Pelajaran Nasionalisme Kiai Maimoen
Ahmad Khotim Muzakka ;
Mahasiswa Center for
Religious and Cross-cultural
Studies, UGM
|
KORAN
TEMPO, 22 Agustus 2015
Umur yang ke-70 bagi
Republik Indonesia mesti dijadikan momentum untuk memaknai lagi (dan
terus-menerus) kesadaran berbangsa kita. Kesadaran terhadap kebangsaan,
menurut Sukarno, sama sekali tidak bertentangan dengan keberislaman; dua
terma yang masih saja diupayakan untuk dipertentangkan satu dengan yang lain
oleh sekelompok kalangan.
Apa relevansi
kesadaran kebangsaan di tengah perayaan kemerdekaan yang sudah setua itu?
Umur 70 tahun, untuk ukuran manusia, tentu sudah menjadi kakek-nenek. Maka
itu sangat urgen, kita menengok sejenak, betapa suara-suara yang tak
"meridai" Indonesia-yang berpenduduk muslim terbesar di dunia
ini-menjadi negara demokratis; alih-alih mengkampanyekan sistem khilafah.
Menurut M. Ridwan
Lubis dalam Sukarno dan Modernisme Islam (2010), Sukarno membantah tuduhan
orang-orang Persis bahwa, jika seseorang menerima konsep kebangsaan (nation-state), berarti dia
"memberhalakan tanah air", dan, oleh karenanya akan berpengaruh
terhadap kualitas keimanan.
Dalam Negara Nasional dan Tjita2 Islam,
Sukarno menulis: Islam tidak bertentangan sebenarnja menurut fahamku dengan
kenasionalan. Islam tidak melarang kita menjusun satu negara nasioanal.
Tetapi jang selalu disalahweselkan ialah kiranya djikalau engkau nasional
engkau anti agama. Djikalau engkau nasional, engkau memberhalakan tanah air.
Tidak! Kalau aku tjinta kepada tanah airku maka aku memberhalakan tanah
airku. Rasa nasional adalah lepas dari itu.
Bantahan Sukarno bukan
tanpa sandaran. Bahkan, dasar pemahaman nasionalisme bisa dirunut hingga
Al-Afghani yang mengumandangkan patriotisme yang bersanding dengan
nasionalisme. Hubungan agama dan negara bukan merupakan dua hal yang mesti
dipertentangkan, namun bisa saling bersinergi serta menguatkan (Lubis, 2010: 205).
Pelajaran nasionalisme
kekinian bisa kita dapatkan dari peristiwa kecil di luar hiruk-pikuk Muktamar
NU di Jombang. Dalam Muktamar NU ke-33 yang menahbiskan KH Ma'ruf Amin dan KH
Said Aqil Siradj menakhodai kepemimpinan NU periode 2015-2020 ini, terselip
pelajaran penting mengenai bagaimana nasionalisme dipupuk dan dirawat.
Adalah KH Maimoen
Zubair, pengasuh Pondok Pesantren al-Anwar Sarang, Rembang, yang ikut berdiri
saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan pada pembukaan Muktamar ke-33
organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Meski dipapah menggunakan kursi
roda, beliau ikut berdiri dan bersandar menggunakan tongkatnya. Satu hal yang
tak lazim mengingat usia beliau sudah 86 tahun (NU Online, 2 Agustus).
Apa makna dari yang
dilakukan Kiai Maimoen ini? Seorang kiai sepuh mau hadir dan ikut menghormati
pelantunan lagu Indonesia Raya. Bagi saya, ini bukan sekadar peristiwa biasa.
Ini merupakan cara Kiai Maimoen memperlihatkan betapa kecintaan kepada bangsa
tidak bertentangan dengan nasionalisme; satu wacana yang masih terus dibangun
oleh gerakan transnasional.
Di sini, saya teringat
akan Saudara Felix Siauw, aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, yang dengan gencar
melakukan penolakan terhadap gagasan nasionalisme. Tulisannya yang bertajuk "Talak Tiga Nasionalisme Now"
di blog pribadinya menjadi sekadar angin lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar