Pingpong
Toriq Hadad ; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 30 Agustus 2015
Kejuaraan pingpong yang digelar Tempo dan
Universitas Terbuka (UT) pekan lalu berlangsung meriah, lancar, dan sukses.
Pesertanya saja lebih dari 500 orang. Meja-meja pertandingan sudah dilipat.
Lampu gedung konvensi UT yang megah di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, itu
pun telah dipadamkan. Tapi saya justru mulai sedih.
Tentu bukan karena tim saya, Tempo, kalah
telak. Saya pedih mendengar keluh-kesah atlet, dari pelajar sampai nasional.
Semua melihat masa depan tenis meja kita suram. Mengapa? Persatuan Tenis Meja
Seluruh Indonesia ternyata ada dua atawa ganda. Sejak 2013, ada dua ketua,
juga dua kepengurusan, yang sama-sama merasa berhak mengatur tenis meja kita.
Pasti kolom ini tak cukup untuk menampung
debat alasan dua ketua itu-Marzuki Alie, mantan Ketua DPR, dan Oegroseno,
mantan orang nomor dua di kepolisian. Tapi setiap kali induk organisasi
olahraga pecah, korbannya sama saja: atlet. Hal itu juga yang terjadi ketika
kepengurusan sepak bola terbelah antara kubu Djohar Arifin (PSSI) dan La
Nyalla Mattalitti (KPSI). Nama yang terakhir ini sekarang menjadi Ketua Umum
PSSI, organisasi yang sedang dibekukan pemerintah.
Pertikaian pengurus membuat atlet-mereka yang
menjadikan olahraga sebagai profesi dan ajang mencari penghidupan-telantar.
Ada atlet tenis meja yang berlatih keras delapan bulan menjelang SEA Games,
tapi tiba-tiba diganti pemain yang dijagokan pengurus "kubu yang
lain" hanya empat hari menjelang berangkat bertanding. Like and dislike
dalam penunjukan pemain menjadi-jadi. Pembinaan pun praktis macet. Jadwal
turnamen di dalam negeri bertabrakan. Kompetisi tingkat nasional
terbengkalai. Dengan adanya kekacauan seperti ini, atlet mana yang masih mau
mempertaruhkan masa depannya?
Pemerintah sejak dulu tak pernah serius
mengurus olahraga. Pada zaman Soeharto dulu, hampir setiap menteri
"ditugasi" menjadi pemimpin induk organisasi olahraga. Si menteri
tak perlu syarat pernah menjadi pemain di cabang yang dipimpinnya, atau bisa
memainkan olahraga itu, bahkan tak harus mengerti cara menghitung kemenangan
dalam cabang itu. Begitu Soeharto merestui, maka jadilah dia ketua.
Ada yang berbeda dengan sekarang. Pada masa
Soeharto itu, si ketua sangat gampang menggalang dana. Perusahaan mana pula
yang berani menolak menyumbang pada masa itu? Harus pula diakui, ada tokoh
yang benar-benar mencintai olahraga yang dipimpinnya. Bob Hasan, orang dekat
Soeharto itu, begitu habis-habisan mencurahkan perhatian untuk mengurus atletik.
Prestasi cabang atletik pada masa itu tak terlalu mengecewakan.
Sekarang ini pendekatan kekuasaan dalam
mengurus olahraga sudah ketinggalan zaman. Budaya "injak kaki" agar
pengusaha mau menyumbang olahraga sudah sangat sulit dilakukan. Ada banyak
saluran untuk protes. Inilah hikmah demokrasi. Saking demokratisnya negeri
ini, sampai-sampai seorang menteri koordinator pun merasa boleh-boleh saja
menantang wakil presiden berdebat.
Pengurus induk olahraga zaman sekarang mesti
punya kemampuan menjual yang tinggi. Olahraga harus dikemas sebagai paket
bisnis menarik sehingga memancing kerumunan orang datang. Kerumunan, bahasa
gaulnya crowd, merupakan alasan pengusaha mengucurkan dana promosi besar.
Marzuki Alie, Oegroseno, pastilah memahami
kiat marketing ini. Kalau begitu, salah satunya layak menjadi ketua, agar
nasib atlet tak kesana-kemari seperti bola pingpong. Jalur hukum panjang
berliku. Bagaimana kalau urusan pingpong diselesaikan di meja pingpong?
Keduanya bertanding, disiarkan secara live di televisi. Yang menang pasti
lebih "dekat" dengan pingpong, maka dialah yang lebih pantas
menjadi ketua. Setuju? Deal? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar