Polling untuk Calon Tunggal Pilkada
Rachmah Ida ;
Dosen Komunikasi Politik FISIP Unair,
Research Fellow di The University of Western Australia (UWA) Perth
|
JAWA
POS, 08 Agustus 2015
POLEMIK pilkada (pemilihan umum kepala daerah)
serentak dan munculnya calon tunggal di tujuh kota dan kabupaten di tanah
air, barangkali, tidak pernah terpikirkan oleh pembuat kebijakan, elite
politik, dan masyarakat Indonesia. Dalam benak pembuat kebijakan kala itu,
barangkali yang terpikirkan hanya pemilihan serentak akan membawa efisiensi
dana dan energi pelaksanaan tugas kenegaraan.
Pilkada serentak diidealkankan bakal membawa
perbaikan bagi sistem politik di Indonesia. Pilkada serentak diharapkan juga
menjadi pembelajaran proses demokrasi yang lebih baik bagi negara, elite
politik, dan masyarakat sipil. Tapi, siapa sangka yang terjadi kini justru
menimbulkan masalah baru?
Kondisi chaos, bermasalah, adalah hal lumrah
dalam setiap proses transformasi sosial politik. Faktanya, mimpi membangun
negara demokrasi yang ideal dan menyejahterakan rakyatnya tak berjalan mulus
dan damai.
Sejarah membangun tata pamong, karakter
bangsa, dan nasionalisme yang digagas oleh para pendiri bangsa barangkali
sudah berkali-kali kita baca dan pahami. Benedict Anderson (1992) menuliskan
bahwa bangsa adalah komunitas terbayang ( imagined community) yang terbangun
melalui berbagai simbol, landscape, kebiasaan, dan lain-lain yang dirasakan
sama, dan didukung print-capitalism seperti surat kabar. Maka, sama halnya
rasa kebangsaan, proses berdemokrasi juga ada karena disatukan perangkat
material tersebut.
Impian menjadi lebih baik selalu menjadi
spirit para ”pemimpin baru” republik ini. Muaranya adalah membawa negara dan
bangsa ini menjadi lebih tertata dan berpranata seperti negara-negara Barat
yang sistem demokrasinya dilihat lebih ideal dan pantas dicontoh.
Persoalan mendasar yang sering kali dilupakan
dalam proses imitasi ini adalah perbedaan signifikan aspek kultur dan
karakter budaya dalam masyarakat kita yang berbeda dari negara Barat yang
dicontoh itu. Karakter dan budaya masyarakat yang tidak bisa didefinisikan
dan diidentifikasi secara sepihak oleh penguasa atau oleh kelompok yang
merasa berkuasa inilah yang sebenarnya menentukan perikehidupan bangsa ini.
Rakyat barangkali tidak paham dengan perubahan
sistem politik yang terjadi. Apa itu pilkada serentak, bagaimana modelnya,
mengapa ada, dan mengapa hanya ada calon tunggal? Barangkali hanya sebagian
rakyat yang paham, terutama mereka yang berpendidikan (walaupun belum tentu
semuanya juga memperhatikan dan mengikuti), kaum kelas menengah yang
well-acknowledged dengan politik, atau rakyat yang tahu hak dan kewajibannya
sebagai warga negara, atau kalangan yang peduli dengan transformasi dan
perubahan sistem dan proses politik di tanah air ini.
Polling Suara Rakyat
Dalam sistem demokrasi di negaranegara Barat,
baik soal pelaksanaan sistem demokrasi maupun penentuan dan pemilihan
pemimpin, ada satu kebiasaan yang menjadi salah satu alat demokrasi, yaitu
penggunaan polling atau jajak pendapat.
Polling dipakai sebagai salah satu metode
menjaring asprasi rakyat tentang apa pun. Tentang perlu tidaknya perubahan,
penting tidaknya sebuah wacana, setuju tidaknya sikap rakyat terhadap suatu
hal, dan sebagainya. Polling juga dipakai untuk menjaring suara rakyat
tentang siapa pemimpin yang disukai atau tidak disukai, siapa yang dianggap
pantas, serta tingkatan persentase dukungan rakyat terhadap pemimpinnya.
Polling adalah cara yang lebih cepat dan
relatif akurat mengetahui secara kuantitatif suara mayoritas numeric
(berdasar hitungan angka) terhadap wacana yang kontroversial pro dan kontra,
suka dan tidak suka, dan yang banyak namanya disebut dan tidak disebut.
Di Indonesia, polling sudah digunakan dalam
berbagai pemilihan pemimpin di tingkat nasional dan di daerah sejak masa
reformasi. Di era Orde Baru, polling tidak pernah ada, karena rezim
otoritarian tidak membutuhkan polling rakyat.
Namun, polling di tanah air selama ini dipakai
hanya sebatas untuk menentukan tingkat elektabilitas kandidat-kandidat yang
akan maju dalam pemilu dan pilkada.
Bagaimanapun, fungsi proses pembelajaran
tentang polling yang digunakan di Indonesia selama ini menjadi signifikan
saat ini ketika masyarakat beberapa daerah, termasuk Surabaya, hanya memiliki
calon tunggal. Pertanyaan yang muncul: apakah calon tunggal ini benar-benar
pemimpin yang paling disukai dan dimaui rakyatnya? Atau, apakah calon tunggal
ini adalah yang dimaui atau didukung partai politik pengusungnya saja?
Jika jawabannya yang pertama, polling bisa
digunakan untuk mengetes kebenaran jawaban ini. Jika benar pemimpin daerah
itu yang paling disukai oleh rakyatnya, apakah hasil jajak pendapatnya
benar-benar 100 persen?
Jika nama calon tunggal disaingkan dengan
”bumbung kosong”, apakah nama calon tunggal tadi benar-benar dipilih 100
persen rakyatnya?
Mungkin sekarang polling perlu dilemparkan
kepada rakyat yang daerahnya hanya memiliki calon tunggal yang
dipermasalahkan oleh undangundang dan para elite politik di Jakarta. Sebagai
contoh, di California, pada 2003 pernah dilakukan polling kepada masyarakat
di sana apakah perlu dilakukan ” recall election” atau pemilihan ulang
terhadap gubernur petahana?
Jika perlu, ”siapa yang akan menjadi pemimpin
alternatif menurut rakyat?” Polling di California menunjukkan bagaimana
rakyat aktif menentukan nasib politik di wilayahnya sendiri, meski semua
telah diatur undang-undang.
Barangkali, siapa pun yang akan mengambil
inisiatif ini, polling perlu dilakukan untuk menjaring suara rakyat yang
sesungguhnya ”perlukah pilkada ditunda?” atau, ”perlukah ada pejabat kepala
daerah?” Jika perlu, ”siapa yang disukai oleh rakyat menjadi penjabat kepala
daerah?” Sehingga meminimalkan terjadi penyalahgunaan kepentingan politik dan
power-bias penunjuk penjabat maupun yang ditunjuk sebagai penjabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar