Kamis, 27 Agustus 2015

Ilusi Pesona Harvard

Ilusi Pesona Harvard

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
                                                 KORAN TEMPO, 25 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berita reshuffle kabinet tentu memantik harapan baru. Salah satu isu yang muncul adalah apakah ijazah Harvard merupakan jaminan? Persoalan ini pernah muncul dalam kaitan dengan usaha kantor kepresidenan merekrut staf berkelulusan universitas terkemuka, seperti Harvard dan Duke. Menurut Luhut Panjaitan saat itu, Universitas Harvard telah melahirkan enam Presiden Amerika, sehingga tentu kedudukan universitas ini, yang selalu berada di papan atas, merupakan jaminan mutu alumninya.

Namun saya tak akan mengulas pelantikan Thomas Trikasih Lembong, lulusan Harvard yang menjadi menteri perdagangan. Seperti diulas oleh pengamat, ijazah Harvard bukan satu-satunya penentu keberhasilan dalam menggerakkan sektor ini, melainkan kepemimpinan dan pengalaman kuat, yang mesti dimiliki agar prestasi bisa diraih. Lalu, persoalannya, apakah Harvard merupakan sekolah bisnis yang baik? Menurut Rolf Dobelli (2013) dalam The Art of Thinking Clearly, hal itu belum jelas. Barangkali universitas itu tak baik, tapi ia hanya merekrut mahasiswa yang cemerlang.

Dobelli pun mengutip pernyataan Nassim Taleb, bahwa citra Harvard seperti ilusi pada tubuh perenang (swimmer's body illusion). Kita acap merancukan antara faktor pemilihan dan hasil. Para perenang profesional mempunyai tubuh sempurna karena mereka berlatih secara serius. Bagaimana tubuh mereka dibentuk adalah sebuah faktor pemilihan, dan bukan hasil aktivitas mereka.

Lalu, apa sejatinya roh pendidikan di universitas? Sebenarnya, kita telah mewarisi ide-ide banyak tokoh pemikir yang meletakkan dasar dan arah pendidikan bangsa ini. Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang berfokus pada kerja akademik, seperti pengajaran-pembelajaran, penelitian,  serta pengabdian masyarakat, telah memenuhi ontologi, epistemologi, dan aksiologi pendidikan. Pendek kata, tanpa terpukau oleh pemeringkatan universitas, para civitas academica memiliki fondasi untuk membangun negeri dengan menimbang dan mengutamakan kebutuhan diri sendiri.

Pada gilirannya, kerja lapangan merupakan puncak dari pergulatan pemikiran di kampus. Misalnya, pemilihan pengabdian di Desa Darsono oleh program pendampingan Universitas Jember (Unej).  Dengan mendengar langsung suara akar rumput, warga kampus bisa mengenal kebutuhan masyarakat. Melalui proyek Sengonisasi, warga kampung ini bisa menaikkan taraf  hidup mereka dan sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.  

Berdasarkan modal kerja lapangan, para akademisi meneguhkan kembali hakikat pendidikan, bahwa ilmu tidak lagi hanya untuk memahami, tapi pada akhirnya juga mengubah keadaan. Keberhasilan UNEJ membantu  membangun koperasi petani kopi Katakesi di Desa Sidomulyo dengan melibatkan pemerintah daerah, kaum agamawan, dan pelaku usaha tentu meneguhkan kaitan pengetahuan dengan pekerjaan. 

Lewat penguatan metodologi pengajaran dan pembelajaran, penelitian berbasis kepentingan khalayak, dan akhirnya pengejawantahan keduanya dalam pengabdian di tengah masyarakat luas, sejatinya perguruan tinggi telah berada di landasan yang benar. Yang dilakukan oleh Ahmad Subagio, dosen Unej, yakni menjadikan ubi sebagai bahan tepung kue, tentu membantu pemerintah mengurangi impor tepung gandum. Jadi, masihkah kita memburu status universitas kelas dunia ketika kita tahu apa yang harus dilakukan di sini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar