Jumat, 28 Agustus 2015

Bapasnas Jangan Dibatalkan

Bapasnas Jangan Dibatalkan

Adrianus Meliala  ;   Kriminolog dan Guru Besar FISIP UI; Komisioner Komisi Kepolisian Nasional; Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Kemenkumham
                                                 KORAN TEMPO, 27 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saat Handoyo Sudrajat diberitakan mundur dari jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, dua bulan yang lalu, diberitakan bahwa salah satu alasannya adalah ia gagal membentuk Bapasnas.

Apa itu? Bapasnas atau Badan Pemasyarakatan Nasional adalah badan yang sedianya dibentuk pemerintahan SBY berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta dari Kementerian Hukum dan HAM. Namun, karena pengusulannya dilakukan saat injury time yakni minggu-minggu terakhir masa pemerintahan SBY, peraturan presiden (perpres) mengenai itu tak kunjung ditandatangani hingga akhirnya SBY lengser.

Saat Presiden Jokowi menjabat, salah satu kebijakan yang pertama dicanangkan adalah menghentikan pembentukan badan baru. Alhasil, rencana perpres Bapasnas kemudian menjadi mentah kembali. Tentunya, jika itu merupakan kebijakan Presiden, Handoyo tidak mungkin mutung. Sebaliknya, selaku dirjen, ia pasti taat.

Namun, lain cerita ketika batalnya Bapasnas itu konon diakibatkan antara lain keengganan sementara pihak untuk mendorong perubahan besar di kementerian tersebut. Alih-alih mendorong, malah Handoyo merasa dijegal, khususnya ketika terlihat tetap ada peluang membentuk badan baru apabila dianggap urgen dan penting. Ambil contoh, walau Presiden Jokowi melarang badan baru, toh tetap membentuk Badan Ekonomi Kreatif.

Mengapa Perlu Bapasnas

Selama ini kita selalu memperoleh gambaran buruk tentang dunia pemasyarakatan. Ada berita tentang pelarian narapidana, tentang pabrik narkoba di penjara, tentang perkelahian, bahkan pembunuhan sesama narapidana dan berbagai berita negatif lainnya. Dari berbagai studi yang ada, semuanya menunjuk ketidakberesan tata kelola (bad governance management ) sebagai biang keladi permasalahan yang lalu berdampak di tingkat operasional.

Satu contoh kecil: jika ditanyakan siapa lembaga induk penanggung jawab aktivitas dari ratusan lapas, rutan (rumah tahanan), atau bapas (balai pemasyarakatan) di seluruh Indonesia, akan terjadi situasi saling tunjuk. Tak satu pun pihak merasa paling bertanggung jawab.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan misalnya sebagai pihak yang secara umum dipersepsi paling dekat hubungannya dengan berbagai unit pelaksana teknis tersebut, walau dengan berat hati, pasti menolak. Sebagai satuan kerja (satker) keditjenan, Ditjen Pemasyarakatan (biasa disebut Ditjen Pas) adalah entitas tingkat pusat yang berkemampuan dan hanya berkewenangan dalam rangka pembuatan dan pengevaluasi kebijakan, bukan operasional.

Di pihak lain, terdapat Sekretariat Jenderal Kemenkumham sebagai pihak yang menjadi pengelola anggaran bagi ratusan unit pelaksana teknis tersebut. Tidak hanya itu, melalui kakikakinya di daerah yakni kanwil, terdapat kepala-kepala Divisi Pemasyarakatan yang melaporkan segala sesuatu terkait unit pelaksana teknis di wilayahnya ke Setjen Kemenkumham.

Singkatnya, bisakah tudingan kita arahkan kepada Setjen merespons berbagai hal negatif menyangkut pemasyarakatan? Kemungkinan besar, jajaran Setjen juga menolak. Toh, kilahnya, Setjen hanya menjalankan kebijakanyangdibuatolehDitjen Pas walau memang tak jarang apa yang direncanakan oleh Ditjen Pas direspons dan direalisasi secara berbeda oleh Setjen.

Belum lagi jika ditinjau dari pihak yang menjadi pengendali akuntabilitas yakni Inspektorat Jenderal Kemenkumham. Itjen tentu lebih menilai kinerja suatu satuan kerja berbasis ukuranukuran baku dan formal ala sekjen serta, di pihak lain, kurang melihat dinamika lapangan yang seringkali lebih dihayati oleh Ditjen Pas. Dalam hal ini, lagi-lagi terdapat ketidaktepatan tata kelola.

Terkait pemisahan kewenangan, yakni antara yang membuat kebijakan dan yang melaksanakan kebijakan, sebenarnya ada sejarahnya. Ada masa di mana Ditjen Pemasyarakatan sendirilah yang menjadi pembuat kebijakan sekaligus eksekutor anggaran. Yang terjadi kemudian adalah situasi salah urus. Korupsi pun marak terjadi.

Menyadari itu, muncul pemikiran membentuk Badan Pemasyarakatan Nasional, sebagai solusi tata kelola yang benar. Diharapkan, dengan tata kelola yang benar, akan berujung pada operasionallapas/ rutandanbapasyang juga benar dan semakin baik. Badan dianggap suatu entitas yang tepat untuk mengelola fungsi pemasyarakatan sebagaimana diejawantahkan melalui lapas/rutan/bapas ketimbang direktorat jenderal.

Sebagai badan, Bapasnas direncanakan tidak hanya memiliki fungsi perancangan kebijakan, tetapi juga fungsi operasional dan fungsi pengawasan secara lengkap. Ambil contoh, Badan Narkotika Nasional yang mandiri dan badan-badan lain yang berkedudukan langsung di bawah Presiden.

Dari segi kompleksitas, Bapasnas juga dianggap relevan dan urgen. Dengan praktisi pemasyarakatan berjumlah sekitar 30.000 orang yang mengelola 170.000-an narapidana dan tahanan serta menangani 600- an fasilitas lapas/rutan/bapas di seluruh Indonesia, entitas badan dianggap pas untuk membuat struktur organisasi dan tata kelola (SOTK) yang tipis dan ramping.

Dengan begitu, jika timbul masalah, dapat segera ditangani oleh kepala badan tersebut. Tidak seperti sekarang, setiap masalah harus melalui proses saling tunjuk hidung terlebih dahulu.

Menunda, Bukan Membatalkan

Mengacu jalan pemikiran di atas, besar harapan penulis agar proposal pembentukan Bapasnas tidak dibatalkan, melainkan hanya ditunda. Dalam kaitan itu, diharapkan kepada menteri kemenkumham untuk bersedia menerima pemikiran baru dalam rangka perubahan besar di jajarannya.

Memang, jika lahir, Bapasnas akan membawa perubahan besar di lingkungan kementerian itu. Jika Bapasnas diputuskan menjadi badan di luar Kemenkumham dan di bawah Presiden RI (dengan mempertimbangkan kesetaraan dengan instansi-instansi peradilan pidana lainnya yang merupakan jajaran lembaga setingkat kementerian atau minimal eselon 1), pada dasarnya akan terjadi bedol desa.

Bedol desa? Untuk diketahui, 30 ribuan pegawai rutan/lapas/bapas merupakan 2/3 dari total pegawai Kemenkumham. Selanjutnya, jika ditotal, anggaran bagi 600 UPT Pemasyarakatan plus 33 Divisi Pemasyarakatan, demikian pula bahan makanan bagi narapidana/ tahanan serta gaji pegawai pemasyarakatan, mencapai sekitar Rp6 triliun.

Jumlah ini pada dasarnya kurang lebih 60% dari total anggaran bagi Kemenkumham. Dua indikator itu saja sudah mencerminkan besarnya tantangan dari kalangan internal apabila Ditjen Pas ingin memisahkan diri dan berganti baju menjadi Bapasnas. Padahal, di pihak lain, masih terdapat 10 jabatan eselon 1 di kementerian tersebut, yang tentu tidak akan membuat struktur Kemenkumham makin mengecil apabila Bapasnas terbentuk.

Maka itu, terlepas dari resistensi internal itu, diperlukan kebesaran hati menkumham sendiri untuk mendorong lahirnya Bapasnas demi pelayanan yang lebih baik bagi para narapidana dan tahanan. Jika selama ini lapas/rutan hanya mampu mengurung mereka secara fisik dan tidak mampu memberikan keterampilan apa pun (mengingat ketiadaan anggaran), pada dasarnya kita telah menanam ”bom waktu kriminalitas” di masyarakat secara sengaja, namun perlahan.

Bapasnas yang jelas dari segi tata kelola dan akuntabilitas juga akan amat mengurangi kemunculan ekses-ekses seperti yang selalu kita dengar mengenai lapas/rutan/bapas. Salah satunya mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2014 tentang Pemberian Remisi bagi Narapidana Korupsi dan Terorisme.

Selama ini, kembali lagi, Ditjen Pas amat ewuh pakewuh menyikapi itu mengingat harus seirama dengan organisasi induknya yakni Kemenkumham. Semoga Dirjen Pemasyarakatan yang baru saja dilantik dapat merealisasikan harapan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar