Peran Pers dalam Pilkada Serentak
Agus Sudibyo ;
Ketua Program Studi Akademi Televisi
Indonesia
|
KOMPAS,
26 Agustus 2015
Tahun 2014 sebagai
tahun politik telah menunjukkan betapa signifikan peran pers dalam proses
suksesi kepemimpinan di Indonesia. Ruang media jadi arena utama bagi
kontestan pemilu untuk memperkenalkan diri dan mencoba meraih simpati
masyarakat.
Ruang media juga jadi
sarana utama bagi seluruh unsur politik untuk berkomunikasi, berinteraksi,
dan saling mengawasi. Dalam konteks yang sama, peran pers dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun ini perlu
dibicarakan. Bagaimana pers semestinya berkontribusi dalam perhelatan akbar
ini dan hambatan apa yang akan dihadapi?
Pertanyaan ini
mendesak untuk dijawab. Pelaksanaan pilkada semakin dekat, sementara
kekuatan-kekuatan politik telah menunjukkan gelagat ingin kembali menggunakan
pers sebagai instrumen untuk memobilisasi dukungan masyarakat.
Pertama-tama, pers
harus berperan dalam menggalakkan pendidikan politik untuk para pemegang hak
pilih. Masalah yang perlu diatasi di sini, pada umumnya masyarakat masih
memahami partisipasi politik semata- mata urusan coblosan di bilik suara.
Menjadi tugas pers untuk terus-menerus mengingatkan bahwa partisipasi politik
harus dipahami secara lebih fundamental sebagai keterlibatan sukarela dan
bermakna semua orang dalam proses penyelenggaraan kepentingan bersama.
Partisipasi politik
selalu mengandaikan tanggung jawab setiap orang terhadap cita-cita bersama
untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih baik. Tanggung jawab ini
diwujudkan dalam partisipasi aktif warga negara pada proses penyelenggaraan
kekuasaan dan pengawasannya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Maka,
mengawasi jalannya pelayanan publik di semua lini birokrasi, proses
pengambilan kebijakan, dan kinerja para pemimpin formal harus jadi agenda
bersama masyarakat.
Pers diharapkan
berperan besar dalam proses pendidikan politik warga negara ini karena, dari
berbagai segi, negara terlihat tak mampu menjalankannya dengan baik.
Persoalannya kemudian, kalangan pers sendiri sejauh ini juga belum memberikan
perhatian memadai terhadap masalah pendidikan politik itu. Tidak banyak media
yang menempatkan masalah ini sebagai prioritas pemberitaan. Dalam setiap penyelenggaraan
pemilu ataupun pilkada, ruang publik media secara umum terlalu terfokus pada
pemberitaan dan diskusi tentang popularitas dan elektabilitas para kandidat
serta persaingan di antara mereka.
Dua peran utama
Dalam konteks yang
sama, perlu ditegaskan bahwa tanggung jawab politik warga negara juga harus
tecermin dari pilihan yang diambil di bilik suara. Jika peduli terhadap
demokratisasi dan pembangunan di daerahnya untuk lima tahun ke depan,
masyarakat tak akan sekadar mencoblos pada pilkada serentak nanti. Masyarakat
juga tidak akan memilih pemimpin hanya berdasarkan popularitas, kedekatan
suku, agama, ormas atau kekerabatan, juga iming-iming uang. Kualitas
partisipasi politik di sini ditentukan sejauh mana masyarakat mampu
menanggalkan preferensi pribadi, perasaan suka atau tidak suka, untuk
benar-benar memilih pemimpin terbaik atau yang lebih baik dari yang lain.
Pada titik ini, pers
punya dua peranan. Pertama, menyediakan kriteria-kriteria yang mudah dipahami
awam untuk menilai kelebihan dan kelemahan para kandidat. Kedua, memberikan
informasi yang cukup dan valid tentang rekam jejak kandidat.
Tentu saja syarat yang
harus dipenuhi di sini adalah netralitas dan independensi. Pers mampu
menyajikan rekam jejak kandidat sejauh pers dapat menjaga netralitas dan
independensinya. Pers tidak jadi bagian dari tim sukses atau simpatisan. Pers
dapat menjaga pagar api: memisahkan urusan pemberitaan dengan urusan iklan
dan sponsor.
Tantangan paling berat
ada di sini. Pemilu 2014 menunjukkan betapa terangnya keterlibatan banyak
wartawan, redaktur, bahkan institusi media dalam proses pemenangan kandidat.
Dalam hal sikap partisan media atau wartawan, Pemilu 2014 adalah yang
terburuk dalam sejarah pemilu Indonesia pascareformasi.
Lebih dari sekadar mengikuti
coblosan, mengawasi jalannya coblosan dan penghitungan suara juga bentuk
partisipasi politik yang sangat menentukan. Pers perlu terus-menerus
mengingatkan masyarakat agar tidak langsung pulang setelah mengikuti
coblosan. Jika ada tanda-tanda kecurangan dalam penghitungan dan rekapitulasi
suara, masyarakat harus berani mempersoalkannya. Pers harus terus-menerus
memberitakan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi pada dua fase ini.
Tidak kalah mendesak
adalah bagaimana pers mengawasi praktik politik uang. Dalam hal politik uang,
Pemilu 2014 juga dianggap sebagai yang paling brutal dalam sejarah pemilu
Indonesia. Perlu ditegaskan, Komisi Pemilihan Umum daerah, Badan Pengawas
Pemilu daerah, dan Panitia Pemungutan Suara pada pilkada serentak nanti
umumnya masih diisi orang-orang yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu
presiden lalu. Kita menghadapi para penyelenggara pemilu dengan mentalitas
yang kurang lebih sama.
Para wartawan
menduduki posisi yang sama strategisnya dengan lembaga dan relawan pemantau
pilkada. Jika setiap media mampu memosisikan diri sebagai pemantau pilkada,
pers Indonesia adalah jaringan pemantau dengan cakupan yang paling luas.
Pertanyaannya, sejauh
mana para wartawan mampu menjadi pemantau yang kompeten dan independen?
Kompetensi dilihat dari penguasaan atas aspek-aspek hukum, politik, dan
teknis penyelenggaraan pilkada serta pendalaman atas segi-segi profesional
dan etika jurnalistik. Independensi diukur dari kemampuan untuk berjarak dari
semua kepentingan dalam penyelenggaraan pilkada. Semoga kali ini pers
Indonesia dapat menunjukkan performa yang lebih baik dalam menjaga
profesionalisme dan independensinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar