Senin, 24 Agustus 2015

Mengangkat Marhaen Masa Kini

Mengangkat Marhaen Masa Kini

Emil Salim  ;   Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                       KOMPAS, 24 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Marhaen adalah julukan yang diberikan Bung Karno kepada Mang Aen, petani gurem yang dijumpainya sekitar tahun 1928 di daerah Bandung. Mang Aen punya tanah sempit kurang dari 0,5 hektar dan pacul sebagai satu-satunya alat produksi. Ia miskin karena hidup di bawah cengkeraman sistem penjajahan. Maka, Bung Karno menjadikan Mang Aen alias Marhaen sebagai simbol perjuangan merebut kemerdekaan.

Kini, setelah Indonesia 70 tahun merdeka, kita pernah punya prestasi gemilang tahun 1985 ketika Indonesia mencapai swasembada beras sehingga memperoleh penghargaan FAO, lembaga pangan dan pertanian PBB. Prestasi ini tercapai berkat pola kerja sama lintas sektor yang mencakup bimbingan massal penanaman bibit unggul (Departemen Pertanian), tersedianya air sampai ke saluran irigasi tersier (Departemen Pekerjaan Umum), topangan perkembangan pabrik pupuk (Departemen Perindustrian), intervensi pasar dengan harga dasar dan puncak (Bulog) yang pembiayaannya dijamin kredit likuiditas BI (Bank Indonesia), dan pengendalian impor beras (Departemen Perdagangan).

Program Selatan-Selatan

Prestasi Indonesia ini jadi perhatian dunia sehingga berkembang program kerja sama Selatan-Selatan. Indonesia mengirim petani dari Subang untuk mengajari petani Tanzania. Sekalipun petani Indonesia tak fasih berbahasa Inggris, juga bahasa lokal Afrika, program percontohan di Mtibawa, daerah Morogoro, Tanzania, berjalan lancar dan konkret: membangun sawah.

Julius Nyerere, negarawan dan mantan Presiden Tanzania, sangat terkesan dengan program kerja sama Selatan-Selatan ini sehingga menjadikannya saka guru program Kelompok 77 negara berkembang ketika itu.

Menjelang abad ke-21, bertiup angin "deregulasi perdagangan" sehingga tarif impor beras menjadi nol persen. Maksud deregulasi ialah meningkatkan akses beras ke pasar, mendorong efisiensi ekonomi, merangsang persaingan dengan beras impor sehingga memacu produksi. Namun, yang terjadi adalah impor beras menurunkan harga beras dalam negeri. Produsen beras yang paling terkena tentu saja petani gurem.

Sejak Januari 2003, Bulog berubah jadi perusahaan negara dan harus mampu membiayai aktivitas logistiknya. Tak ada lagi kredit likuiditas BI. Sirnalah peranan Bulog menerapkan "harga dasar" yang layak bagi petani. Ia berubah jadi sektor swasta yang mencari untung dan tidak lagi memelihara harga dasar bagi petani, terutama di musim panen.

Jika tahun 1980-an praktis tidak ada impor beras, menjelang akhir 1990-an hingga kini, jumlah impor beras mencapai ribuan ton. Juga konsumsi pangan berbasis bahan baku impor naik tajam, seperti jagung popcorn, maize corn, milled rice glazed, dan kacang kedelai. Dampaknya memukul petani produsen padi dalam negeri.

Nilai tukar petani (NTP) terdiri atas indeks harga yang diterima petani (It), mencakup tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan. Adapun indeks harga yang dibayar petani (Ib) terbagi atas indeks kelompok konsumsi rumah tangga, indeks kelompok biaya produksi, dan penambahan barang modal. Maka, NTP adalah pembagian It dengan Ib. Jika NTP = 100, indeks harga yang diterima petani sama dengan harga yang dibayarnya. Menurut laporan Badan Pusat Statistik, Juni 2014-2015, NTP tercatat 101,98 dan 100,52. Jadi, hidup petani kita sangat pas-pasan.

Di samping tingkat inflasi inti tahunan (yoy) sebesar 5,04 persen untuk Juni 2015, tercatat juga tingkat inflasi pedesaan (yoy) 7,86 persen, lebih tinggi daripada inflasi nasional. Karena itu, laju inflasi pedesaan lebih ganas daripada inflasi tingkat nasional.

Akhir-akhir ini berkembang pengusahaan lahan yang tak berimbang di sektor pertanian. Jika semula mayoritas pemilik lahan adalah petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektar, mencakup 14,5 juta rumah tangga, pada 2003-2013 jumlah petani dengan luas lahan lebih dari 30 hektar naik 22,8 persen menjadi 1,6 juta lebih. Kebanyakan berupa perusahaan pertanian berbadan hukum, terutama untuk palawija,  perikanan, dan perkebunan. Secara berangsur tumbuh pula struktur pasar oligopoli dengan 5 grup menguasai pangsa pasar kelapa sawit dan 3 perusahaan importir besar menguasai pasar kedelai.

Laju pertumbuhan turun

Pertanian, khususnya tanaman pangan, menderita laju pertumbuhan menurun dari 3,6 persen (2010) menjadi 0,2 persen (2014) dan -1,5 persen (kuartal I-2015). Padahal, 72 persen rumah tangga miskin di pedesaan bekerja di pertanian. Terjadi ketidaksesuaian antara perkembangan struktur ekonomi dan struktur lapangan kerja. Karena menurunnya laju pertumbuhan pertanian menurunkan pendapatan petani gurem, terjadi eksodus anak usia muda dari desa mencari kerja di kota.

Analisis pendataan potensi 77.439 desa (BPS 2011) mengungkapkan bahwa program yang paling bermanfaat untuk mengurangi kemiskinan di desa adalah mengembangkan pendidikan, infrastruktur jalan, akses finansial perbankan/kantor pos, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan dana bergulir nontani. Pembangunan infrastruktur jalan provinsi, kabupaten, dan kecamatan punya dampak sangat strategis di daerah.

PNPM perlu utamakan "nilai-tambah-tinggi" di pertanian. Agroindustri yang meningkatkan produktivitas penduduk lokal dan nilai tambah produk lokal pedesaan berdampak besar mengurangi kemiskinan. Ada setumpuk program dan hasil studi yang bisa dipakai untuk mengubah nasib petani Marhaen.

Yang dibutuhkan adalah koordinasi dan efektivitas kerja antar-kementerian bersama pemerintah provinsi sampai ke desa untuk menghentikan proses pemiskinan petani Marhaen dan menjadikannya fokus sentral tujuan pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar