Bapasnas Jangan Dibatalkan
Adrianus Meliala ; Kriminolog dan Guru Besar FISIP UI; Komisioner
Komisi Kepolisian Nasional; Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan
Kemenkumham
|
KORAN
TEMPO, 27 Agustus 2015
Saat Handoyo Sudrajat
diberitakan mundur dari jabatan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, dua bulan
yang lalu, diberitakan bahwa salah satu alasannya adalah ia gagal membentuk
Bapasnas.
Apa itu? Bapasnas atau
Badan Pemasyarakatan Nasional adalah badan yang sedianya dibentuk
pemerintahan SBY berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta dari Kementerian Hukum dan HAM.
Namun, karena pengusulannya dilakukan saat injury time yakni minggu-minggu terakhir masa pemerintahan SBY,
peraturan presiden (perpres) mengenai itu tak kunjung ditandatangani hingga
akhirnya SBY lengser.
Saat Presiden Jokowi
menjabat, salah satu kebijakan yang pertama dicanangkan adalah menghentikan
pembentukan badan baru. Alhasil, rencana perpres Bapasnas kemudian menjadi
mentah kembali. Tentunya, jika itu merupakan kebijakan Presiden, Handoyo
tidak mungkin mutung. Sebaliknya, selaku dirjen, ia pasti taat.
Namun, lain cerita
ketika batalnya Bapasnas itu konon diakibatkan antara lain keengganan
sementara pihak untuk mendorong perubahan besar di kementerian tersebut.
Alih-alih mendorong, malah Handoyo merasa dijegal, khususnya ketika terlihat
tetap ada peluang membentuk badan baru apabila dianggap urgen dan penting. Ambil
contoh, walau Presiden Jokowi melarang badan baru, toh tetap membentuk Badan
Ekonomi Kreatif.
Mengapa Perlu Bapasnas
Selama ini kita selalu
memperoleh gambaran buruk tentang dunia pemasyarakatan. Ada berita tentang
pelarian narapidana, tentang pabrik narkoba di penjara, tentang perkelahian,
bahkan pembunuhan sesama narapidana dan berbagai berita negatif lainnya. Dari
berbagai studi yang ada, semuanya menunjuk ketidakberesan tata kelola (bad
governance management ) sebagai biang keladi permasalahan yang lalu berdampak
di tingkat operasional.
Satu contoh kecil:
jika ditanyakan siapa lembaga induk penanggung jawab aktivitas dari ratusan
lapas, rutan (rumah tahanan), atau bapas (balai pemasyarakatan) di seluruh
Indonesia, akan terjadi situasi saling tunjuk. Tak satu pun pihak merasa
paling bertanggung jawab.
Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan misalnya sebagai pihak yang secara umum dipersepsi paling
dekat hubungannya dengan berbagai unit pelaksana teknis tersebut, walau
dengan berat hati, pasti menolak. Sebagai satuan kerja (satker) keditjenan,
Ditjen Pemasyarakatan (biasa disebut Ditjen Pas) adalah entitas tingkat pusat
yang berkemampuan dan hanya berkewenangan dalam rangka pembuatan dan
pengevaluasi kebijakan, bukan operasional.
Di pihak lain, terdapat
Sekretariat Jenderal Kemenkumham sebagai pihak yang menjadi pengelola
anggaran bagi ratusan unit pelaksana teknis tersebut. Tidak hanya itu,
melalui kakikakinya di daerah yakni kanwil, terdapat kepala-kepala Divisi
Pemasyarakatan yang melaporkan segala sesuatu terkait unit pelaksana teknis
di wilayahnya ke Setjen Kemenkumham.
Singkatnya, bisakah
tudingan kita arahkan kepada Setjen merespons berbagai hal negatif menyangkut
pemasyarakatan? Kemungkinan besar, jajaran Setjen juga menolak. Toh,
kilahnya, Setjen hanya menjalankan kebijakanyangdibuatolehDitjen Pas walau
memang tak jarang apa yang direncanakan oleh Ditjen Pas direspons dan
direalisasi secara berbeda oleh Setjen.
Belum lagi jika
ditinjau dari pihak yang menjadi pengendali akuntabilitas yakni Inspektorat
Jenderal Kemenkumham. Itjen tentu lebih menilai kinerja suatu satuan kerja
berbasis ukuranukuran baku dan formal ala sekjen serta, di pihak lain, kurang
melihat dinamika lapangan yang seringkali lebih dihayati oleh Ditjen Pas.
Dalam hal ini, lagi-lagi terdapat ketidaktepatan tata kelola.
Terkait pemisahan
kewenangan, yakni antara yang membuat kebijakan dan yang melaksanakan
kebijakan, sebenarnya ada sejarahnya. Ada masa di mana Ditjen Pemasyarakatan
sendirilah yang menjadi pembuat kebijakan sekaligus eksekutor anggaran. Yang
terjadi kemudian adalah situasi salah urus. Korupsi pun marak terjadi.
Menyadari itu, muncul
pemikiran membentuk Badan Pemasyarakatan Nasional, sebagai solusi tata kelola
yang benar. Diharapkan, dengan tata kelola yang benar, akan berujung pada
operasionallapas/ rutandanbapasyang juga benar dan semakin baik. Badan
dianggap suatu entitas yang tepat untuk mengelola fungsi pemasyarakatan
sebagaimana diejawantahkan melalui lapas/rutan/bapas ketimbang direktorat
jenderal.
Sebagai badan,
Bapasnas direncanakan tidak hanya memiliki fungsi perancangan kebijakan,
tetapi juga fungsi operasional dan fungsi pengawasan secara lengkap. Ambil
contoh, Badan Narkotika Nasional yang mandiri dan badan-badan lain yang
berkedudukan langsung di bawah Presiden.
Dari segi
kompleksitas, Bapasnas juga dianggap relevan dan urgen. Dengan praktisi
pemasyarakatan berjumlah sekitar 30.000 orang yang mengelola 170.000-an narapidana
dan tahanan serta menangani 600- an fasilitas lapas/rutan/bapas di seluruh
Indonesia, entitas badan dianggap pas untuk membuat struktur organisasi dan
tata kelola (SOTK) yang tipis dan ramping.
Dengan begitu, jika
timbul masalah, dapat segera ditangani oleh kepala badan tersebut. Tidak
seperti sekarang, setiap masalah harus melalui proses saling tunjuk hidung
terlebih dahulu.
Menunda, Bukan Membatalkan
Mengacu jalan
pemikiran di atas, besar harapan penulis agar proposal pembentukan Bapasnas
tidak dibatalkan, melainkan hanya ditunda. Dalam kaitan itu, diharapkan
kepada menteri kemenkumham untuk bersedia menerima pemikiran baru dalam
rangka perubahan besar di jajarannya.
Memang, jika lahir,
Bapasnas akan membawa perubahan besar di lingkungan kementerian itu. Jika
Bapasnas diputuskan menjadi badan di luar Kemenkumham dan di bawah Presiden
RI (dengan mempertimbangkan kesetaraan dengan instansi-instansi peradilan
pidana lainnya yang merupakan jajaran lembaga setingkat kementerian atau
minimal eselon 1), pada dasarnya akan terjadi bedol desa.
Bedol desa? Untuk
diketahui, 30 ribuan pegawai rutan/lapas/bapas merupakan 2/3 dari total
pegawai Kemenkumham. Selanjutnya, jika ditotal, anggaran bagi 600 UPT
Pemasyarakatan plus 33 Divisi Pemasyarakatan, demikian pula bahan makanan
bagi narapidana/ tahanan serta gaji pegawai pemasyarakatan, mencapai sekitar
Rp6 triliun.
Jumlah ini pada
dasarnya kurang lebih 60% dari total anggaran bagi Kemenkumham. Dua indikator
itu saja sudah mencerminkan besarnya tantangan dari kalangan internal apabila
Ditjen Pas ingin memisahkan diri dan berganti baju menjadi Bapasnas. Padahal,
di pihak lain, masih terdapat 10 jabatan eselon 1 di kementerian tersebut,
yang tentu tidak akan membuat struktur Kemenkumham makin mengecil apabila
Bapasnas terbentuk.
Maka itu, terlepas
dari resistensi internal itu, diperlukan kebesaran hati menkumham sendiri
untuk mendorong lahirnya Bapasnas demi pelayanan yang lebih baik bagi para
narapidana dan tahanan. Jika selama ini lapas/rutan hanya mampu mengurung
mereka secara fisik dan tidak mampu memberikan keterampilan apa pun
(mengingat ketiadaan anggaran), pada dasarnya kita telah menanam ”bom waktu
kriminalitas” di masyarakat secara sengaja, namun perlahan.
Bapasnas yang jelas
dari segi tata kelola dan akuntabilitas juga akan amat mengurangi kemunculan
ekses-ekses seperti yang selalu kita dengar mengenai lapas/rutan/bapas. Salah
satunya mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2014 tentang Pemberian
Remisi bagi Narapidana Korupsi dan Terorisme.
Selama ini, kembali
lagi, Ditjen Pas amat ewuh pakewuh menyikapi itu mengingat harus seirama
dengan organisasi induknya yakni Kemenkumham. Semoga Dirjen Pemasyarakatan
yang baru saja dilantik dapat merealisasikan harapan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar