Keluar dari Belitan Krisis
A Prasetyantoko ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unika
Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
31 Agustus 2015
Krisis selalu berulang
dengan pola sama meski pemicunya berbeda. Namun, para pengambil kebijakan
cenderung menolaknya, dengan mengatakan kali ini pemicunya berbeda. Melalui
bukunya, This Time is Different
(2009), Carmen M Reinhart dan Kenneth Rogoff mengingatkan sikap penolakan ini
sebagai ilusi berbahaya. Kendati transmisi dan penggeraknya berbeda, krisis
selalu punya akar masalah sama.
Namun, tak berarti
gejolak nilai tukar dan dinamika pasar modal dewasa ini akan berujung sama
seperti 1998. Bahkan, dibandingkan tahun 2008, ada banyak perbedaan sehingga
respons kebijakannya pun tak bisa disamakan.
Minggu lalu, nilai
tukar sempat hampir menyentuh Rp 14.200 per dollar AS kendati di akhir pekan
ditutup turun ke Rp 13.983 per dollar AS. Saat gejolak 2008, nilai tukar
melemah hingga mencapai titik terendah pada November 2008, yakni Rp 12.400
per dollar AS. Adapun pada krisis 1998, sesuai catatan Bank Indonesia, titik
terendah pada akhir Juli, yakni Rp 14.900 per dollar AS.
Secara nominal, nilai
rupiah kali ini mendekati level terendah pada 1998. Namun, tingkat
pelemahannya berbeda. Jika diperhitungkan dari posisi setahun sebelumnya,
nilai tukar pada Juli 1998 terdepresiasi sekitar 125 persen dan pada 2008 sekitar
30 persen. Namun, pada Agustus 2015, depresiasi nilai tukar rupiah sekitar 19
persen dari tahun sebelumnya atau 11 persen dibandingkan dengan awal tahun.
Dilihat dari indikator
apa pun, situasi hari ini jauh lebih baik dibandingkan dengan 1998. Adapun
dibandingkan dengan 2008, ada beberapa hal positif. Pertama, hingga
pertengahan tahun ini tingkat kecukupan modal perbankan masih sekitar 20
persen, sedangkan pada 2008 sekitar 16 persen. Kedua, kredit macet tahun ini
sekitar 2,5 persen, pada 2008 sebesar 3,8 persen. Ketiga, inflasi 2008
mencapai 11 persen, sedangkan tahun 2015 hingga Juli 7,26 persen. Bahkan,
pada akhir 2015 diperkirakan sekitar 5,5 persen.
Namun, ada beberapa
indikator negatif. Pertama, pertumbuhan ekonomi 2008 mencapai 6,1 persen, tahun
ini 4,5-4,8 persen. Kedua, defisit transaksi berjalan tahun ini sekitar 2,5
persen, 2008 sekitar 0,1 persen. Ketiga, defisit fiskal 2015 diperkirakan 2,3
persen, pada 2008 sekitar 0,1 persen.
Perbedaan paling
mencolok, kali ini situasi global dan regional jauh lebih rumit dan tak
menguntungkan. Begitu banyak kejutan yang menimbulkan variasi ketidakpastian.
Depresiasi mata uang yuan dan ketidakpastian kenaikan suku bunga Bank Sentral
AS (The Fed) menjadi salah satu sumber gejolak. Krisis ekonomi dan politik di
Malaysia yang masih terus berlanjut membebani pemulihan kawasan.
Di mana letak kesamaan
berbagai gejolak pada perekonomian kita? Salah satunya, ketergantungan pada
likuiditas asing. Pada 1998, ketergantungan pada modal asing terjadi dalam
bentuk utang luar negeri jangka pendek perusahaan domestik. Pada 2008 agak
mirip dengan situasi sekarang, ketergantungan di pasar modal dan obligasi
pemerintah. Namun, dibandingkan 2008, situasi tahun ini lebih rumit sebagai
dampak dari ketergantungan kita pada komoditas primer yang memperlemah daya
saing industri berorientasi ekspor. Akibatnya, meskipun rupiah terdepresiasi
tajam, ekspor tetap lemah karena harga komoditas juga turun. Kita nyaris tak
mendapatkan berkah apa pun dari pelemahan rupiah.
Karena itu, respons
kebijakan kali ini harus fokus pada kebijakan industrial yang bersifat
sektoral melalui orientasi peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tengah menyiapkan
paket kebijakan komprehensif di berbagai sektor industri melalui deregulasi
besar-besaran. Kita berharap kebijakan tersebut sungguh menjawab persoalan
inti kita.
Paket kebijakan ini
diharapkan sekaligus mengusir kegalauan banyak pihak soal arah kebijakan
ekonomi domestik yang dianggap mengarah pada proteksionis, meskipun
sebenarnya kecenderungan proteksionis sudah dimulai sejak pemerintahan
sebelumnya. Ada banyak kebijakan pada masa lalu yang berciri inward looking,
mulai dari kebijakan hortikultura hingga pajak ekspor mineral mentah. Memang,
di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kecenderungan itu berlanjut,
mulai dari kuota impor (sapi dan beras) hingga larangan impor kapal dan
penjualan minuman beralkohol.
Paket kebijakan
deregulasi perlu ditempatkan dalam konteks membangun basis industri dalam
iklim investasi yang semakin baik, seperti menurunkan biaya logistik,
khususnya di sektor kemaritiman. Tantangan kali ini jauh lebih berat
mengingat terjadi komplikasi antara gejolak nilai tukar tinggi, harga
komoditas yang rendah, dan daya saing ekspor yang lemah. Jika tak ditangani
dengan kebijakan industrial yang benar, kita akan terperangkap dalam pola
pertumbuhan ekonomi rendah.
Gejolak nilai tukar
dan pasar saham bukanlah tantangan sebenarnya meski kondisi itu juga tak bisa
diremehkan. Persoalan pokok ada pada jantung daya saing industri kita. Jadi,
tak perlu berspekulasi dengan kedatangan Direktur Eksekutif IMF Christine
Lagarde ke Jakarta, pekan ini. Sama sekali tak ada kaitannya dengan situasi
1998, saat Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan pinjaman, disaksikan
Direktur Eksekutif IMF Michel Camdessus. Sungguh suatu kebetulan yang tak ada
kaitannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar