Sabtu, 29 Agustus 2015

Antara Orpah, Kusno, Tuhan, dan Saiton

Antara Orpah, Kusno, Tuhan, dan Saiton

Candra Kurnia  ;  Wartawan Jawa Pos
                                                      JAWA POS, 28 Agustus 2015     

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA 29 Januari 1954, seorang bayi perempuan lahir dari rahim Vernita Lee di rumah sakit Kosciusko Mississippi, Amerika Serikat. Bibinya urun saran, memberikan nama Orpah. Nama indah yang dikutipnya dari sebuah kisah Alkitab.

Bidan tua yang bertugas mencatatkan nama itu salah mendengar ejaan yang diucapkan sang bibi. Maksud hati menyematkan doa pada nama bayi mungil tersebut, tapi karena kealpaan si bidan, Orpah akhirnya menjadi Oprah. Kelak perempuan itu menjadi ratu talk show paling sukses sejagat dengan kekayaan mencapai USD 3 miliar (Rp 41,9 triliun).

Lima puluh tiga tahun sebelum Oprah lahir, 6 Juni 1901, di Surabaya, jabang bayi yang menjadi cikal bakal bapak bangsa Indonesia lahir. Waktu itu diberi nama Kusnososro, panggilannya Kusno. Sakit yang berkepanjangan di masa kanak-kanaknya mendorong orang tuanya untuk melakukan berbagai tirakat. Usaha itu sia-sia.

Sampai akhirnya, pada usia sebelas tahun, solusi pamungkas ala Jawa yang diharapkan bisa mengusir penyakit dilakukan: ganti nama. Karna, kesatria sakti panglima Kurawa dalam kisah Mahabharata, dipilih. Dengan sedikit sentuhan Jawa, jadilah namanya Soekarno. Penyakitnya tak datang-datang lagi.

Saat ini masyarakat Indonesia sedang dihebohkan beredarnya dua KTP dengan menyandang nama yang tidak umum, setidaknya untuk masyarakat kita. Yang seorang bernama Tuhan. Seorang lagi Saiton.

Tuhan, warga Dusun Krajan, dilahirkan di Banyuwangi pada 30 Juni 1973. Sedangkan Saiton adalah warga Lampung, kelahiran Paldas Banyuasin, 10 Febuari 1976.

Foto bergambar kartu identitas keduanya, Tuhan dan Saiton, menjadi viral di dunia maya. Dunia mereka yang sebelumnya adem ayem saja itu sekonyong-konyong berubah. Wartawan menyerbu rumah mereka untuk menanyakan ini-itu. Pokoknya heboh.

Sampai-sampai Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid yang supersibuk memikirkan negara meluangkan waktu untuk nimbrung. Katanya, lebih baik nama dua orang tersebut diganti saja. Meski tidak ada aturan negara yang dilanggar, secara Islam nama itu haruslah yang baik karena mengandung doa dan harapan. MUI dan komisi urusan agama DPR ikut-ikutan mendukung.
Pak Hidayat juga bilang, dengan nama itu, orang-orang di sekitar mereka tidak akan bangga. Tahu dari mana?

Komnas HAM juga tak kalah ”genit”. Mereka mewanti-wanti bahwa mengganti nama adalah urusan individu. Tidak boleh ada paksaan. Itu sudah masuk wilayah privat yang siapa pun, termasuk dewan tertinggi negeri ini, MPR, tidak berhak mencampuri.

Dari hasil wawancara para wartawan yang mendatangi rumah Saiton, klaim awal Pak Hidayat itu terbukti tidak beralasan. Pria 39 tahun tersebut bukannya tidak pernah ingin mengganti namanya. Dua kali malah.

Menurut penuturan Saiton, orang tuanya seharusnya punya 13 anak. Tapi, hampir semua kakaknya meninggal pada usia 5–7 tahun. Hanya tersisa dua yang hidup. Saking frustrasinya, ketika Saiton lahir, sang bapak sudah pesimistis anaknya yang satu itu bisa bertahan hidup.

Akhirnya, dia namakan saja anaknya Saiton. Bisa jadi, bapaknya berpikir: Apalah arti sebuah nama, toh nanti mati juga. Karena beliau menganggap keluarganya yang terus ditimpa petaka tersebut sedang diganggu setan, dinamailah sang anak itu Saiton.

”Ajaibnya”, anak itu bertahan hidup. Sampai usia sang anak tiga tahun, ayahnya terusik untuk mengganti nama. Putranya yang menjadi tumpuan harapannya itu sering di-bully teman-temannya karena nama tersebut. Iskandar disiapkan sebagai nama pengganti. Begitu ritual dipersiapkan, Saiton sakit parah. Atas saran orang pintar, namanya dikembalikan. Dan, simsalabim, penyakit itu sirna.

Bukan sekali itu namanya akan diganti. Pada 1999, rekan-rekannya di kampus juga kembali mendorong. Kali ini nama Muhammad Ibrahim yang ditawarkan. Kurang hebat apa nama itu? Tapi, lagi-lagi penyakit keras menimpanya.

Sang istri, Leni Marlina, juga sudah menyatakan tidak berkeberatan dengan nama suaminya. Jadi, kalau ada yang bilang bahwa keluarganya tidak bangga dengan nama itu, tolong tanya dulu kepada bapak Saiton.

Pertanyaannya: Apakah nama itu yang meyelamatkan Saiton sehingga bertahan hidup sampai usia 39 tahun sekarang? Sedangkan sebelas saudaranya tak merasakan hidup sampai belia. Wallahualam.

Sama misteriusnya dengan pertanyaan: Apakah jika nama Oprah atau Soekarno tidak salah tulis atau tidak diganti, mereka akan tetap menjadi orang besar? Relakah Anda punya presiden bernama Kusno? Atau bandara terbesar yang menjadi kebanggaan Indonesia itu bernama Kusno-Hatta, disingkat Kusta? Agak geli kalau saya.

Yang misterius biarlah tetap misterius. Ada perkara besar yang lebih tampak dan benderang di depan mata sekarang ini. Krisis keuangan global yang mulai mengerek harga tempe dan tahu. Di situlah buah pikiran orang-orang hebat semacam Hidayat Nur Wahid, MUI, atau Komisi III DPR lebih dibutuhkan.

Lagi pula, saya sedang membayangkan suatu hari nanti Tuhan, Saiton, dan Rupiah diundang untuk jadi bintang tamu di sebuah talk show TV yang hobi memburu rating itu. Di sana, Tuhan dan Saiton bisa bertemu, lalu keduanya bersalaman. Kemudian, mereka membicarakan Rupiah. Bukankah Saiton yang ini berijazah S-2? Ini hanya akan terjadi di Indonesia lho…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar