Menumbuhkan (Kembali)
Tanggung Jawab Sosial Televisi
Azimah Subagjo ;
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat
|
KORAN
SINDO, 25 Agustus 2015
Bukan rahasia jika
banyak pihak geram dengan perilaku televisi yang menjadikan rating sebagai
acuan utama memproduksi program. Kekerasan, seks, dan mistik kerap hadir di
layar dengan alasan rating tinggi.
Mengejutkan, ketika
Presiden Joko Widodo merasa perlu menyinggung peran media yang selama ini
mengejar rating dalam pidato menyambut HUT Ke-70 RI di hadapan SU MPR
14/8/2015. Di mana tanggung jawab televisi?
Presiden Jokowi
menyinggung media dan rating dalam pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu,
”Ketika media hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan
nilai keutamaan dan budaya kerja produktif, masyarakat mudah terjebak
histeria publik. Terutama isu-isu yang berdimensi sensasional.”
Pernyataan Presiden
ini dipandang keras, bahkan ia mengulangnya sampai dua kali. Bicara mengenai
media yang mengejar rating, tentu sasarannya adalah media penyiaran. Media
massa selain televisi menggunakan metode lain untuk mengukur daya serap
produknya seperti surat kabar atau majalah menggunakan banyaknya eksemplar
(oplag) yang laku di pasar.
Sementara media
penyiaran (televisi/radio) menggunakan teknik rating untuk mengukur jumlah
pemirsa yang menyaksikan suatu program pada waktu tertentu. Tapi, salahkah
jika televisi menggunakan rating?
Rating: Antara Kuantitas dan Kualitas
Alat ukur kepemirsaan
televisi dengan sistem rating sering menjadi pertanyaan publik. Mengapa tetap
dipakai oleh televisi sebagai acuan, padahal program dengan rating tinggi
isinya kerap bermasalah. Televisi menggunakan sistem rating karena metode ini
yang dipercaya pemasang iklan untuk melihat berapa banyak penonton yang
menyaksikan suatu program yang tayang.
Hal ini penting,
mengingat televisi terutama yang swasta, merupakan industri padat modal dan
mengandalkan pemasukan dari pengiklan untuk membiayai operasionalnya. Yang
jadi masalah adalah lembaga konsultan pengukur rating yang digunakan televisi
cenderung monopolistik. Alasannya, lembaga inilah satu-satunya yang dipercaya
pemasang iklan sebagai alat ukur.
Banyak pihak sering
menyangsikan metodologi dan pengambilan sampel dari pengukuran rating ini.
Contoh sederhananya adalah pemakaian 2000 pemirsa televisi dari 10-12 kota
besar di Indonesia yang menjadi sampel. Penduduk Indonesia lebih dari 250
juta jiwa, dan terdapat lebih dari 500 kabupaten/kota dari Sabang sampai
Merauke.
Tentu penduduk dari
kota-kota selain sampel tadi tidak akan pernah benar-benar terwakili
aspirasinya. Perlu diingat juga bahwa rating ini hanyalah alat untuk mengukur
jumlah (kuantitas) pemirsa televisi. Hanya mengukur berapa banyak penonton
yang menyaksikan suatu program televisi di suatu waktu tertentu. Rating sama
sekali tidak mengukur kualitas tayangan sehingga tidak dapat otomatis
dikatakan bahwa pemirsa yang banyak atau rating yang tinggi menunjukkan bahwa
program acaranya berkualitas.
Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) tak jarang justru memberi sanksi mulai dari teguran hingga
penghentian pada program yang memiliki rating yang tinggi. Semisal program
YKS (Yuk Keep Smile), Smackdown (tarung bebas), dan Sexophone (talkshow).
KPI mendasarkan
pengawasannya kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran
(P3SPS) sebagai upaya menjaga agar seluruh WNI dapat memperoleh informasi
yang layak dari media penyiaran sebagai salah satu amanah Undang-Undang
Penyiaran 2002/32.
Televisi Multistakeholder
Merujuk Robert Picard
dalam Media Economics (1989), media
televisi melayani keinginan/ kebutuhan dari empat kelompok. Pertama, pemilik,
termasuk di dalamnya terkait tujuan ekonomi yaitu memperoleh pendapatan yang
tinggi, pertumbuhan perusahaan, serta peningkatan nilai dan aset perusahaan.
Kedua, audiens atau
pemirsa. Secara kolektif, audiens mencari produk dan pelayanan media yang
bermutu tinggi dengan biaya rendah dan akses yang mudah. Ketiga, para
pengiklan, yang mencari akses untuk menyasar target audiens dengan biaya yang
rendah melalui pesan-pesan komersial dan pelayanan bermutu tinggi dari media
pengiklan.
Terakhir, para pekerja
dari organisasi media, yang tertarik untuk mendapatkan kompensasi berupa gaji
yang baik, perlakuan yang adil dan sama, suasana kerja yang aman dan
menyenangkan, serta segala penghargaan yang didapatkan dari pekerjaannya.
Maka itu, ketika
industri pertelevisian di Indonesia cenderung menjadi sangat pragmatis, lebih
mengedepankan untung rugi, mengabaikan nilai dan pendidikan publik, lebih
mengutamakan hiburan dan berorientasi kepada pasar tanpa mempertimbangkan
baik/ buruk efek yang ditimbulkannya, sesungguhnya televisi sudah mengabaikan
paling tidak kepentingan dari kelompok stakeholder-nya yang utama yaitu masyarakat.
Padahal, sudah saatnya
media televisi tidak sekadar menjadi unit bisnis dan media hiburan, tetapi
juga menjadi institusi yang membawa kemaslahatan untuk masyarakat.
Menggugah Tanggung Jawab Sosial Televisi
Televisi yang
mengutamakan rating dalam membuat program siarannya sering tidak peduli
apakah program tersebut bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Padahal,
dampak yang ditimbulkan program televisi buruk yang tetap terus diputar
dengan alasan rating tinggi, akan sangat besar.
Sebagai media
audiovisual dan menggunakan ranah publik, televisi masuk hingga ke
ruang-ruang keluarga. Pemirsa, khususnya anakanak dan remaja, akan mudah
terpengaruh dan meniru muatan yang disiarkan televisi. Beruntung jika
muatannya baik. Namun, jika buruk, cenderung sensasional, memuat kekerasan,
eksploitasi seks, dan mistik, tentu imbasnya juga negatif.
Masalah berlipat
mengingat program televisi yang buruk, namun rating-nya tinggi tidak hanya
diputar oleh satu televisi, tapi juga kerap ditiru televisi lain dengan
program sejenis. Televisi memiliki suatu potensi strategis dalam membentuk
karakter bangsa. Daya jangkau yang sangat luas dengan penetrasi tertinggi
(95%) bila dibandingkan media lain membuatnya sangat efektif untuk
menyebarkan informasi/ide.
Dengan tolok ukur ini,
seyogianya tontonan yang ditayangkan harus mampu memberi nilai tambah bagi
masyarakat. Televisi dapat berfungsi sebagai ”jendela” masyarakat untuk
mengetahui lingkungan di luar dirinya dan mendasarkan informasi tersebut
untuk meningkatkan kemakmuran. Itulah amanat dari Pasal 6 UU Penyiaran yang
diharapkan mampu dijalankan televisi.
Selaras dengan ini,
sesuai Bhinneka Tunggal Ika, tayangan televisi juga diharapkan membentuk
karakter moral masyarakat. Bukan hanya agama, melainkan juga moral dalam
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misal dengan lebih banyak
menyoroti bagaimana hidup secara toleran di dalam perbedaan demi memperkuat
jati diri masyarakat sebagai bangsa Indonesia.
Dalam konteks demokrasi, tayangan televisi
juga diharapkan mampu mempertajam kepekaan politik masyarakat. Bukan hanya
ragam politik praktis, melainkan juga apa yang seharusnya menjadi hak dan
tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara demi mencerdaskan kehidupan
politik masyarakat sehingga tidak ada lagi yang menjadi objek dan
bulan-bulanan politik penguasa.
Kemanfaatan
Televisi sebagai media
yang menggunakan ruang publik dengan leluasa dan simultan memunculkan
konsekuensi bahwa bukan hanya pemilik perusahaannya yang berkepentingan
terhadap isi siaran, melainkan juga seluruh masyarakat. Daya jangkau televisi
yang dapat ditangkap di berbagai kota sampai pelosok, jika siarannya tanpa
tanggung jawab sosial, bakal menjadi sesuatu yang kontraproduktif.
Tanggung jawab sosial
media televisi setidaknya harus muncul dalam konteks memberi kemanfaatan bagi
masyarakat berupa siaran yang mendidik, social control, dan agen pengubah.
Utamanya dengan menyiarkan lebih banyak nilainilai positif yang menginspirasi
masyarakat untuk lebih produktif dan berubah ke arah yang lebih baik serta
mengembalikan ruang publik yang nyaman untuk semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar