Rupiah dan Etika Pasar Uang Global
Augustinus Simanjutak ; Dosen Etika Bisnis Program Manajemen Bisnis
Fakultas Ekonomi, Universitas
Kristen Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 26 Agustus 2015
NILAI tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat (USD) akhirnya menyentuh level Rp 14.000 per USD sejak Senin (24/8).
Rupiah sudah berada dalam posisi undervalue yang memicu kekhawatiran dunia
usaha, terutama pascadevaluasi mata uang Tiongkok (yuan). Bukan hanya rupiah,
mata uang lainnya serta bursa saham global juga terkena imbas devaluasi yuan.
Dikhawatirkan, langkah devaluasi di Tiongkok bakal diikuti banyak negara
sehingga berujung perang kurs global (global
currency war) .
Merosotnya nilai rupiah merupakan dampak dari
budaya pasar global yang eksis tanpa batas-batas transaksi dan etika
perilaku. Pasar uang global seperti wilayah yang tak berotoritas sehingga
setiap negara maupun pelaku pasar memiliki kebebasan mutlak untuk bertindak
atau bertransaksi demi keuntungan masing-masing. Kondisi sekarang mirip dengan
krisis 1997–1998 dan 2008. Menurut Hoje Jo cs (1998), krisis semacam itu
merupakan dampak penyalahgunaan sekuritas derivatif (misuse of derivatives) yang bersifat spekulatif. Risikonya bisa
tertransfer secara cepat ke institusi lain.
Karena itu, forum Global Sustainable Currency Summit (GSCS) di Xi’an, Tiongkok,
pada September 2012 pernah membahas etika kebijakan dan transaksi di pasar
uang global demi menjamin masa depan dunia yang berkelanjutan. Sebab, menurut
Christoph Stueckelberger (narasumber GSCS), hampir 90 persen transaksi di
pasar uang global cenderung spekulatif dan tidak link dengan ekonomi riil.
Untuk itu, Christoph mengusulkan pentingnya aturan/aturan bersama soal
transaksi di pasar global.
Misalnya, sungguh tidak etis jika devaluasi di
suatu negara akhirnya menghantam ekonomi dan mata uang negara lain.
Perjanjian formal yang berupa ragam restriksi lewat forum World Trade Organization (WTO) seolah
tak bisa diterapkan di pasar uang global. Itu berarti perilaku di pasar
global bergantung etika para pelaku dan pengambil kebijakan kurs. Ironisnya,
nilai mata uang suatu negara sudah bergantung pada persepsi pelaku pasar atas
gejolak atau isu yang mengemuka. Karena itu, nilai mata uang mestinya diukur
berdasar kinerja dan kemampuan ekonomi secara riil di suatu negara, bukan
persepsi di pasar uang.
Selain itu, nilai mata uang seharusnya
bersifat long term dengan kebutuhan
penukaran (transaksi) yang riil, tidak menjadi orientasi profit jangka pendek
(short term). Kenyataannya, mata
uang setiap negara bisa berubah dalam hitungan detik gara-gara permainan atau
guncangan di pasar global. Akibatnya, banyak transaksi antarnegara yang sulit
mematok nilai kurs yang tetap karena gelombang fluktuasi di pasar global.
Banyak pelaku pasar saham global dan domestik
yang memakai dolar AS (USD) sebagai alat transaksi. Karena itu, saat terjadi capital inflow atau hot money ke suatu negara,
terbentuklah economic bubble
(gelembung ekonomi) yang ditandai dengan indeks harga saham yang melonjak
naik. Anehnya, situasi seperti itu sering dianggap sebagai bulan madu di
bursa saham sekaligus membuat kurs di negara tersebut cenderung menguat
(sementara). Namun, sebaliknya, kala hot
money itu kembali keluar secara besar-besaran gara-gara isu global plus
penjualan masif oleh para pelaku pasar, indeks harga sahamnya akan terkoreksi
tajam.
Make Money vs Make
Product
Nilai kurs negara itu akhirnya ikut anjlok.
Artinya, derasnya dana asing yang masuk ke suatu negara lewat pasar uang
tidak lepas dari motivasi yang tidak etis para pelaku pasar yang hanya
berorientasi pada untung cepat dan besar (high
gain) dari fluktuasi harga saham tanpa memikirkan dampak negatifnya
terhadap sistem keuangan global. Uang dan saham yang seharusnya merupakan
objek investasi dalam menunjang proses produksi telah berubah menjadi objek
spekulasi dengan pola buy low, sell
high. Pasar saham seharusnya bertujuan mendukung proses produksi (make real product) demi pembangunan
ekonomi dan masyarakat yang berkualitas.
Kenyataannya, banyak pelaku pasar yang hanya
bermimpi meraih untung tak terbatas dari spekulasi harga saham (make money) lewat ”peternakan” uang di
pasar global. Itulah pendistorsi bisnis investasi di pasar global yang mulai
mirip dengan dunia judi. Pertanyaan etis bagi mereka yang meraih profit
secara cepat dan berlipat ganda dari pasar modal: Dari manakah asalnya profit
itu? Apakah ada prestasi bisnis berupa barang/jasa yang dihasilkan secara
nyata sehingga para pelaku pasar berhak mendapatkan kontraprestasi yang
berlipat ganda?
Sebagaimana dikatakan Henry Ford: A business that makes nothing but money is
a poor business. Artinya, bisnis yang kaya itu harus menghasilkan
barang/jasa yang bisa dinikmati masyarakat. Idealnya, mayoritas modal yang
sedang berputar di pasar uang global diarahkan untuk pengembangan sektor riil
guna menghasilkan produk barang/jasa yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat
manusia. Di tengah naiknya harga daging sapi akhir-akhir ini, kita butuh
modal untuk peternakan sapi (make
product), bukan untuk beternak uang (make
money). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar