Antara Orpah, Kusno, Tuhan, dan Saiton
Candra Kurnia ; Wartawan Jawa Pos
|
JAWA
POS, 28 Agustus 2015
PADA 29 Januari 1954, seorang bayi perempuan
lahir dari rahim Vernita Lee di rumah sakit Kosciusko Mississippi, Amerika
Serikat. Bibinya urun saran, memberikan nama Orpah. Nama indah yang
dikutipnya dari sebuah kisah Alkitab.
Bidan tua yang bertugas mencatatkan nama itu
salah mendengar ejaan yang diucapkan sang bibi. Maksud hati menyematkan doa
pada nama bayi mungil tersebut, tapi karena kealpaan si bidan, Orpah akhirnya
menjadi Oprah. Kelak perempuan itu menjadi ratu talk show paling sukses
sejagat dengan kekayaan mencapai USD 3 miliar (Rp 41,9 triliun).
Lima puluh tiga tahun sebelum Oprah lahir, 6
Juni 1901, di Surabaya, jabang bayi yang menjadi cikal bakal bapak bangsa
Indonesia lahir. Waktu itu diberi nama Kusnososro, panggilannya Kusno. Sakit
yang berkepanjangan di masa kanak-kanaknya mendorong orang tuanya untuk
melakukan berbagai tirakat. Usaha itu sia-sia.
Sampai akhirnya, pada usia sebelas tahun,
solusi pamungkas ala Jawa yang diharapkan bisa mengusir penyakit dilakukan:
ganti nama. Karna, kesatria sakti panglima Kurawa dalam kisah Mahabharata,
dipilih. Dengan sedikit sentuhan Jawa, jadilah namanya Soekarno. Penyakitnya
tak datang-datang lagi.
Saat ini masyarakat Indonesia sedang
dihebohkan beredarnya dua KTP dengan menyandang nama yang tidak umum,
setidaknya untuk masyarakat kita. Yang seorang bernama Tuhan. Seorang lagi
Saiton.
Tuhan, warga Dusun Krajan, dilahirkan di
Banyuwangi pada 30 Juni 1973. Sedangkan Saiton adalah warga Lampung,
kelahiran Paldas Banyuasin, 10 Febuari 1976.
Foto bergambar kartu identitas keduanya, Tuhan
dan Saiton, menjadi viral di dunia maya. Dunia mereka yang sebelumnya adem
ayem saja itu sekonyong-konyong berubah. Wartawan menyerbu rumah mereka untuk
menanyakan ini-itu. Pokoknya heboh.
Sampai-sampai Wakil Ketua MPR Hidayat Nur
Wahid yang supersibuk memikirkan negara meluangkan waktu untuk nimbrung.
Katanya, lebih baik nama dua orang tersebut diganti saja. Meski tidak ada
aturan negara yang dilanggar, secara Islam nama itu haruslah yang baik karena
mengandung doa dan harapan. MUI dan komisi urusan agama DPR ikut-ikutan
mendukung.
Pak Hidayat juga bilang, dengan nama itu,
orang-orang di sekitar mereka tidak akan bangga. Tahu dari mana?
Komnas HAM juga tak kalah ”genit”. Mereka
mewanti-wanti bahwa mengganti nama adalah urusan individu. Tidak boleh ada
paksaan. Itu sudah masuk wilayah privat yang siapa pun, termasuk dewan
tertinggi negeri ini, MPR, tidak berhak mencampuri.
Dari hasil wawancara para wartawan yang
mendatangi rumah Saiton, klaim awal Pak Hidayat itu terbukti tidak beralasan.
Pria 39 tahun tersebut bukannya tidak pernah ingin mengganti namanya. Dua
kali malah.
Menurut penuturan Saiton, orang tuanya seharusnya
punya 13 anak. Tapi, hampir semua kakaknya meninggal pada usia 5–7 tahun.
Hanya tersisa dua yang hidup. Saking frustrasinya, ketika Saiton lahir, sang
bapak sudah pesimistis anaknya yang satu itu bisa bertahan hidup.
Akhirnya, dia namakan saja anaknya Saiton.
Bisa jadi, bapaknya berpikir: Apalah arti sebuah nama, toh nanti mati juga.
Karena beliau menganggap keluarganya yang terus ditimpa petaka tersebut
sedang diganggu setan, dinamailah sang anak itu Saiton.
”Ajaibnya”, anak itu bertahan hidup. Sampai
usia sang anak tiga tahun, ayahnya terusik untuk mengganti nama. Putranya
yang menjadi tumpuan harapannya itu sering di-bully teman-temannya karena nama tersebut. Iskandar disiapkan
sebagai nama pengganti. Begitu ritual dipersiapkan, Saiton sakit parah. Atas
saran orang pintar, namanya dikembalikan. Dan, simsalabim, penyakit itu sirna.
Bukan sekali itu namanya akan diganti. Pada
1999, rekan-rekannya di kampus juga kembali mendorong. Kali ini nama Muhammad
Ibrahim yang ditawarkan. Kurang hebat apa nama itu? Tapi, lagi-lagi penyakit
keras menimpanya.
Sang istri, Leni Marlina, juga sudah
menyatakan tidak berkeberatan dengan nama suaminya. Jadi, kalau ada yang
bilang bahwa keluarganya tidak bangga dengan nama itu, tolong tanya dulu
kepada bapak Saiton.
Pertanyaannya: Apakah nama itu yang
meyelamatkan Saiton sehingga bertahan hidup sampai usia 39 tahun sekarang?
Sedangkan sebelas saudaranya tak merasakan hidup sampai belia. Wallahualam.
Sama misteriusnya dengan pertanyaan: Apakah
jika nama Oprah atau Soekarno tidak salah tulis atau tidak diganti, mereka
akan tetap menjadi orang besar? Relakah Anda punya presiden bernama Kusno?
Atau bandara terbesar yang menjadi kebanggaan Indonesia itu bernama
Kusno-Hatta, disingkat Kusta? Agak geli kalau saya.
Yang misterius biarlah tetap misterius. Ada
perkara besar yang lebih tampak dan benderang di depan mata sekarang ini.
Krisis keuangan global yang mulai mengerek harga tempe dan tahu. Di situlah
buah pikiran orang-orang hebat semacam Hidayat Nur Wahid, MUI, atau Komisi
III DPR lebih dibutuhkan.
Lagi pula, saya sedang membayangkan suatu hari
nanti Tuhan, Saiton, dan Rupiah diundang untuk jadi bintang tamu di sebuah
talk show TV yang hobi memburu rating
itu. Di sana, Tuhan dan Saiton bisa bertemu, lalu keduanya bersalaman.
Kemudian, mereka membicarakan Rupiah. Bukankah Saiton yang ini berijazah S-2?
Ini hanya akan terjadi di Indonesia lho… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar