Dana Pensiun China dan Krisis Ekonomi
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 26 Agustus 2015
Kekuatan militer
sebuah negara adalah salah satu bentuk daya gentar untuk menghadapi kekuatan
militer lainnya. Dalam keadaan perang, ungkapan sinyal kekuatan militer dapat
membuat ciut nyali negara lain apabila mereka ingin melakukan pre-emptive strike.
Namun, dalam keadaan
damai, apakah kekuatan militer memiliki daya gentar? Jawabannya mungkin tidak
karena dalam damai maka negosiasi politik dan kekuatan ekonomi menjadi
andalan untuk menggentarkan negara lain.
Minggu ini kita
saksikan bahwa kekuatan militer menjadi tidak relevan karena krisis ekonomi
yang mengguncang banyak negara. Mata uang negara-negara emerging-market dan pasar saham dunia yang rontok pada minggu ini adalah sinyal
resmi krisis ekonomi.
Ini merupakan bagian
dari pergerakan menuju keseimbangan baru dalam sistem pasar kapitalisme saat
ini. Dalam proses mencari keseimbangan inilah, amunisi-amunisi ekonomi yang
telah disimpan rapi dikeluarkan untuk tetap menjaga posisi dominan dalam
pasar.
Salah satu yang
mengejutkan banyak pihak adalah serangkaian kebijakan Pemerintah China dalam
melakukan devaluasi. Di saat kita berdoa mata uang rupiah tidak akan terus
melemah, China justru sengaja melakukan pelemahan mata uangnya. Alasan mereka
melakukan itu sudah tepat karena China mengutamakan agar produk-produknya
tetap kompetitif di pasar dunia.
Kita juga tidak salah
berdoa agar rupiah tidak melemah karena produk ekspor kita sebagai besar
komponen impornya masih besar. Faisal Basri mencatat bahwa kandungan bahan
baku/penolong impornya masih 75,6%. Hal ini mengindikasikan bahwa kita masih
membutuhkan rupiah yang kuat agar ekspor bisa terus lanjut.
Namun hal yang
membedakan kita dan China adalah likuiditas atau cadangan uang mereka yang
banyak. Beberapa hari yang lalu Pemerintah China telah mengizinkan 30% dana
pensiun mereka untuk digunakan membeli saham-saham perusahaan yang menurun
dengan tajam pada minggu ini. Kebijakan tersebut adalah yang pertama kali
dilakukan oleh Pemerintah China karena sebelumnya uang dana pensiun hanya
dapat digunakan untuk membeli surat utang negara (treasury) dan deposito.
Pilihan untuk
membelanjakan dana pensiun di pasar saham dan produk-produk turunannya (derivative) adalah keputusan yang
logis. Karena jika menempatkannya pada deposito atau surat utang negara tidak
bisa memberikan return yang tinggi
dengan alasan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Selain
memberikan kepercayaan kepada pelaku pasar bahwa saham-saham perusahaan China
masih memiliki nilai, investasi untuk membeli saham yang sedang turun saat
ini dianggap tepat karena harganya sudah kompetitif.
Yang patut dipilah di
sini adalah bahwa hal yang dilakukan China pada dana pensiunnya adalah hal
umum yang juga dilakukan negara-negara yang menggantungkan hidup dari ekonomi
pasar kapitalisme. China mengupayakan mandiri dari kekuatan asing dengan cara
memobilisasi dana segar dari masyarakat, khususnya dari mereka yang tinggal
di perkotaan. Namun di sisi lain, kita tidak boleh lupa bahwa sistem
pengelolaan jaminan sosial di China masih kental bergantung pada arahan dari
sistem politik yang sentralistis dan monolitis.
Lebih jelasnya
demikian. China, merujuk pada kantor berita Xinhua, memiliki dana pensiun
sebesar USD548
miliar. Jumlah itu puluhan
kali lipat dari dana pensiun yang dikumpulkan BPJS Ketenagakerjaan yang
besarnya kira-kira Rp203 triliun atau sekitar USD145 juta ditambah yang dikelola swasta sebesar Rp185
triliun.
Besarnya dana tersebut
tidak lepas dari transisi dari Sistem Jaminan Sosial Sosialis (1930-1950)
menjadi Sistem Jaminan Sosial Nasional yang terintegrasi dengan pasar
(1950-sekarang). Aiqun Hu (2014) mencatat bahwa perbedaan terbesar dari
Sistem Jaminan Sosial Sosialis dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
terkait dengan pasar adalah diperkenalkannya pilar ”rekening individu” (individual account) di mana tiap orang
(khususnya di perkotaan) yang terdaftar sebagai peserta Sistem Jaminan Sosial
Nasional dibuatkan rekening-rekening terpisah untuk persiapan pensiun mereka.
Dana pensiun itu
”diisi” dengan iuran pekerja dan pemberi kerja sesuai dengan lama kerja dan
persentase upah yang mereka lakukan selama bekerja. Dana yang terkumpul
kemudian dapat diuangkan setelah mereka masuk usia pensiun. Model ini lazim
disebut sebagai system provident
fund;
mirip sekali pengelolaannya dengan dana Jamsostek dahulu.
Kemiripannya dengan sistem
Jamsostek terdahulu adalah karena pengelola dana pensiun adalah BUMN dan
program itu sifatnya sukarela, terutama bagi pekerja di perdesaan. Untuk
masyarakat perdesaan ada skema terpisah. Demikian pula untuk para pekerja di
perusahaan-perusahaan besar, mereka tidak tergantung pada skema pensiun yang
dikelola oleh pemerintah tersebut.
Lain provinsi, lain
pula sistem jaminan sosial yang diterapkan di lapangan. Kebetulan saja jumlah
penduduk di China cukup besar sehingga dana yang terkumpul pun cukup besar.
Karena pengelolanya adalah BUMN, pemerintah ”berhak meminjam” dana untuk
mendongkrak kinerja pemerintah.
Dalam Sistem Jaminan Sosial Sosialis model Uni-Soviet,
warga negara tidak memiliki rekening pribadi karena memang seluruh fasilitas
diberikan oleh negara. Uang untuk pensiun sepenuhnya diambil dari kas negara.
Karena dalam sistem sosialis semua warga adalah pekerja dan tidak ada majikan
sehingga tidak dikenal iuran yang harus dibayar oleh perusahaan atau
pengusaha.
Model ini yang
diadopsi negara-negara Eropa Timur pada masa itu.
Bedanya China dengan
negara-negara sosialis lain adalah karena Negeri Tirai Bambu ini mengakui
adanya tanggung jawab majikan (bahkan ketika yang disebut majikan adalah
BUMN) dalam menyediakan jaminan sosial bagi pekerjanya. Saat Deng Xiao Ping
memperkenalkan dualisme ekonomi di beberapa provinsi, dana pensiun juga
dilimpahkan tanggung jawabnya kepada perusahaan. Pada hakikatnya sistem yang
baru mensyaratkan ada kontrol atas dana pensiun oleh serikat buruh, tetapi
karena serikat buruh di China adalah bagian dari rezim yang ada, kehendak
pemerintahlah yang terjadi.
Yang menarik bagi
kita adalah bahwa besaran dana pensiun ini cukup untuk menggentarkan
negara-negara lain apabila mereka mencoba berspekulasi dan masuk terlibat
dalam perang mata uang. China punya keuntungan politik karena tidak perlu
khawatir akan protes rakyatnya bila dana pensiunnya digunakan untuk menalangi
saham perusahaan-perusahaan yang terancam bangkrut akibat krisis ekonomi.
Di sinilah kita di
Indonesia perlu jeli. Kebijakan di China menunjukkan bahwa daya gentar suatu
negara perlu juga didukung kemampuan negara mengerahkan sumber-sumber dana
segar dari dalam negeri. Kini kita tahu apa saja amunisi yang dipakai oleh
China untuk memenangkan persaingan dalam kompetisi global.
Kita patut bersyukur
bahwa sistem jaminan sosial di Indonesia sudah meninggalkan model yang
diterapkan di China. Artinya para pengiur relatif lebih tenang dan tidak
perlu khawatir bahwa dana pensiun akan dipergunakan secara sepihak oleh
pemerintah untuk agenda-agenda politik tertentu. ”Pagar-pagarnya” sudah
disepakati dalam Undang-Undang (UU) No 40/2004 dan UU No 24/2011.
Namun kita juga perlu
peka pada kenyataan bahwa daya gentar dan kekuatan ekonomi suatu negara
ditunjukkan juga oleh kemampuan negaranya dalam mengembangkan cadangan dana
segar.
Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu seperti
sekarang, itulah pentingnya kita membiasakan diri untuk menyisihkan
penghasilan bulanan untuk dana jaminan sosial. Kita bisa belajar dari Jepang
yang berhasil keluar dari krisis ekonomi pasca Perang Dunia II dengan
menggenjot pengumpulan dana jaminan sosial (termasuk pensiun) untuk menambah likuiditas
ekonominya. Pada
akhirnya ”kekuatan” negara adalah refleksi dari ”kekuatan” warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar