Remisi Agustusan
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 22 Agustus 2015
Saya masih terpesona
dengan kehebatan bulan Agustus, yang kalau tidak malu-malu akan saya tulis
seminggu sekali. Karena semangat Agutusan—begitu masyarakat menyebut kegiatan
di bulan Agustus, tak cukup ditulis sekali dua. Kali ini yang menyangkut
dengan kaitan pemberian remisi, terutama untuk kasus korupsi, untuk
koruptornya. Remisi, pengurangan hukuman yang diberikan kepada orang yang
menjalani hukuman, biasanya diberikan setiap 17 Agustus. Besaran remisi,
sekitar satu bulan, atau 30 hari, setelah menjalani masa hukuman selama satu
tahun. Menjadi besar jika telah menjalani masa hukuman 5 tahun atau lebih
yang artinya bisa 5 bulan.
Dengan kegeraman pada
koruptor, banyak usulan agar remisi tidak diberikan pada kasus korupsi. Dalam
pemberitaan kemaren banyak tokoh masyarakat yang dikenal sebelumnya, yang
karena kasus korupsi tidak menerima remisi. Meskipun kelihatannya tidak semua
mengalami nasib demikian.
Dan kalau saya
menyetujui diberikan remisi, terutama sekali karena kemuliaan bulan
kemerdekaan tidak terhalangi oleh sikap memusuhi. Karena demikian mulia
sehingga bahkan koruptor, yang paling dimusuhi, dan memang pantas, tetap
memperolehnya. Bahkan ketika sudah tak ada lagi yang simpati padanya, berkah
Hari Merdeka masih bisa dirasakan. Sekali lagi yang saya maksudkan adalah
remisi 17 Agustus, dan bukan remisi pada hari besar keagamaan. Pun besaran
remisi 17 Agustus, sebesar satu bulan setiap tahun. Itu juga masih harus
dengan syarat utama: selama satu tahun itu narapidana korupsi bersikap baik
dan melakukan pelanggaran. Syarat ini menjadi penting dan tidak
menjamin—sebenarnya napi kasus apapun—pasti menerima remisi. Tidak otomatis
dan tidak dengan sendirinya.
Dan kalau kita mau
memperhatikan, sebenarnya persyaratan ini tak kurang dilakukan dengan baik.
Padahal tujuan pemberian remisi adalah merupakan instrumen bagi narapidana
untuk bersikap lebih baik, karena mematuhi aturan dan terutama mengakui
kesalahan. Ini yang minggu lalu saya sebutkan sebagai penuntun untuk berbuat
baik, dan menjaga diri berkelakuan sesuai dengan peraturan yang ada. Pada
saat yang sama juga mengurangi jumlah penghuni sehingga tidak over load,
tidak kelebihan beban, yang selalu menjadi keluhan klasik. Tuntutan untuk
berbuat baik dan mendapatkan “hadiah” berupa pengurangan hukuman— yang adalah
“nyawa kedua”—pada saatnya nanti tetap positif ketika terjun kembali ke
masyarakat.
Dan dengan demikian
tujuan dari pemenjaraan, atau kadang diartikan sebagai penjeraan, bisa
tercapai. Tanpa dibebani dengan semangat dendam, semangat “tidak memaafkan”.
Seakan dengan memberi remisi, kita semua ini menjadi lembek, menjadi lemah,
menjadi pelupa.
Padahal masalahnya
barang kali justru ketika peraturan itu dipermainkan, ketika persyaratan
memperoleh remisi dijual-belikan, ketika kelonggaran dan atau keistimewaan
diberikan kepada napi tertentu, ketika itulah kita menjadi lembek, kita
bahkan sama jahatnya dengan yang kita nilai penjahat. Dan itulah sebenarnya permasalahan
yang setiap kali terjadi. Bukan sekadar remisi itu pantas diberikan karena
tindak kejahatannya, melainkan apakah ia pantas mendapatkan remisi atau
tidak.
Dan senyampang masih
bulan Agustus, biarkan berkahnya ini membuka mata batin kita menjadi lebih
jernih, lebih fasih menilai. Kita juga menjadi lebih baik karenanya, seperti
yang harapkan terjadi pada para napi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar