Menanti Komisioner Andal
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur
Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS,
28 Agustus 2015
Persoalan seputar
unsur yang mengisi komposisi komisioner KPK selalu menjadi perdebatan menarik
sejak pembentukan lembaga anti korupsi ini. Merujuk bentangan empirik yang
terjadi, perdebatan seputar hal ini hampir selalu menemukan titik
kulminasinya berbarengan dengan proses seleksi calon komisioner KPK.
Seperti menjadi topik
klasik, perdebatan ihwal unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Komisi (KPK)
jadi isu hukum paling banyak dibahas sejak panitia seleksi (pansel) diumumkan
Presiden Joko Widodo. Perbincangan terasa kian mengeras saat pansel memasuki
fase paling krusial: memilih delapan calon dari 19 pelamar yang berhasil
masuk tahapan wawancara.
Di tengah pusaran
perdebatan yang terjadi, ada baiknya merujuk kembali roh dan semangat
kehadiran UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi
(UU KPK). Dikhawatirkan, bila perdebatan yang tersaji tercerabut dari roh dan
semangat yang dikehendaki para pembentuk UU No 30/2002, masa depan KPK jelas
akan menjadi taruhannya.
Selain itu, dengan
maksud menjernihkan persoalan klasik ini, debat komposisi komisioner KPK
sebetulnya telah dijawab secara tuntas oleh calon hasil panitia seleksi dan
hasil uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR selama ini. Meskipun
demikian, perdebatan ihwal komposisi komisioner KPK seperti sengaja (by design) dimunculkan dan didaur ulang
untuk mengganggu konsentrasi Pansel KPK menghasilkan calon terbaik.
Bukan perwakilan
Rujukan penting untuk
membaca roh dan semangat kehadiran KPK dapat dilacak dari konsideran
pembentukannya. Ihwal ini, UU No 30/2002 secara eksplisit menyatakan bahwa
kehadiran KPK dipicu karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak
pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien. Dalam bahasa yang
lebih sederhana, lembaga dimaksud gagal menjalankan misi pemberantasan
korupsi.
Karena itu, penjelasan
UU No 30/2002 menambahkan perlunya suatu badan khusus yang punya kewenangan
luas, independen, dan bebas dari kekuasaan mana pun dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi. Dalam batas penalaran yang wajar, penegasan sifat
kekhususan itu ditujukan untuk menghindari kegagalan penegak hukum
konvensional memberantas korupsi. Artinya, dengan sudut pandang demikian,
pendapat yang mengharuskan adanya wakil atau unsur polisi dan jaksa di KPK
sukar diterima kebenarannya.
Nalar pembentuk UU
menolak keharusan wakil institusi tersebut dapat dilacak rumusan Pasal 21
Ayat (4) UU No 30/2002 yang menyatakan pimpinan KPK adalah penyidik dan
penuntut umum. Dengan dilekatkannya posisi penyidik dan penuntut umum
tersebut, pembentuk UU No 30/2002 secara sadar mengakui bahwa komisioner KPK
tidak harus berasal dari jaksa dan polisi. Dengan posisi itu, siapa saja yang
menjadi pimpinan KPK, meski bukan berasal dari polisi atau jaksa, maka karena
jabatannya mereka menjadi penyidik dan penuntut umum.
Penegasan lebih lanjut
bahwa komisioner KPK tidak harus berasal dari polisi atau jaksa dengan mudah
dan sederhana dapat dipahami dari syarat calon pimpinan KPK. Merujuk Pasal 29
angka 4 UU No 30/2002, persyaratan sebagai pimpinan KPK berijazah sarjana
hukum atau sarjana lain dengan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam
bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan membuktikan sejak awal,
bangunan kepemimpinan KPK dalam UU No 30/2002 tak dimaksudkan melihat label
polisi atau jaksa tersebut. Karena itu, keliru menggunakan Pasal 21 Ayat (4)
guna melegitimasi basis argumen bahwa harus ada unsur polisi atau jaksa
sebagai pimpinan KPK.
Selain itu, perlu
dicatat, dengan maksud menjaga independensi KPK, Pasal 29 angka 9 UU No
30/2002 mengamanatkan bahwa ketika menjabat sebagai pimpinan KPK harus
melepaskan semua jabatan baik struktural maupun jabatan lain. Tentu saja,
dengan ketentuan tersebut, jabatan penyidik atau penuntut, misalnya, jika
berasal dari polisi atau jaksa harus dilepaskan. Keharusan ini jadi bukti
bahwa semua pimpinan KPK adalah orang-orang lepas dari jabatan dan posisi
sebelumnya.
Berkenan dengan
argumentasi lain, keharusan adanya komisioner KPK berasal dari polisi
dan/atau jaksa dikarenakan kebutuhan teknis penanganan perkara, dalam
batas-batas tertentu ini dapat dikatakan menegasikan struktur berlapis
penyidikan yang dibangun KPK. Buktinya, semua produk penyidikan KPK yang
dilimpahkan sampai ke proses peradilan tak ada yang divonis bebas atau kalah.
Merujuk bentangan fakta ini, alasan kebutuhan teknis bahwa pimpinan KPK harus
ada yang berasal dari polisi dan/atau jaksa, amat mungkin berangkat dari
ketidakpahaman secara utuh terhadap proses penanganan perkara di KPK.
Penegasan bahwa tidak
ada keharusan wakil polisi atau jaksa penting untuk menghentikan pendapat bahwa
pimpinan KPK sebagai perwakilan lembaga penegak hukum. Sesuai persyaratan
yang ada, terbuka kesempatan bagi kalangan yang berkarier sebagai polisi atau
jaksa mendaftar sebagai calon komisioner KPK. Meski demikian, mengikuti
proses tersebut haruslah berasal dan jadi keinginan pribadi. Bila berasal dan
menjadi keinginan institusi awal, jika terpilih, sangat mungkin yang
bersangkutan dengan mudah terjebak dalam kesetiaan yang terbelah.
Masalah kewaspadaan
terhadap isu perwakilan institusi penegak hukum perlu diberi catatan penting
oleh panitia seleksi. Bagaimanapun, sejak awal kehadirannya KPK seperti jadi
daerah rebutan antara kepolisian dan kejaksaan. Bahkan, pada tahap
pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2015, kedua institusi penegak hukum
ini mulai melancarkan psy-war, misalnya dengan menyatakan bahwa pimpinan
(ketua?) KPK ke depan sebaiknya berasal dari institusi mereka. Karena itu,
sangat masuk akal bila sejumlah pihak mewanti-wanti panitia seleksi untuk
lebih peka mencermati dan menelusuri calon yang berasal dari institusi
tertentu.
Salah satu contoh
menarik yang patut diberi perhatian khusus terkait dengan upaya Kepala Polri
Jenderal (Pol) Badrodin Haiti meluruskan pernyataan Brigjen (Pol) Basaria
Panjaitan. Sebagaimana diketahui, ketika wawancara di hadapan panitia
seleksi, yang bersangkutan menggagas KPK sebaiknya didorong sebagai lembaga
yang mendukung penguatan polisi dan kejaksaan untuk kasus korupsi. Seandainya
pendapat itu adalah pandangan individu seorang calon yang kebetulan berasal
dari polisi, Kepala Polri tidak perlu meluruskannya. Namun, ketika upaya
tersebut terkuak ke publik, sulit untuk menghindari penilaian bahwa
pencalonan Basaria terbebas dari institusi kepolisian.
Tiga bukti
Sejak awal, sejumlah
pihak mengemukakan, panitia seleksi harus mampu keluar dari kemungkinan
perdebatan keharusan adanya perwakilan lembaga penegak hukum dalam komisioner
KPK. Terkait dengan soal ini, dalam ”Pansel Pemimpin KPK” (Kompas, 26/5),
dikemukakan dengan komposisi anggota yang berasal dari luar institusi penegak
hukum, perdebatan di sekitar keniscayaan adanya representasi calon dari jaksa
dan polisi dapat diminimalkan. Dengan begitu, Pansel KPK 2015 memiliki
peluang menghadirkan calon pimpinan KPK yang memiliki integritas moral, tidak
diragukan keberaniannya memberantas korupsi, kapasitas, independesi, dan
kepemimpinan.
Dengan waktu yang
tersisa dan sebelum menyampaikan hasil akhir delapan nama kepada Presiden
Joko Widodo, panitia seleksi harus keluar dari pandangan yang seolah-olah
harus ada komisioner KPK dari unsur polisi dan jaksa. Pandangan yang mengarah
pada perwakilan atau unsur jaksa dan polisi telah ditinggalkan. Bukti
pertama, Pansel KPK 2011, pemilihan calon tidak didasarkan pada asal
instansi, tetapi calon terbaik sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Bahkan,
panitia sebelumnya, kesepakatan serupa juga jadi pegangan dalam memilih
calon.
Bukti berikutnya, pada
saat terjadi pergantian Antasari Azhar, dari dua nama yang dihasilkan panitia
seleksi (M Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto) tak satu pun berasal dari
unsur jaksa. Padahal, dari latar belakang, Antasari Azhar merupakan
komisioner KPK yang berkarier di kejaksaan. Harusnya, jika berpegang pada
pandangan merupakan wakil institusi—karena Antasari Azhar berasal dari
kejaksaan—penggantinya seharusnya berasal dari institusi yang sama. Namun,
faktanya, Komisi III DPR tetap melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap
dua nama yang dihasilkan panitia seleksi.
Terakhir, dari delapan
nama yang dihasilkan Pansel KPK 2011, di antaranya satu nama berasal dari
jaksa dan satu nama lain dari polisi. Saat memutuskan setelah proses uji
kelayakan dan kepatutan, Komisi III DPR justru tidak memilih nama yang
berasal dari polisi. Sekali lagi, jika argumentasi harus ada wakil dari unsur
polisi dan jaksa, mestinya calon yang berasal dari unsur polisi dipilih
Komisi III DPR menjadi salah seorang komisioner KPK 2011-2015.
Calon terbaik
Berdasarkan uraian di
atas, panitia seleksi tak perlu menghabiskan energi untuk membahas calon
berdasarkan unsur lembaga penegak hukum. Dalam hal ini, dalam menentukan
pilihan panitia seleksi harus bisa keluar dan melepaskan semua atribut dan
latar belakang calon. Artinya, soal intergritas moral, independensi, bebas
konflik kepentingan, dan memiliki keberanian memberantas korupsi mesti
dijadikan dasar pertimbangan utama.
Bahkan, setelah
selesai tahapan wawancara, guna mendapatkan calon terbaik, hal terpenting
yang harus dilacak panitia seleksi adalah pandangan personal calon terhadap
kepentingan dan masa depan KPK di tengah desain besar pemberantasan korupsi.
Dalam hal ini, gagasan yang berpotensi menenggelamkan posisi KPK sebagai
ujung tombak dalam memberantas korupsi harus disikapi secara tepat dan
serius. Misalnya, dari kebutuhan agenda pemberantasan korupsi, upaya pencegahan
tentu diperlukan. Namun bila upaya tersebut dilakukan dengan melemahkan
penindakan, posisi strategis KPK segera meredup.
Berkaca dari situasi
sulit yang dihadapi KPK sejak penetapan beberapa figur sentral sebagai
tersangka, calon terbaik yang mesti dihasilkan panitia seleksi adalah mereka
yang sama sekali tidak diragukan komitmennya untuk memulihkan kembali posisi
sentral KPK dalam agenda pemberantasan korupsi. Gagal melacak komitmen ini,
KPK amat mungkin terperangkap pengeroposan dari internal. Meski KPK masih
bertahan sebagai institusi, akan tetapi dalam agenda pemberantasan korupsi ia
akan berada pada posisi seperti kerakap tumbuh di batu.
Dengan alasan
tersebut, Pansel KPK mesti awas betul soal integritas calon. Pesannya amat
sederhana: jangan karena memaksakan keinginan harus adanya unsur lembaga,
panitia seleksi merusak reputasi mereka yang telah dibangun dalam waktu
panjang. Perlu dicatat, masyarakat tengah menunggu hasil bidikan anak panah
”Sembilan Srikandi” untuk menghasilkan calon komisioner yang andal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar