Ironi Sebatang Cokelat
Kadir ;
Bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS)
|
KORAN
TEMPO, 21 Agustus 2015
Kalau kita perhatikan
statistik konsumsi cokelat dunia pada 2015, kita bakal menemukan fakta bahwa
10 negara konsumen cokelat terbesar sejagat adalah negara-negara maju:
Amerika Serikat dan negeri di Eropa Barat.
Untuk tiga pemakan
cokelat terbesar sejagat, di urutan pertama ada Swiss dengan konsumsi per
kapita penduduknya mencapai 9 kilogram per tahun. Di bawahnya ada Jerman dan
Irlandia dengan konsumsi per kapita masing-masing 7,9 kilogram dan 7,4
kilogram per tahun (Koran Tempo, 14 Agustus).
Menariknya, tak satu
pun dari 10 negara konsumen cokelat terbesar dunia itu merupakan penghasil
biji kakao, bahan utama pembuatan cokelat. Lalu, bagaimana dengan konsumsi
cokelat di negara-negara penghasil utama kakao dunia?
Untuk diketahui, lebih
dari 90 persen kakao dunia dihasilkan oleh negara-negara berkembang atau
dunia ketiga di kawasan Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Saat ini, tiga
negara penghasil utama biji kakao dunia adalah Pantai Gading, Ghana, dan
Indonesia. Ketiganya menyuplai tak kurang dari 70 persen kebutuhan kakao
dunia.
Berapa pun angka
konsumsi di negara-negara itu, yang pasti kalah jauh dengan tingkat konsumsi
di negara-negara konsumen utama cokelat dunia. Bayangkan, konsumsi cokelat
penduduk Indonesia, misalnya, hanya sekitar 0,3 kg per kapita per tahun.
Padahal sebanyak 18 persen kakao dunia disuplai oleh Indonesia.
Hasil Sensus Pertanian
2013 memperlihatkan budi daya tanaman kakao di negeri ini melibatkan 2,19
juta rumah tangga. Sekitar 34,4 persen dari jumlah total rumah tangga
tersebut terdapat di Pulau Sulawesi. Di sana, di pedalaman Sulawesi Selatan
dan Sulawesi Tenggara, misalnya, banyak petani yang jarang, bahkan tak
pernah, mencicipi nikmatnya sepotong cokelat, meski bahan baku utamanya
disuplai oleh mereka.
Barangkali hal
tersebut erat kaitannya dengan budaya mengkonsumsi cokelat. Konon, kebiasaan
mengkonsumsi dan menyeduh cokelat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
keseharian masyarakat Eropa dan Amerika Serikat.
Selain soal budaya,
hal tersebut tampaknya juga terkait dengan fakta lain: produsen utama cokelat
dunia bukanlah negara-negara penghasil utama kakao dunia, tapi negara-negara
konsumen cokelat terbesar dunia itu sendiri, contohnya, Swiss dan Amerika
Serikat.
Relatif rendahnya
konsumsi cokelat penduduk Indonesia sejatinya adalah sebuah ironi, bukti
bahwa selama ini kita hanya mampu menjadi penghasil dan pengekspor bahan
mentah. Kasta itu paling rendah dalam rantai produksi cokelat dunia.
Barangkali, mimpi menjadi salah satu produsen dan pengekspor cokelat terbesar
di dunia terlalu tinggi dan muluk-muluk, meski potensi untuk itu sejatinya
cukup besar.
Saat ini yang
terpenting adalah upaya serius dari pemerintah untuk mendorong pengembangan
industri pengolahan biji kakao agar nilai tambahnya bisa ditingkatkan.
Syukur-syukur kalau produk akhirnya dalam bentuk cokelat made in Indonesia.
Hal ini penting
diupayakan karena tidak hanya dapat mendorong peningkatan konsumsi cokelat
penduduk Indonesia, tapi juga membuka lapangan kerja dan meningkatkan taraf
hidup jutaan petani kakao di negeri ini, yang kehidupan ekonominya acap kali
tak selezat rasa sepotong cokelat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar