Judil dan Malari
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
29 Agustus 2015
Satu lagi buku menarik
tentang Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) telah terbit, berjudul Biografi
Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba. Judil menduduki posisi Ketua
Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI) ketika ditangkap Orde Baru
(Orba) karena didakwa terlibat Malari.
Seperti halnya
biografi, buku ini bercerita tentang sosok Judil yang dikenal sebagai aktivis
politik sejak mahasiswa sampai kini. Ia konsisten mengkritisi Orba tidak
hanya saat menimba ilmu kedokteran di UI, tetapi juga setelah itu melalui
Petisi 50.
Risiko dan penderitaan
yang ditanggung Judil bukan main! Ia bukan cuma dipenjara atau dibuntuti
aparat intelijen ke mana pun pergi, lisensi praktiknya sebagai dokter pun
dicabut.
Judil membuat gempar
panggung politik ketika mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1978 menjadi
pesaing Presiden Soeharto. Bersama dengan sejumlah tokoh anti Orba, Judil
melanjutkan kiprah politik dengan mendirikan Partai Ummat Islam tahun 1998.
Sejak Malari sampai
kini, Judil berhasil mencatatkan diri sebagai aktivis/politisi yang tidak
"menjual diri" yang terus berupaya menjaga integritas. Seperti
salah satu bab biografinya, Judil adalah "Anak Tentara Besar di Sekolah
Katolik dan Menjadi Aktivis HMI".
Nah, latar belakang
politik terjadinya Malari sampai kini masih gelap. Kerusuhan itu memakan
korban 11 orang tewas, 685 mobil hangus, 120 toko hancur dan rusak, serta 128
korban luka berat dan ringan.
Proyek Senen yang kala
itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar habis. Petang hari,
Proyek Senen hangus dilalap api yang tak pernah padam sampai esok paginya.
Penjarah menghabisi Proyek Senen sampai ludes. Mereka mencuri perhiasan emas
dan permata, barang elektronik, sampai pakaian atau mebel.
Peristiwa berawal dari
apel ribuan mahasiswa dan pelajar dari Kampus UI di Jalan Salemba menuju
Kampus Universitas Trisakti di bilangan Grogol pada tengah hari. Di situ
mahasiswa dan pelajar memaklumatkan Apel Tritura 1974, yang meminta
pemerintah menurunkan harga-harga, membubarkan lembaga Aspri (Asisten
Presiden), dan menggantung koruptor-koruptor.
Setelah apel bubar,
mahasiswa dan pelajar itu membakar patung Perdana Menteri Jepang Kakuei
Tanaka. Lalu, mereka menuju ke Istana dan coba menerobos masuk. Istana ketika
itu menjadi tempat pertemuan Presiden Soeharto dan PM Tanaka, yang bertamu
sejak 14 Januari 1974.
Entah siapa yang
memulai, demonstrasi murni anti dominasi ekonomi Jepang itu berubah menjadi
kerusuhan massal. Di berbagai jalan protokol, puluhan mobil dibakar massa.
Gedung Astra di Jalan
Jenderal Sudirman rusak berat dilempari berbagai macam benda. Kerusuhan juga
terjadi hampir di sepanjang Jalan Gajah Mada serta Jalan Hayam Wuruk. Di daerah
bisnis Glodok, banyak para pengendara harus rela menyaksikan kendaraan mereka
dirampas, dirusak, sampai dibakari warga. Jakarta jadi wilayah tak bertuan
dan, seperti biasa, warga Tionghoa yang tak bersalah menjadi korban amok.
Aparat keamanan baru mampu
mengendalikan keadaan sekitar waktu maghrib. Pemerintah segera memberlakukan
jam malam. Pada 16 Januari, kobaran api dan asap masih terlihat di beberapa
wilayah Ibu Kota. Namun, situasi dengan cepat kembali normal 17-18 Januari
1974 sehingga aturan jam malam dikurangi.
Bukan cerita baru
Malari meletus akibat persaingan antara Wapangab/ Pangkopkamtib Jenderal
Soemitro dengan Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Bidang Khusus Mayjen Ali
Moertopo. Tanggal 2 Januari 1974, Soemitro bersama Ali dan Kepala Bakin
Letjen Sutopo Juwono menemui Presiden Soeharto di Jalan Cendana untuk
membantah mereka terlibat persaingan.
Selesai pertemuan,
Soemitro kepada para wartawan membantah dirinya berniat melancarkan makar
terhadap Soeharto. "Kalau terus-terusan begini, seolah-olah Pak Mitro
akan mengadakan makar. Ini orang dua diadu terus. Soemitro, Ali Moertopo,
calon-calon presiden. Apa-apaan ini...," kata Soemitro sambil menunjuk
Ali.
Rumor tentang rencana
makar oleh Soemitro sebenarnya sudah beredar setahun sebelum Malari meletus.
Ia sering berkunjung ke kampus-kampus di Jawa dan mengintrodusir pernyataan
tentang kepemimpinan nasional yang dianggap membahayakan kekuasaan yang sah.
Terlepas dari
kebenaran rumor makar oleh Soemitro, suasana politik sudah telanjur
"membusuk" beberapa tahun sebelum terjadi Malari. Tewasnya
mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Rene Louis Conrad, dalam
"konfrontasi" mahasiswa melawan ABRI pada September 1970 merupakan
salah satu insiden politik yang penting.
Masyarakat muak
menyaksikan Golkar memulai kebiasaan bermain curang untuk memenangi secara
mutlak Pemilu 1971. Kerusuhan di Bandung pada Agustus 1973 menjadi awal
kemunculan sentimen anti Tionghoa.
Setelah meletusnya
kerusuhan Malari, lebih dari 50 pemimpin lembaga kemahasiswaan serta para
cendekiawan ditangkap. Beberapa surat kabar nasional diberedel.
Sempat beredar kabar
seram mantan Ketua MPRS Jenderal (Purn) AH Nasution pun akan ditangkap, gosip
yang tak menjadi kenyataan. Setelah Malari, Soeharto tetap berdiri tegak.
Jenderal demi jenderal, demonstrasi demi demonstrasi, tak mampu
menggoyahkannya.
Pelajaran dari Malari:
selalu ada pihak-pihak yang mengail di air keruh demi kekuasaan. Mereka tega
meletuskan kerusuhan massal, tak peduli dengan kerugian nyawa ataupun harta
yang biasanya hanya ditanggung rakyat biasa.
Dalam acara peluncuran
biografi Judil, Kamis (27/8), di Jakarta, aktivis yang juga dipenjarakan
karena Malari, Rahman Tolleng, menyebut Judil tokoh anomali karena sikapnya
idealistis. "Idealisme bagai seonggok debu di atas batu yang akan hilang
ditiup angin. Tapi, Judil tidak. Ia tidak kenal menyerah memperjuangkan
idealisme sampai era pasca Reformasi," ujar Tolleng.
Cuma sedikit aktivis
atau politisi yang menempuh "jalan yang jarang dilalui" (the road less traveled) yang butuh
panduan moral dan stamina batin yang tak mudah ditundukkan kekuasaan. Kita
lebih banyak menjumpai aktivis dan politisi yang menempuh jalan semrawut dan
berisik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar