Mengangkat Marhaen Masa Kini
Emil Salim ;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
24 Agustus 2015
Marhaen adalah julukan
yang diberikan Bung Karno kepada Mang Aen, petani gurem yang dijumpainya
sekitar tahun 1928 di daerah Bandung. Mang Aen punya tanah sempit kurang dari
0,5 hektar dan pacul sebagai satu-satunya alat produksi. Ia miskin karena
hidup di bawah cengkeraman sistem penjajahan. Maka, Bung Karno menjadikan
Mang Aen alias Marhaen sebagai simbol perjuangan merebut kemerdekaan.
Kini, setelah
Indonesia 70 tahun merdeka, kita pernah punya prestasi gemilang tahun 1985
ketika Indonesia mencapai swasembada beras sehingga memperoleh penghargaan
FAO, lembaga pangan dan pertanian PBB. Prestasi ini tercapai berkat pola
kerja sama lintas sektor yang mencakup bimbingan massal penanaman bibit
unggul (Departemen Pertanian), tersedianya air sampai ke saluran irigasi
tersier (Departemen Pekerjaan Umum), topangan perkembangan pabrik pupuk
(Departemen Perindustrian), intervensi pasar dengan harga dasar dan puncak
(Bulog) yang pembiayaannya dijamin kredit likuiditas BI (Bank Indonesia), dan
pengendalian impor beras (Departemen Perdagangan).
Program Selatan-Selatan
Prestasi Indonesia ini
jadi perhatian dunia sehingga berkembang program kerja sama Selatan-Selatan.
Indonesia mengirim petani dari Subang untuk mengajari petani Tanzania.
Sekalipun petani Indonesia tak fasih berbahasa Inggris, juga bahasa lokal
Afrika, program percontohan di Mtibawa, daerah Morogoro, Tanzania, berjalan
lancar dan konkret: membangun sawah.
Julius Nyerere,
negarawan dan mantan Presiden Tanzania, sangat terkesan dengan program kerja
sama Selatan-Selatan ini sehingga menjadikannya saka guru program Kelompok 77
negara berkembang ketika itu.
Menjelang abad ke-21,
bertiup angin "deregulasi perdagangan" sehingga tarif impor beras
menjadi nol persen. Maksud deregulasi ialah meningkatkan akses beras ke
pasar, mendorong efisiensi ekonomi, merangsang persaingan dengan beras impor
sehingga memacu produksi. Namun, yang terjadi adalah impor beras menurunkan
harga beras dalam negeri. Produsen beras yang paling terkena tentu saja
petani gurem.
Sejak Januari 2003,
Bulog berubah jadi perusahaan negara dan harus mampu membiayai aktivitas
logistiknya. Tak ada lagi kredit likuiditas BI. Sirnalah peranan Bulog
menerapkan "harga dasar" yang layak bagi petani. Ia berubah jadi
sektor swasta yang mencari untung dan tidak lagi memelihara harga dasar bagi
petani, terutama di musim panen.
Jika tahun 1980-an
praktis tidak ada impor beras, menjelang akhir 1990-an hingga kini, jumlah
impor beras mencapai ribuan ton. Juga konsumsi pangan berbasis bahan baku
impor naik tajam, seperti jagung popcorn,
maize corn, milled rice glazed, dan kacang kedelai. Dampaknya memukul
petani produsen padi dalam negeri.
Nilai tukar petani
(NTP) terdiri atas indeks harga yang diterima petani (It), mencakup tanaman
pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan rakyat, peternakan, dan
perikanan. Adapun indeks harga yang dibayar petani (Ib) terbagi atas indeks
kelompok konsumsi rumah tangga, indeks kelompok biaya produksi, dan
penambahan barang modal. Maka, NTP adalah pembagian It dengan Ib. Jika NTP =
100, indeks harga yang diterima petani sama dengan harga yang dibayarnya.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik, Juni 2014-2015, NTP tercatat 101,98
dan 100,52. Jadi, hidup petani kita sangat pas-pasan.
Di samping tingkat
inflasi inti tahunan (yoy) sebesar 5,04 persen untuk Juni 2015, tercatat juga
tingkat inflasi pedesaan (yoy) 7,86 persen, lebih tinggi daripada inflasi
nasional. Karena itu, laju inflasi pedesaan lebih ganas daripada inflasi
tingkat nasional.
Akhir-akhir ini
berkembang pengusahaan lahan yang tak berimbang di sektor pertanian. Jika
semula mayoritas pemilik lahan adalah petani gurem dengan luas lahan kurang
dari 0,5 hektar, mencakup 14,5 juta rumah tangga, pada 2003-2013 jumlah
petani dengan luas lahan lebih dari 30 hektar naik 22,8 persen menjadi 1,6
juta lebih. Kebanyakan berupa perusahaan pertanian berbadan hukum, terutama
untuk palawija, perikanan, dan
perkebunan. Secara berangsur tumbuh pula struktur pasar oligopoli dengan 5
grup menguasai pangsa pasar kelapa sawit dan 3 perusahaan importir besar
menguasai pasar kedelai.
Laju pertumbuhan turun
Pertanian, khususnya
tanaman pangan, menderita laju pertumbuhan menurun dari 3,6 persen (2010)
menjadi 0,2 persen (2014) dan -1,5 persen (kuartal I-2015). Padahal, 72
persen rumah tangga miskin di pedesaan bekerja di pertanian. Terjadi
ketidaksesuaian antara perkembangan struktur ekonomi dan struktur lapangan
kerja. Karena menurunnya laju pertumbuhan pertanian menurunkan pendapatan
petani gurem, terjadi eksodus anak usia muda dari desa mencari kerja di kota.
Analisis pendataan
potensi 77.439 desa (BPS 2011) mengungkapkan bahwa program yang paling
bermanfaat untuk mengurangi kemiskinan di desa adalah mengembangkan
pendidikan, infrastruktur jalan, akses finansial perbankan/kantor pos,
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan dana bergulir nontani.
Pembangunan infrastruktur jalan provinsi, kabupaten, dan kecamatan punya
dampak sangat strategis di daerah.
PNPM perlu utamakan
"nilai-tambah-tinggi" di pertanian. Agroindustri yang meningkatkan
produktivitas penduduk lokal dan nilai tambah produk lokal pedesaan berdampak
besar mengurangi kemiskinan. Ada setumpuk program dan hasil studi yang bisa
dipakai untuk mengubah nasib petani Marhaen.
Yang dibutuhkan adalah
koordinasi dan efektivitas kerja antar-kementerian bersama pemerintah
provinsi sampai ke desa untuk menghentikan proses pemiskinan petani Marhaen
dan menjadikannya fokus sentral tujuan pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar