Bioskop, Karakter Bangsa?
Garin Nugroho ; Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
30 Agustus 2015
Salah satu pertanyaan
terbesar era pemerintahan dewasa ini adalah bagaimana karakter bangsa yang
menjadi jargon Joko Widodo mampu bertumbuh di tengah ciri terbesar peradaban
pasar bebas dewasa ini, yakni kebebasan konsumen memilih produk. Bebas
memilih buah impor atau lokal. Bebas menonton film di bioskop. Warga hanya
jadi warga konsumen bukan warga negara?
Bagi saya, yang
termulia dalam membaca peradaban dewasa ini, justru perlombaan bangsa-bangsa
beradab untuk melahirkan strategi produktivitas lokal dalam penghormatan
pasar bebas. Pada kerja ini, maka warga tidak lagi sekadar diperlakukan
sebagai warga konsumen, namun warga negara. Pada kemuliaan kata warga negara,
maka pemerintah hingga sektor swasta yang mengelola ruang tumbuh warga
negara, senantiasa ikut bertanggung jawab atas kualitas tumbuhnya masyarakat
sipil yang semakin kritis dan punya rasa krisis, yakni semakin produktif,
berpengetahuan, berketerampilan, berselera, serta semakin beretika berbasis
profesionalisme.
Dasar pemikiran ini
menjadi penting, mengingat produktivitas suatu bangsa dalam berbagai aspek
kehidupan menjadi muara terbesar mengelola seluruh unsur keutamaan karakter
bangsa, yakni keunggulan kualitas hidup, cara kerja, hingga cara menanggapi
dan bereaksi terhadap perubahan global.
Simak film Hollywood.
Ia tidak sekadar film, namun sejarah, karakter bangsa Amerika dan diplomasi
politik maupun perdagangan terbesar Amerika. Simak, sejarah tokoh antagonis
film Amerika, senantiasa menjadi bagian bangunan politik luar negeri Amerika.
Jangan heran, ketika awal Perang Dunia II, film Amerika antagonisnya pastilah
orang Jerman sesuai situasi erang dunia saat itu, demikian juga ketika Perang
Dingin pastilah antagonis film Amerika adalah Rusia. Bisa ditebak, kini musuh
Amerika pastilah teroris maupun beragam antagonis yang tidak jelas
asal-usulnya, seiring kebingungan Amerika menemukan musuh terbesarnya. Jangan
heran pula, Amerika akan melakukan perlindungan distribusi filmnya dengan
cara apa pun.
Catatan di atas
menyimpulkan satu nilai keutamaan bahwa kebebasan demokrasi dalam jargon
karakter bangsa memerlukan satu kata: keberpihakan pada daya hidup
produktivitas lokal. Yang pada gilirannya menyangkut ketahanan pangan lokal,
ketahanan politik, hingga sains dan budaya, seni, hingga hiburan.
Haruslah dicatat,
syarat-syarat untuk masuk demokrasi dalam pasar bebas perlu waktu dan mahal,
maka tanpa keberpihakan pemerintah maupun sektor swasta akan muncul
ketimpangan dan berlanjut pada kemunduran produktivitas lokal. Pada
gilirannya, pilihan pada impor terasa menjadi jalan penyelamatan, namun
sesungguhnya jalan pintas dari kekalahan produktivitas sebuah bangsa.
Simak, kasus daging
sapi, pastilah daging sapi Australia yang dibawa dengan kapal layaknya kapal
pesiar akan lebih cepat dan terjamin dibanding sapi dari NTT yang diangkut
kapal kayu. Atau simak, buah impor pastilah lebih murah, cepat, dan enak
dibanding upaya memproduksi buah lokal dengan percepatan produksi,
kenyamanan, dan keenakan dalam waktu pendek. Atau simak pertunjukan industri
teater musikal, pastilah lebih cepat, bergengsi, dan terjamin ekonomi
mengimpor pertunjukan dari Amerika yang sudah terbaca pasar dan standarnya.
Demikian juga dalam
film, pastilah lebih mudah memperhitungkan keuntungan film-film populer
Hollywood dibanding film Indonesia.
Catatan di atas juga
menunjukkan bahwa persaingan pasar bebas tidak selalu dalam kesetaraan waktu
serta ruang tubuh antara produksi lokal dan impor. Simaklah, kelengkapan
berdirinya institusi demokrasi sebagai jaminan terjaganya ekonomi demokrasi.
Pada kasus film, sesungguhnya industri film belum memenuhi syarat demokratis
ekonomi. Sebutlah, tidak adanya institusi pengawas publik independen terhadap
jumlah tiket hingga jumlah penonton serta sistem distribusi. Atau juga
lembaga film (Badan Perfilman Indonesia) yang mempunyai dasar hukum serta
dukungan administrasi pelaksana atau juga serikat kerja. Oleh karena itu,
seluruh debat tentang data ketidakadilan distribusi menjadi tidak memiliki
akuntabilitasnya karena bersumber dari bioskop itu sendiri. Dengan demikian,
dunia film kehilangan dasar demokratisasi ekonominya.
Catatan di atas saya
perlukan untuk memberi jawaban debat di harian ini antara pihak Bioskop 21
dan pelaku industri, kritikus dan pencipta film yang belum merasa terciptanya
demokrasi distribusi film yang berpihak pada karakter bangsa, yakni
produktivitas film lokal.
Saya pribadi harus
memuji upaya pertumbuhan sistem Bioskop 21 yang awalnya monopoli dan kroni,
kini berupaya bertumbuh dalam pasar demokratisasi. Demikian juga, kerja lewat
dukungan aktif film indonesia dengan menyelenggarakan festival film pendek,
dan lain-lain. Namun, selayaknya jalan menuju demokratisasi ekonomi tidak
sebatas kampanye lewat festival, namun aktif secara konstruktif, bersama-sama
memperlengkapi syarat-syarat institusi demokrasi. Untuk tidak lagi disebut
monopoli maupun menganakemaskan Hollywood dan menganaktirikan film nasional.
Sebutlah, Hollywood lebih mudah memesan tanggal tayang yang rekatif ekonomis.
Saya masih ingat,
ketika saya menjadi juri di Busan International Film Festival kedua kalinya.
Saya melihat demonstrasi pelaku film Korea menutup bioskop yang dianggap
menjadikan Hollywood sebagai anak emas, bahkan kemudian para demonstran
melempar ular ke dalam bioskop. Catatan ini menunjukkan bahwa wajah industri
film Korea dewasa ini bertumbuh dari gesekan besar tentang demokratisasi dan
karakter bangsa, yang kemudian berevolusi menjadi kerja konstruktif
pemerintah, pelaku film dan swasta untuk membawa Korea dalam wajah industri
film dewasa ini, lewat lebih dari 10 tahun.
Pada kenyataan ini,
saatnya kerja konstruktif bersama dilakukan, namun juga orang film harus
berani terus menuntut dan berkata ” tidak” pada diskriminasi produktivitas
produk lokal. Jika ini tidak dilakukan sebagai suatu kewajaran, Nawacita
Jokowi hanya jadi cita-cita yang tak bernyawa... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar