The Fed (2 persen inflasi dan 5 persen
pengangguran) sudah hampir tercapai, walau belum benar-benar tercapai secara
harfiah. Namun, secara psikologis, para pelaku ekonomi AS cenderung berharap
datangnya kebijakan pengetatan moneter alias kenaikan tingkat suku bunga The
Fed karena dinilai waktunya telah tiba.
Jikapun kebijakan kenaikan akan tertunda
akibat devaluasi yuan, ketidakpastian akan terus menghantui ekonomi emerging
market dan Indonesia sampai kebijakan itu benar-benar diambil. Buktinya telah
terlihat nyata sejak awal tahun ini.
Hanya bermodal ekspektasi kenaikan tingkat
suku bunga saja, rupiah bisa terus dibuat tidak berdaya dan bertahan di atas
level Rp 13.000 tanpa tanda-tanda untuk kembali ke bawah.
Ekspektasi itu berpadu dengan kinerja ekonomi
nasional yang jauh dari prestatif. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama dan
kedua tidak memperlihatkan iktikad baik untuk menyapa angka 5 persen. Inflasi
kian mengkhawatirkan.
Ekspor terlihat membaik, tetapi faktanya hanya
pergeseran angka dari penurunan impor sehingga menghasilkan nominal impor
yang terlihat kinclong untuk kinerja impor. Karena itu, tidak heran jika
rupiah tampak ’’ogah’’ untuk melorot turun.
Pelemahanrupiahyangterlalutajam tentu akan
memukul sektor produksi dan konsumsi domestik lantaran exposure impor
Indonesia terhadap barang modal dan bahan impor tergolong cukup besar.
Peningkatan biaya produksi dan kenaikan hargaharga barang konsumsi akan
menjadi lanjutannya dan mengerek tingkat inflasi serta membuat pertumbuhan
yang memang sudah tipis menjadi semakin kurang produktif.
Inilah yang membuat perlawanan rupiah terhadap
tekanan-tekanan global ibarat jurus pendekar silat yang linglung, teringat
jurus setelah dibuat babak belur oleh lawan tanding.
Apakah jawabannya ada di sisi politik? Seperti
reshuffle yang baru saja diinisiatori istana? Tidak ada yang benar-benar
mengetahui, kecuali menunggu sampai fakta itu datang. Apakah sang pendekar akan
berjaya atau semakin babak belur? Semoga saja tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar