Ilusi Pesona Harvard
Ahmad Sahidah ;
Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara
Malaysia
|
KORAN
TEMPO, 25 Agustus 2015
Berita reshuffle
kabinet tentu memantik harapan baru. Salah satu isu yang muncul adalah apakah
ijazah Harvard merupakan jaminan? Persoalan ini pernah muncul dalam kaitan
dengan usaha kantor kepresidenan merekrut staf berkelulusan universitas
terkemuka, seperti Harvard dan Duke. Menurut Luhut Panjaitan saat itu,
Universitas Harvard telah melahirkan enam Presiden Amerika, sehingga tentu
kedudukan universitas ini, yang selalu berada di papan atas, merupakan
jaminan mutu alumninya.
Namun saya tak akan
mengulas pelantikan Thomas Trikasih Lembong, lulusan Harvard yang menjadi
menteri perdagangan. Seperti diulas oleh pengamat, ijazah Harvard bukan
satu-satunya penentu keberhasilan dalam menggerakkan sektor ini, melainkan
kepemimpinan dan pengalaman kuat, yang mesti dimiliki agar prestasi bisa
diraih. Lalu, persoalannya, apakah Harvard merupakan sekolah bisnis yang
baik? Menurut Rolf Dobelli (2013) dalam The Art of Thinking Clearly, hal itu
belum jelas. Barangkali universitas itu tak baik, tapi ia hanya merekrut mahasiswa
yang cemerlang.
Dobelli pun mengutip
pernyataan Nassim Taleb, bahwa citra Harvard seperti ilusi pada tubuh
perenang (swimmer's body illusion).
Kita acap merancukan antara faktor pemilihan dan hasil. Para perenang
profesional mempunyai tubuh sempurna karena mereka berlatih secara serius.
Bagaimana tubuh mereka dibentuk adalah sebuah faktor pemilihan, dan bukan
hasil aktivitas mereka.
Lalu, apa sejatinya
roh pendidikan di universitas? Sebenarnya, kita telah mewarisi ide-ide banyak
tokoh pemikir yang meletakkan dasar dan arah pendidikan bangsa ini. Tri
Dharma Perguruan Tinggi, yang berfokus pada kerja akademik, seperti
pengajaran-pembelajaran, penelitian,
serta pengabdian masyarakat, telah memenuhi ontologi, epistemologi,
dan aksiologi pendidikan. Pendek kata, tanpa terpukau oleh pemeringkatan
universitas, para civitas academica memiliki fondasi untuk membangun negeri
dengan menimbang dan mengutamakan kebutuhan diri sendiri.
Pada gilirannya, kerja
lapangan merupakan puncak dari pergulatan pemikiran di kampus. Misalnya,
pemilihan pengabdian di Desa Darsono oleh program pendampingan Universitas
Jember (Unej). Dengan mendengar
langsung suara akar rumput, warga kampus bisa mengenal kebutuhan masyarakat.
Melalui proyek Sengonisasi, warga kampung ini bisa menaikkan taraf hidup mereka dan sekaligus menjaga
kelestarian lingkungan.
Berdasarkan modal
kerja lapangan, para akademisi meneguhkan kembali hakikat pendidikan, bahwa
ilmu tidak lagi hanya untuk memahami, tapi pada akhirnya juga mengubah
keadaan. Keberhasilan UNEJ membantu
membangun koperasi petani kopi Katakesi di Desa Sidomulyo dengan
melibatkan pemerintah daerah, kaum agamawan, dan pelaku usaha tentu
meneguhkan kaitan pengetahuan dengan pekerjaan.
Lewat penguatan
metodologi pengajaran dan pembelajaran, penelitian berbasis kepentingan
khalayak, dan akhirnya pengejawantahan keduanya dalam pengabdian di tengah
masyarakat luas, sejatinya perguruan tinggi telah berada di landasan yang
benar. Yang dilakukan oleh Ahmad Subagio, dosen Unej, yakni menjadikan ubi
sebagai bahan tepung kue, tentu membantu pemerintah mengurangi impor tepung
gandum. Jadi, masihkah kita memburu status universitas kelas dunia ketika
kita tahu apa yang harus dilakukan di sini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar