Dunia yang Diam
Abdillah Toha ;
Pemerhati Politik
|
KOMPAS,
25 Agustus 2015
Empat bulan lebih,
sejak 26 Maret 2015, koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi telah mengebom
Yaman hampir setiap hari. Serangan bahkan kian menjadi-jadi di bulan suci
Ramadhan dan pada saat-saat gencatan senjata yang beberapa kali diumumkan dan
dilanggar sendiri.
Setelah target-target
militer habis dibom, pesawat-pesawat tempur Arab Saudi—dibantu perangkat
perang dan informasi intelijen Amerika dan Israel—tanpa pandang bulu mengebom
target-target sipil, seperti rumah penduduk, pabrik, rumah sakit, dan
sekolah.
Seluruh anggota
keluarga penjaga rumah mantan Perdana Menteri Yaman Faraj bin Ghanem tewas
ketika rumahnya dibom. Sekolah Albastain di Yaman barat laut dibom ketika
siswa sedang bersiap makan siang. Puluhan siswa terluka dan tewas (CNN, 15 April).
Sebuah rumah sakit di
kota Harad, Provinsi Hajjah, dihancurkan dengan bom sehingga korban sipil tak
bersalah berjatuhan (Al-Masirah channel). Tidak lepas pula dari serangan bom
Saudi adalah Kantor Konsulat Rusia di Aden, Yaman selatan (Globalsearch.com).
Beberapa hari lalu,
dua bangunan asrama pekerja pusat tenaga listrik jadi sasaran terbaru dengan
korban 65 pegawai sipil tewas dan puluhan cedera (Human Rights Watch). Tak cukup tulisan ini memuat semua detail
serangan dan korban yang diakibatkannya.
Selama empat bulan
serangan Arab Saudi ke Yaman, ditaksir 4.500 nyawa hilang serta lebih dari
20.000 cedera, sebagian besar warga biasa, termasuk orang tua, wanita, dan
anak-anak. Belum lagi termasuk lebih dari 240 bangunan sipil dan
infrastruktur yang dihancurkan di negeri itu.
Sampai artikel ini
ditulis, militer Arab Saudi masih terus melakukan pengeboman dan pengepungan
negeri miskin itu dari udara, darat, dan laut, yang oleh PBB disebut telah
mengakibatkan tragedi kemanusiaan terberatdi Timur Tengah.
Dalih Arab Saudi
Pemerintah dinasti
Saud berdalih bahwa serangannya ke Yaman bertujuan memulihkan demokrasi dan
mengembalikan pemerintahan yang sah, di mana Perdana Menteri Yaman Abd Rabbuh
Mansur Hadi telah melarikan diri ke Arab Saudi. Alasan lain adalah untuk
menghabisi militan kelompok Houthi yang dianggap merampas kekuasaan yang sah
dengan bantuan Iran.
Semua dalih itu sulit
diterima akal. Pertama, bagaimana mungkin sebuah negeri yang tidak kenal
demokrasi dan diperintah oleh dinasti turun-temurun mau memperjuangkan
demokrasi di tempat lain?
Kedua, pemerintahan
Perdana Menteri Jenderal Mansur Hadi adalah pemerintahan boneka Arab Saudi
yang terusir karena kehendak rakyat Yaman yang tertindas. Mansur Hadi
terpilih sebagai calon tunggal sebagai presiden transisi untuk masa waktu dua
tahun pada 27 Februari 2012. Karena pemilu tidak kunjung diadakan, Hadi
terdesak dan mengundurkan diri pada 21 Januari 2015. Anehnya, setelah mundur,
dia pergi ke Aden, ibu kota Yaman Selatan, dan mendirikan pemerintahan Yaman
di sana. Ketika pejuang Houthi berhasil menguasai Aden, Hadi pun lari ke
pangkalan militer Arab Saudi terdekat dari Yaman.
Ketiga, Ansarullah
atau lebih dikenal sebagai kelompok Houthi adalah warga minoritas Yaman
beraliran Syiah Zaidiyah. Houthi pada awalnya hanya sebuah gerakan teologi
damai, tetapi ketika kawasannya di Distrik Saada berulang kali diserang,
mereka menjelma menjadi kelompok militan. Perjuangan mereka berhasil
menyingkirkan kelompok penguasa. Mereka mendapat dukungan luas rakyat
karena—menurut Newsweek, Februari 2015—Houthi memperjuangkan ”semua yang
diinginkan warga Yaman, yakni akuntabilitas pemerintahan, pemberantasan
korupsi, pelayanan publik, lapangan kerja, subsidi BBM, dan berakhirnya
campur tangan asing (Barat) di Yaman”.
Dengan demikian, jelas
sudah bahwa alasan agresi Arab Saudi sebenarnya bukanlah yang disampaikan
secara resmi oleh kerajaan. Agresi Arab Saudi didorong kekhawatiran merembetnya
pengaruh revolusi 2011 Yaman ke daratan Arab Saudi yang berbatasan darat
dengan Yaman. Juga ada kekhawatiran atas meluasnya pengaruh Iran di kawasan
dan kepentingan Barat untuk menguasai Teluk Aden dan Bab el Mandeb yang
sangat strategis bagi keamanan dan perdagangan di kawasan teluk ini.
Lebih gawat lagi,
dalam rangkaian propaganda guna mendapat dukungan luas dunia Islam, Kerajaan
Arab Saudi telah menjadikan perang ini sebagai perang Sunni melawan Syiah.
Padahal, aliran Syiah Zaidiyah yang dianut kelompok Houthi itu lebih dekat
kepada ahlusunah daripada ke Syiah Imamiyah yang dianut mayoritas warga Iran.
Ansarullah atau Houthi, lagi-lagi menurut Newsweek, adalahkelompok yang telah
ratusan tahun hidup berdampingan secara damai dengan mayoritas Sunni di Yaman
dan sangatindependen sehingga tidak mudah dikendalikan oleh kekuatan asing
termasuk Iran.
Diamnya dunia
Agresi Arab Saudi dan
kawan-kawannya ini berlangsung lebih lama dan menimbulkan korban lebih besar
dibandingkan serangan Israel ke Gaza. Selain korban tewas, cedera, dan
kehancuran infrastruktur, serangan itu telah menyengsarakan 26 juta penduduk
Yaman yang kehilangan ketenangan, kebutuhan sehari-hari, obat-obatan, bahan
bakar, listrik, dan kehidupan anak di sekolah-sekolah. Namun, yang paling
tragis adalah diamnya dan ketidakpedulian dunia atas tragedi kemanusiaan yang
sedang terjadi sampai saat ini di sana.
Ketika Israel
menjatuhkan bom-bomnya ke Gaza, masyarakat dunia dari berbagai kalangan
menunjukkankepedulian dengan adanya protes-protes dan demonstrasi di
mana-mana. Sedikit banyak hal itu ikut membantu menekan Israel untuk
menghentikan kebrutalannya.
Kali ini, baik PBB
maupun negeri-negeri di dunia di luar Iran dan Rusia diam seribu bahasa
membiarkan Arab Saudi yang melanggar semua hukum internasional dan norma
kemanusiaan begitu leluasa membabat sebuah negeri miskin yang sangat tidak
sebanding kekuatan militernya. Seakan-akan warga masyarakat Yaman bukanlah
manusia. Seakan-akan dunia menyilakan suatu kehidupan di Yaman dihabisi.
Indonesia yang punya
keterkaitan sejarah panjang dengan Yaman, khususnya dengan Hadramaut—walau
tidak mendukung serangan Arab Saudi seperti halnya Malaysia—juga tidak
mengecam dan tidak melakukan upaya diplomatis yang serius untuk menghentikan
kebrutalan itu.
Entah sampai kapan
situasi ini akan berlangsung. Padahal, banyak pihak sepakat bahwa tidak akan
ada pemenang dalam pertikaian berdarah ini. Arab Saudi tidak akan dapat
meraih tujuan serangannya dalam perang asimetris ini, seperti juga invasi
Amerika di Irak, Afganistan, Libya, dan tempat lain dalam perang melawan
terorisme yang tidak menyelesaikan masalah.
Apabila jalan politik
tidak diupayakan, pada akhirnya nanti Pemerintah Arab Saudi juga akan
kehabisan napas dan ujung-ujungnya bisa jadi akan menggunakan kekuatan lain,
termasuk teroris NIIS, Al Qaeda, dan lainnya, untuk terus mengganggu Yaman,
seperti yang terjadi di Irak dan Suriah.
Para penguasa dunia
yang bernafsu mempertahankan dominasi dan kekuasaan ini telah dibutakan oleh
kenyataan sejarah berkali-kali bahwa kekuatan rakyat yang sejati tidak
mungkin dikalahkan meski dengan senjata secanggih apa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar